Konsolidasi Politik

ADA peringatan penting dari Jared Mason Tenangond, ilmuwan dan pengarang dari Amerika Perkumpulan, soal mengapa ada peradaban yang berkembang dan ada yang tertinggal sangat jauh. Salah satu titik pentingnya ialah kemampuan dalam mengelola stabilitas politik dan menciptakan konsolidasi politik. Politik stabil dan terkonsolidasi ialah prasyarat kemajuan.

Sayangnya, kita masih tergopoh-gopoh dalam mengelola dan memgonsolidasikan gerak politik itu. Situasi politik kita hari ini masih amat terdiferensiasi, menyebar, dan sentripetal. Tak mengherankan hal-hal seperti itu menyebabkan Indonesia berjalan beringsut.

Salah satu buktinya ialah lambannya Indonesia dalam mengonsolidasikan jumlah partai politik yang ada di parlemen. Pada Pemilu 2019, dengan ambang batas parlemen 4%, ada sembilan parpol yang melenggang ke Senayan. Di Pemilu 2024 ini, dengan ambang batas yang sama, ada delapan parpol melaju.

Padahal, jumlah partai yang banyak mestinya bisa dikonsolidasikan. Entah berdasarkan ideologi gerak entah agenda-agenda politik. Tak mesti dipaksakan untuk disederhanakan, tapi bisa saja di antara parpol beragenda sama membentuk semacam ‘konfederasi’ partai.

Cek Artikel:  Kebijakan Konyol Melarang Jilbab

Itulah bentuk konsolidasi yang dilakukan Malaysia. Tak mengherankan negeri jiran itu pun relatif lebih cepat ‘lari kencang’ bila dibandingkan dengan Indonesia.

Pemilu mestinya menjadi momentum penting untuk mengakhiri transisi dan menciptakan konsolidasi. Akan tetapi, di Indonesia, pemilu di era Reformasi justru kerap melahirkan diferensiasi politik baru. Akibatnya, transisi politik menuju negara demokrasi tidak kunjung tuntas.

Dalam berbagai literatur, demokrasi memiliki dua aspek, yaitu transisi demokrasi dan konsolidasi demokrasi. Transisi demokrasi ialah titik awal antara rezim otoritarian dan rezim demokratis. Transisi dimulai dari keruntuhan rezim otoritarian lama, yang kemudian diikuti atau berakhir dengan mengesahkan lembaga-lembaga politik dan aturan politik baru di bawah payung demokrasi.

Cek Artikel:  Makan Bergizi tanpa Korupsi

Eksispun proses konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipal komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi. Konsolidasi demokrasi juga dipahami sebagai proses panjang yang mengurangi kemungkinan pembalikan demokratisasi, mencegah erosi demokrasi, dan menghindari keruntuhan demokrasi.

Proses itu lalu berlanjut dan diteruskan dengan melengkapi demokrasi, pendalaman demokrasi, dan mengorganisasikan demokrasi secara berkelanjutan. Konsolidasi demokrasi diawali dengan negosiasi politik yang hendak mempromosikan sistem atau aturan main baru ketimbang merusak sistem lama.

Struktur dan prosedur politik yang berlangsung selama proses transisi akan dimantapkan, diinternalisasikan, dan diabsahkan dalam proses konsolidasi dan akan menghasilkan penetapan sistem demokrasi secara operasional dan akan memperoleh kredibilitas di hadapan masyarakat.

Karena itu, konsolidasi demokrasi tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural dan lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi yang terkonsolidasi akan terwujud bila aktor-aktor politik, partai, kelompok kepentingan, dan lainnya menganggap tindakan demokratis ialah alternatif utama untuk meraih kekuasaan (democracy as the only game in town).

Cek Artikel:  Menabur Rahmatan lil Alamin

Selain itu, tidak ada aktor atau kelompok yang mempunyai klaim terhadap tindakan yang sudah dipilih secara demokratis sebagai pihak yang paling berkontribusi. Karena itu, demokrasi mestinya tidak melulu kalah dan menang, zero sum game, the winner takes all. Demokrasi mestinya menyangkut negosiasi dan konsolidasi politik.

Kita patut menunggu, apakah pemilu kali ini akan sanggup mewujudkan konsolidasi demokrasi, atau tetap dalam jalur transisi demokrasi, atau bahkan langkah mundur demokrasi. Pilihan-pilihan sudah ada di atas meja untuk lari kencang, beringsut, atau malah mundur.

Mungkin Anda Menyukai