Kontemplasi Migrasi Kerja Dunia

Kontemplasi Migrasi Kerja Global
Shabda Thian.(Dokpri)

MASIH ingat postingan viral tentang ratusan pelamar kerja warung seblak di Ciamis? Isu sempitnya lapangan kerja dibanding jumlah pencari kerja bukanlah hal baru. Sejak era Orde Baru, lagu “Sarjana Muda” Iwan Fals sudah memotret sulitnya mendapatkan pekerjaan, bahkan bagi sarjana. Empat dasawarsa berlalu sejak lagu itu dirilis, ironi tersebut masih membayangi angkatan kerja kita hingga kini.

Februari lalu, BPS melansir tingkat pengangguran mencapai 4,82% atau sekitar 7,2 juta orang. Sementara di belahan bumi lain, negara-negara maju menghadapi kekurangan tenaga kerja akibat populasi yang menua. Ironi ini jelas terlihat, di satu negara angkatan kerja melimpah tapi kesempatan kerja terbatas. Di negara lain, pasar kerja luas tapi kekurangan populasi usia produktif. Disrupsi demografis ini harus diantisipasi dengan cermat, untuk memanfaatkan bonus demografi yang kita miliki. Migrasi angkatan kerja Indonesia ke mancanegara adalah keniscayaan, bukan lagi pilihan.

Teori neo-ekonomi klasik menyatakan bahwa kesenjangan pendapatan antarkawasan mendorong migrasi dari daerah berpenghasilan rendah ke tinggi. Dari 169 juta pekerja migran di tahun 2019, lebih dari dua pertiga terkonsentrasi di negara-negara kaya. Sementara dalam konteks globalisasi, setelah keran transaksi finansial dunia dibuka pada awal 1970-an dan akses global atas barang dibuka sejak 1994, mobilitas pekerja antarnegara digadang-gadang sebagai gelombang ketiga globalisasi.

Baca juga : Tiga Manfaat Kartu Prakerja yang Harus Diperhatikan Pemerintah Mendatang

Indonesia sejatinya bukan pemain baru dalam mobilisasi pekerja antarnegara. Sejak 1973, ribuan Pekerja Migran Indonesia (PMI) diberangkatkan untuk bekerja di semenanjung Arab. UU Mengertin 2004 mengatur penempatan dan pelindungan PMI, namun lebih fokus pada bisnis pengerahan PMI. Akibatnya, jumlah PMI melonjak, dan pada 2017, Bank Dunia bahkan memprediksi sekitar 9 juta orang bekerja di luar negeri.

Pengalaman panjang Indonesia memfasilitasi penempatan PMI ke luar negeri masih didominasi sektor non-terampil, bergaji rendah, dan domestik/informal, termasuk asisten rumah tangga. Mereka rentan terhadap penyalahgunaan (abuse), dan sering menghadapi kondisi kerja yang sukar diawasi seperti jam kerja panjang dan perlakuan tidak manusiawi di rumah, pabrik, atau kebun majikan.

Cek Artikel:  Pelajar sebagai Katalisator Kebinekaan

Kita tidak menutup mata terhadap keberhasilan sejumlah PMI sektor domestik yang berhasil pulang membawa modal usaha dan membangun kehidupan yang lebih baik. Tetapi, di balik kisah sukses tersebut, ada berbagai kasus tragis yang menimpa PMI. Tetap segar dalam ingatan, kasus penyiksaan Kagakmala Bonat di Kuala Lumpur (2006), kematian Sumiyati asal Grobogan akibat dianiaya majikan di Jeddah (2010), dan kematian tragis Adelina Lisao asal NTT di Penang (2017). 

Baca juga : Usaha Tiongkok Perluas Lapangan Kerja dan Menstabilkan Pasar Rumah

Belum lagi hukuman pancung Ruyati (2011), Tuti Tursilawati, Zaini Misrin, Karni binti Medi Tarsim, dan Siti Zaenab binti Duhri Jenis (2015) di Jeddah. Data Kemenlu 2024 mencatat, sekitar 165 PMI terancam hukuman mati karena kasus pidana narkoba dan pembunuhan. Segelintir kasus ini dan ribuan kasus lainnya mewarnai koridor migrasi ‘Selatan-Selatan’ yang terpaksa menjadi fokus pemerintah karena dominasi angkatan kerja berpendidikan rendah.

Urusan kebijakan penempatan dan pelindungan PMI sesungguhnya adalah portofolio Kemenaker, tapi elemen ‘antar-negara’ dalam mobilitas PMI mewajibkan Kemenlu tampil di depan. Tugasnya meliputi negosiasi perjanjian internasional dengan negara tujuan penempatan, hingga penanganan kasus-kasus PMI oleh Perwakilan RI sebagai garda terdepan di negara tujuan. 

Bagi para diplomat, UU No 37 Mengertin 1999 tentang Rekanan Luar Negeri sudah menjadi ‘kitab suci’, dan di dalamnya jelas mengatur norma pelindungan WNI di luar negeri. Berbagai upaya dan cara dilakukan oleh Kemenlu, untuk membangun ekosistem pelindungan WNI di luar negeri yang ajek, baik melalui pembangunan infrastruktur kelembagaan maupun penguatan instrumen perjanjian internasional. 

Baca juga : Keliling Jawa, Susilo Bambang Yudhoyono Tangkap Keinginan Sejati Rakyat

Dalam satu dekade terakhir, Indonesia intensif dalam mengamankan pelindungan bagi PMI. Menlu Retno Marsudi menempatkan diplomasi pelindungan sebagai prioritas politik luar negeri. Ini ditandai dengan lahirnya UU No. 18 Mengertin 2017 tentang Pelindungan PMI yang condong didasari oleh ruh perlindungan. 

