Konsesi Tambang dan Ideologi Muhammadiyah

FENOMENA akhir-akhir ini membuat mata publik tertuju kepada Muhammadiyah. Wajar saja, sebagai organisasi keagamaan yang telah berumur seabad lebih tentu mempunyai tanggung jawab besar dalam mengemban amanat untuk memperbaiki kualitas bangsa Indonesia. Terlebih, penerimaan konsesi tambang oleh Muhammadiyah memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, terkhusus di kalangan internal kader Muhammadiyah sendiri.

Apakah perdebatan dan diskursus tersebut memunculkan produktivitas atau justru hanya tampak sebagai fenomena unjuk emosional belaka? Pertanyaan ini perlu dijawab dalam kerangka komitmen ideologis, sebab diskursus yang dilontarkan di hadapan publik tanpa komitmen ideologis hanyalah sebatas angin lalu.

Secara sadar, publik perlu memahami konteks sosial, ekonomi, dan politik secara umum serta basis sosial warga Muhammadiyah secara khusus pada saat diputuskannya sikap maupun kebijakan organisasi oleh Muhammadiyah. Alasan, sebagai organisasi yang mengusung tajdid sekaligus berbasis pada masyarakat intelektual-akademis, Muhammadiyah secara sadar merespons berbagai tantangan zaman.

Baca juga : Muhammadiyah Mengadang Pemburu Kekuasaan dan Kerakusan

Tentu, Muhammadiyah sudah menganalisis sekaligus merespons kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang ada di Indonesia secara cermat dan hati-hati. Maka, memahami berbagai keputusan tanpa memahami konteks sosial, ekonomi, politik, dan paham keagamaan Muhammadiyah sama saja dengan melancarkan diskursus secara a-historis, untuk tidak mengatakan sedang menghasut kebencian terhadap Muhammadiyah.

Fenomena tersebut berlangsung di tengah-tengah luapan emosi publik terhadap berbagai kebijakan negara yang memunculkan banyak kontroversi. Luapan emosi yang meletup-letup itulah yang membuat publik tampak tak menghiraukan formasi ideologi Muhammadiyah. Publik perlu memahami proses musyawarah, berikut pertimbangan-pertimbangan paradigmatik Muhammadiyah dalam mengambil suatu keputusan yang bersifat kritis, termasuk di dalamnya penerimaan terhadap konsesi tambang.

Fenomena emosional tersebut dapat terlihat dari bagaimana dokumen risalah hasil Konsolidasi Nasional yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada 27-28 Juli 2024 di Universitas Aisyiyah Yogyakarta tidak disoroti oleh publik secara saksama. Terdapat 9 poin penting yang dibahas, tetapi sayangnya hanya poin ke-9, yakni penerimaan Muhammadiyah atas konsesi tambang, yang mendapat sorotan lebih. Ini tentu memerlukan diskursus lebih lanjut agar percakapan publik kita tidak bersifat oposisi biner semata.

Baca juga : Bahlil Lahadalia: Izin Pengelolaan Tambang PBNU sudah Beres

 

Memahami ideologi Muhammadiyah

Ideologi Muhammadiyah yang dimaksud senada dengan definisi yang dikemukakan oleh Haedar Nashir. Ideologi Muhammadiyah adalah semua hasil olah pikir dan tindak tanduk KH Ahmad Dahlan. Kemudian, pada periode kepemimpinan Muhammadiyah setelahnya menghasilkan beberapa dokumen ideologis seperti Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Khitah Muhammadiyah, Panduan Hidup Islami Kaum Muhammadiyah, dan lain-lain.

Baca juga : DPR Pertanyakan Sikap Muhamadiyah soal Terima Izin Tambang

Cek Artikel:  Sekolah Harusnya Bukan Tempat Belajar Mengejar Ranking

Jikapun berbagai definisi mengenai ideologi telah diperkenalkan, terdapat satu hal yang terpenting bahwa ideologi tentu dibuat agar menjadi pedoman suatu kelompok atau organisasi dalam mengarahkan anggotanya supaya berpikir, bersikap, dan bertindak yang disepakati secara bersama dan ditujukan untuk kepentingan bersama.

Lebih lanjut, Haedar Nashir memberikan pemetaan secara lebih spesifik mengenai ideologi Muhammadiyah. Pemikiran ideologi Muhammadiyah secara khusus terkandung dalam dua pemikiran resmi Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (1946) serta MKCH Muhammadiyah (1969), sedangkan untuk aspek strateginya termaktub dalam Khitah Muhammadiyah Mengertin 1956, 1971, 1978, dan 2002.

