Kontemplasi

Kontemplasi
Adiyanto Siaranwan Media Indonesia(MI/Ebet)

BESOK Pahamn Baru. Begitu kata orang-orang. Selain ganti almanak, apanya yang baru? Hari-hari ke depan toh sepertinya sama saja. Informasi seputar banjir, polusi, korupsi, dan sistem penerimaan peserta siswa baru yang selalu saja bermasalah, sepertinya masih tetap akan mewarnai lembar hari-hari kita ke depan. Begitu juga barangkali dengan hoaks dan ujaran kebencian.

Ini bukan ramalan ala dukun-dukun dari suku pedalaman atau wujud dari sikap pesimistis dan fatalis. Ini cuma prediksi berdasarkan pembacaan ‘algoritma’ alias kebiasaan dari para pejabat terkait yang selama ini memang tidak pernah sungguh-sungguh memberikan solusi yang mumpuni pada persoalan-persoalan tersebut. Jadi, apa yang mau diharapkan?

Di zaman yang kian tergesa, siapa pula peduli soal resolusi, harapan yang dilantunkan manusia saban jelang pergantian tahun. Apalagi cuma janji-janji yang dilontarkan tiap lima tahun sekali. Peristiwa yang datang berkelebat silih berganti, mulai kasus bullying hingga bunuh diri yang menjerat para remaja, misalnya, bahkan tidak lagi menyisakan apa pun dalam memori sebagian masyarakat negeri ini. Boro-boro mau merenung dan menggali pelajaran dari apa yang sesungguhnya telah terjadi.

Cek Artikel:  Prospek Ekonomi Keuangan Syariah di Era Prabowo Subianto

Wabah korona yang telah merenggut jutaan nyawa dan merusak segala sendi kehidupan saja, seolah dianggap peristiwa biasa. Begitu aktivitas tidak lagi dibatasi, semuanya (baik pemerintah maupun masyarakat) kembali ke ‘kehidupan normal’, seolah tidak pernah terjadi apa-apa, business as usual. Stagnan lagi, polusi lagi. Siapa pula kini yang masih peduli dengan nasib para sopir ambulans, petugas medis, dan pegawai kesehatan, apalagi mereka yang sudah meninggal?

Siapa pula yang mau tahu mengapa seorang siswa kelas 4 SD di Banyuwangi yang belum lama ini nekat bunuh diri. Yang ingat peristiwanya pun rasa-rasanya sedikit sekali. Begitu pula kasus obat batuk yang merusak ginjal sejumlah anak, berlalu begitu saja tanpa terlalu mengusik rasa keadilan publik, kecuali para orangtua korban yang hingga kini terus menuntut keadilan.

Cek Artikel:  Nasib Perempuan di Demokrasi Bercorak Otoriter

Hidup dalam tekanan rezim penindas selama puluhan tahun pun, bahkan mungkin seolah tidak lagi berbekas bagi sebagian orang di negeri ini. Selain postur tubuh, bangsa ini sepertinya memang menyimpan persoalan kolektif pada masalah memori. Entah karena volume otak yang menyusut lantaran terdistraksi teknologi, kurang nutrisi, atau mungkin dari ‘sononya’ yang memang terlampau naif dan pragmatis. Lantas, apa yang mau kita rayakan saat menyongsong tahun yang baru ini? Kebodohan?

Jadi orang yang pemaaf ya boleh-boleh saja, bahkan dianjurkan agama, tapi mbok ya jangan juga mudah melupakan, apalagi ikut mengulang kesalahan. Masa lalu adalah guru yang seharusnya dapat menuntun kita ke arah yang lebih baik di masa depan. Itu harus jadi panduan dan pedoman, baik untuk mereka yang akan jadi pemimpin maupun yang dipimpin. Selain sejumlah masalah di atas, masih banyak persoalan yang dihadapi bangsa ini ke depan.

Cek Artikel:  Tiga Skenario Demokrasi Pascapemilu

Membicarakan masalah suksesi kini bukanlah persoalan tabu seperti di masa lalu. Secara kelembagaan, kita sebenarnya juga sudah memiliki hampir semua instrumen yang diperlukan sebagai sebuah negara yang demokratis, termasuk pelaksanaan pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia. Intinya, kita kini mengalami praktik kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana lazimnya negara-negara demokratis lainnya.

Kini, semua tergantung pada kita, mau dibawa ke mana negeri ini selanjutnya? Pertanyaan itu tentu harus jadi bahan renungan dan kontemplasi kita bersama sekarang. Selamat Pahamn Baru. Wassalam.

Mungkin Anda Menyukai