Cek Artikel:  Mengintip Prospek Damai Rusia dan Ukraina

Selanjutnya, setelah enam tahun negosiasi bilateral yang melelahkan berhasil menyepakati dua MoU pada tahun 2022, dengan Arab Saudi dan Malaysia, dua negara hotspot kasus PMI. Di level regional, Indonesia memimpin kesepakatan Konsensus ASEAN untuk Pelindungan dan Promosi Hak Pekerja Migran pada 2017. Serta, tiga deklarasi saat keketuaan ASEAN 2023 terkait pelindungan PMI dalam situasi krisis, portabilitas jaminan sosial, dan pekerja migran penangkap ikan.

Mencermati gejala kompleksitas migrasi global, Kemenlu juga berperan aktif dalam lahirnya resolusi PBB terkait Dunia Compact for Safe, Orderly, and Regular Migration di 2018. Begitu ini, Perpres Rencana Aksi Nasional berikut Indikator Tata Kelola Migrasi untuk migrasi aman, tertib, dan teratur sedang digodok, untuk menjadi panduan nasional menghadapi dan mengambil manfaat dari fenomena migrasi global. 

Baca juga : Pengangguran di Afrika Selatan Menurun Jelang Pemilu

Kemenlu dan Kemenaker terus mendesak pergeseran paradigma dalam penempatan PMI ke luar negeri, mengarah pada sektor terampil dan profesional. Sektor ini, dibutuhkan negara-negara maju untuk mengisi pasar kerja sekunder yang sudah tidak diminati atau karena penduduk lokalnya sudah menua. Misalnyanya, sekitar 11 juta pekerjaan perlu diisi hingga 2040 di Jepang, 150 – 300 ribu pekerjaan di Jerman, dan setengah juta lowongan di Austria hingga 2030. 

Koridor ini telah dibuka dengan terbentuknya MoU penempatan pekerja berketerampilan spesifik (specified skilled worker) dengan Jepang (2019), tenaga perawat dengan Jerman (2021) dan Arab Saudi (2023). Pada Mei 2024 lalu, Indonesia juga telah menyepakati MoU penempatan PMI terampil dan profesional dengan Austria.

Jalan menuju pekerjaan di luar negeri bagi pekerja terampil dan profesional sudah mulai dibuka. Tetapi, untuk memetik manfaat maksimal dari koridor migrasi ‘Utara-Selatan’ yang aman, tertib, dan teratur, perlu dilakukan dua front pendekatan yang merefleksikan penguatan manajemen migrasi internal, dan pengkondisian kerja sama eksternal.

Pertama, investasi pembangunan manusia berdaya saing. Sulit bagi ekonomi bangsa untuk tumbuh tanpa angkatan kerja yang berpendidikan. Di sini tantangannya bukan pada banyaknya lulusan pendidikan, namun lebih pada kualitasnya. Kita masih punya tugas besar dalam pengembangan kualitas manusia. 

Cek Artikel:  Mencegah Terulangnya Rezim Bureaucratic Polity

Di bulan Juli 2024, UNDP merilis skor Human Development Index Indonesia di peringkat 112 dari 193 negara, satu peringkat di atas Filipina namun masih di bawah Palestina. Filsuf Amartya Sen mengukur kualitas manusia didasarkan pada kapabilitas individu untuk sehat, berpendidikan dan berkontribusi ke masyarakat sehingga akhirnya punya pilihan dan kesempatan untuk sejahtera. 

Apabila kita serius untuk ‘perang kualitas manusia’, investasi konkret pengembangan sistem dan infrastruktur pendidikan dan pelatihan vokasi untuk keahlian terapan adalah keharusan. Cakupannya meliputi pembangunan fasilitas, kurikulum, dan sertifikasi, hingga pendidik/pelatih asing. Sasarannya menghasilkan lulusan terampil dan profesional yang siap bersaing secara global.

Front kedua, intensif membentuk perjanjian internasional terkait migrasi kerja sektor terampil dan profesional. Kemenlu dan Kemenaker kini sedang mesra bekerja sama merancang perjanjian baik secara bilateral, regional, dan multilateral untuk memastikan aturan internasional yang berlaku sesuai kepentingan nasional. Kolaborasi ini tidak lain ditujukan untuk melindungi hak-hak PMI, sekaligus dalam mengelola migrasi kerja global secara efektif melalui portofolio dan keahliannya masing-masing.

Di dasawarsa terakhir, dari 57 perjanjian bilateral ketenagakerjaan yang dinegosiasikan Indonesia, hanya 25 perjanjian yang masih berlaku dengan 20 negara tujuan. Perjanjian ini tidak saja mengikat komitmen pelindungan hak PMI antarnegara, tetapi juga sebagai langkah preemptive menangkap sinyal, sekaligus memetik keuntungan migrasi global. Membentuk kerja sama pasar kerja luar negeri yang adil, adalah prioritas dalam pembentukan koridor migrasi yang aman, tertib, dan teratur.

Mendapat pekerjaan adalah dambaan setiap orang. Bukan sekadar memenuhi nafkah tetapi juga wujud aktualisasi diri. Antrian panjang pelamar kerja warung seblak di Ciamis cukup menjadi cermin renungan kita. Memang tidak semudah melamar di warung seblak, tetapi pintu kerja ke mancanegara telah terbuka. Ujian keunggulan sumber daya manusia Indonesia dalam arena global sudah di depan mata. 

Mungkin Anda Menyukai