Akan tetapi, dalam pemikiran resmi lainnya yakni Dua Belas Langkah Muhammadiyah (1938), Al-Masail Al-Khamsah (1954/1955), Kepribadian Muhammadiyah (1962), Panduan Hidup Islami Kaum Muhammadiyah (2000), Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad (2005), dan Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua (2010) terdapat pemikiran-pemikiran yang bersifat ideologis (Nashir, 2017).

Baca juga : PP Muhammadiyah Tegaskan Kelola Tambang dengan Kondusifah dan tidak akan Nekat

Dalam bidang agama, Muhammadiyah membawa agenda purifikasi yang berimplikasi pada peningkatan produktivitas masyarakat. Eksispun dalam bidang sosial, Muhammadiyah membawa agenda tajdid yang berimplikasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Masyarakat pada zaman KH Ahmad Dahlan mempraktikkan tradisi yang dianggap bagian dari agama. Padahal, apabila diselisik lebih jauh melalui dalil-dalil Al-Qur’an maupun hadis, praktik-praktik tersebut bukanlah bagian dari agama. Masyarakat kadung menganggapnya bagian dari agama sehingga membuat mereka fanatik dan tidak produktif. Misalnya, pada saat itu membawa sesajen ke kuburan tentunya merupakan sebuah perbuatan sia-sia ketika masyarakat masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. KH Ahmad Dahlan akhirnya memilih agar sesajen berupa makanan tersebut diberikan kepada masyarakat yang lebih membutuhkan. Maksudnya, ijtihad atau daya upaya yang maksimal untuk meningkatkan kualitas hidup manusia selalu berkaitan dengan nilai agama yang murni disertai dengan rasa sosial yang tinggi.

Perlu digarisbawahi pula bahwa gerakan pembaruan yang diusung oleh KH Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah memiliki implikasi politik yang signifikan. Kukuhitas kekuasaan Hindia-Belanda saat itu cukup terganggu dengan hadirnya Muhammadiyah. Selain karena gerakan-gerakan yang menarik simpati pribumi, Muhammadiyah juga berusaha menanamkan nilai-nilai nasionalisme ke dalam kurikulum pendidikan, yang berdampak pada lahirnya kader-kader Muhammadiyah hasil didikan KH Ahmad Dahlan yang sangat vokal menentang penjajahan Belanda, seperti KH Fakhruddin dan Ki Bagoes Hadikoesoemo. Dapat disimpulkan bahwa gerakan pembaruan Muhammadiyah memainkan tiga peran penting yang saling berkaitan: reformasi agama, perubahan sosial, dan kekuatan politik (Jainuri, 2021).

 

Kearifan menerima kritik

Tetapi, romantisme sejarah sering kali mematikan diskursus ideologi yang objektif. Romantisme sejarah berujung pada agresi moral terhadap kader-kader Muhammadiyah yang tidak sependapat dengan kebijakan yang telah diputuskan oleh organisasi. Apabila terdapat perbedaan pendapat dalam bersikap, dengan mudahnya seorang kader dianggap sebagai pembelot atau tidak taat organisasi, bahkan lebih parahnya disebut sebagai anti-negara.

Cek Artikel:  Daya Juang

Padahal, kritik internal atau naqd al-nafsi perlu diwujudkan sebagai bentuk produktivitas agar mendorong gerak organisasi tetap berjalan di atas jalur yang semestinya. Selain itu, kekecewaan kader-kader Muhammadiyah terhadap sikap organisasi akhir-akhir ini perlu disikapi secara artif sebagai komitmen sekaligus kecintaan yang sangat besar terhadap Muhammadiyah.

Misalnya, perdebatan mengenai tambang ramah lingkungan oleh Muhammadiyah pun perlu mendapatkan sorotan tajam. Watakistik Muhammadiyah sebagai paham keagamaan yang sangat terbuka dengan perkembangan ilmu pengetahuan baiknya mempertimbangkan temuan-temuan mutakhir mengenai dampak lingkungan, baik lokal maupun global yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan. Pada akhirnya, Muhammadiyah bertanggung jawab untuk mewujudkan sekaligus mengejawantahkan konsep-konsep maupun teknis pertambangan ramah lingkungan.

