KEJADIAN bencana sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat di Indonesia sejak lama. Sayangnya, hingga kini, kita masih saja tergagap menghadapi, terutama dalam memitigasi bencana.
Usia tahun ini belum genap tiga bulan, tetapi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat telah terjadi tidak kurang dari 336 peristiwa bencana. Banjir dan tanah longsor di Sumatra Barat, disusul delapan wilayah di Jawa Tengah yang sampai sepekan lebih terendam banjir, menjadi peristiwa bencana yang paling menonjol. Puluhan jiwa melayang, ratusan ribu penduduk terpaksa mengungsi, dan kerugian total mencapai triliunan rupiah.
Kini, yang terbaru, rangkaian gempa bumi berkekuatan hingga 6,5 magnitudo terjadi. Gempa berkedalaman 10 km dengan jarak 130-an kilometer dari Tuban, Jawa Timur, pada Jumat (22/3) itu merobohkan ribuan bangunan. Bukan ada korban jiwa, tetapi getaran gempa meruntuhkan ribuan bangunan, dengan kerusakan terkonsentrasi di Nusa Bawean, Gresik, dan Tuban.
Gempa kali ini layaknya sebuah peringatan bahwa kita masih lemah dalam menghadapi potensi bencana gempa. Bagaimana bila yang terjadi gempa yang mengguncang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, pada 21 November 2022?
Biarpun berkekuatan lebih rendah, yakni 5,6 magnitudo, daya rusak gempa Cianjur lebih besar karena berpusat di daratan dan sama dangkalnya. Pemerintah kabupaten setempat menyebut korban jiwa mencapai 600 orang akibat bencana tersebut.
Pada dasarnya, gempa bumi tidak mematikan. Korban jiwa maupun luka-luka timbul karena tertimpa bangunan atau material lainnya. Korban terlambat menyelamatkan diri atau berlindung.
Hingga saat ini, memang belum ada teknologi yang bisa memprediksi kejadian gempa secara akurat hingga hitungan bulan atau hari, apalagi jam. Kendati begitu, peringatan dini gempa susulan atau potensi tsunami yang tersampaikan secara cepat bisa memberikan perbedaan ratusan bahkan sampai ribuan nyawa.
Peringatan dari pihak berwenang semestinya di-blast sedini mungkin melalui ponsel. Kemudian, dengan cepat diteruskan lebih luas ke warga lewat kentungan, sirene, atau peringatan suara yang mesti terdengar oleh seantero desa/kelurahan.
Di sisi lain, masyarakat harus lebih dahulu memahami apa yang harus dilakukan untuk merespons peringatan itu. Tiba saat ini, pemahaman tersebut masih sangat rendah. Perilaku mitigasi bencana belum meresap menjadi budaya dalam keseharian masyarakat.
Penanaman pemahaman paling tepat ialah melalui pendidikan di sekolah. Pengetahuan antisipasi bencana, termasuk dalam menyelamatkan diri, yang didapat siswa kemudian harus berulang kali diuji secara acak. Misalnya, satu kali dalam sepekan hingga benar-benar tertanam dan menjadi kebiasaan.
Kepada gempa bumi, sebetulnya kita cukup mencontoh sepenuhnya apa yang dilakukan Jepang. Keandalan mitigasi mereka sampai ke tingkat perorangan warga sudah teruji. Itu sebabnya ketika gempa dahsyat berkekuatan 7,5 magnitudo menerpa Jepang pada 1 Januari 2024, jumlah korban jiwa relatif sedikit, kurang dari 200 orang.
Keandalan mitigasi gempa di Jepang juga mendapatkan andil besar pada kepatuhan dalam mendirikan bangunan yang tahan gempa. Di Indonesia, paraturan tentang hal itu sudah ada. Akan tetapi, implementasinya masih sangat longgar dan kewajibannya pun belum sampai pada bangunan permukiman.
Entah sampai berapa kali lagi pemerintah mesti diingatkan tentang segala hal terkait dengan mitigasi bencana tersebut. Yang jelas, kedatangan bencana yang lebih besar seharusnya sudah diyakini sebagai keniscayaan. Jangan sampai nyawa rakyat terus-menerus menjadi tumbal ketidakbecusan mengantisipasi kebencanaan.