Komitmen Muhammadiyah kepada masyarakat umum tidak perlu diragukan. Tetapi, kepercayaan tersebut pada akhirnya harus disertai oleh penjelasan komprehensif mengenai komitmen Muhammadiyah dalam mengantisipasi kerusakan lingkungan sehingga keresahan kader maupun publik dapat terjawab. Abstraksi teologis maupun moralis tanpa disertai oleh penalaran objektif dan ilmiah hanya sekadar omong kosong belaka, sebab beramal di wilayah muamalah memiliki dampak langsung terhadap kelangsungan hidup umat manusia.

 

Pelurusan makna purifikasi

Selain itu, fenomena yang perlu disorot ialah paradigma keagamaan moderat yang menjadi bagian ideologi Muhammadiyah tampaknya tidak tersosialisasi dengan baik. Buktinya, kader-kader Muhammadiyah di akar rumput cenderung memaknai purifikasi secara tidak tepat. Akibatnya gerakan Muhammadiyah terkesan anti-kebudayaan, bahkan cenderung dimusuhi oleh kalangan masyarakat desa yang mayoritas dihuni oleh petani dan buruh.

Tradisi yang selama ini dianggap sebagai praktik keagamaan oleh masyarakat desa berfungsi sebagai alat perekat solidaritas (Kuntowijoyo, 2017). Hadirnya Muhammadiyah justru menghilangkan tradisi tersebut yang menyebabkan hilangnya solidaritas masyarakat. Padahal, apabila dicermati lebih lanjut, ciri khas Muhammadiyah bukan hanya terletak pada gerakan purifikasinya, melainkan juga gerakan sosialnya.

Sejak awal, KH Ahmad Dahlan menekankan gerakan purifikasi selaras dengan gerakan sosial. Gerakan purifikasi dimaksudkan agar produktivitas sekaligus mobilitas masyarakat jauh lebih tinggi, diiringi dengan peningkatan kualitas hidup dan paradigma berpikir. Dalam arti bahwa gerakan keagamaan selalu beriringan dengan hadirnya rasa tanggung jawab sosial terhadap sesama.

KH Ahmad Dahlan menekankan gerakan purifikasi bukan untuk merenggangkan ikatan solidaritas yang telah tumbuh sejak lama di masyarakat, justru sebaliknya agar masyarakat dapat bersama-sama meningkatkan kualitas hidup secara kolektif.

Tetapi, saat ini gerakan purifikasi justru cenderung dimusuhi karena secara serampangan mematikan tradisi yang sangat dihormati oleh masyarakat, khususnya masyarakat di desa. Padahal, Muhammadiyah dibangun berdasarkan paradigma bahwa ibadah dan amal saleh berimplikasi pada tanggung jawab sosial yang tinggi.

Cek Artikel:  Nasib Dosen dan Guru P3K

Perlu dipertegas bahwa filsafat Muhammadiyah mempunyai signifikansi tentang hubungan antara ajaran dasar agama dan tanggung jawab sosial, suatu penjabaran prinsip-prinsip yang dinyatakan oleh Al-Qur’an dan as-Sunnah mengenai pembaruan sosial. Elemen-elemen tanggung jawab sosial berjalan beriringan dengan aspek-aspek dasar ajaran Islam. KH Ahmad Dahlan mengeksplorasi banyak wilayah pemikiran keagamaan untuk menyediakan basis teologis pembaruan dan kesejahteraan sosial (Jainuri, 2021).

 

Membumikan ideologi Muhammadiyah

Ideologi Muhammadiyah perlu dibumikan atau diobjektifikasi agar Muhammadiyah tidak kehilangan roh pembaruan sosialnya. Di samping itu, publik pun perlu mengetahui bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi keagamaan yang memiliki ideologi dalam mempertimbangkan berbagai aspek dalam mengarahkan organisasi.

Pertama, pimpinan Muhammadiyah sebagai kader persyarikatan perlu membuat pengajian rutin yang berfokus pada pembahasan ideologi Muhammadiyah. Risalah Islam Berkemajuan (RIB) yang menjadi salah satu hasil keputusan Muktamar Ke-48 Muhammadiyah di Surakarta perlu didiskusikan dan disosialisasikan lebih lanjut ke semua lini pimpinan. Begitu pula dengan hasil Risalah Konsolidasi Nasional (2024), media-media mainstream Muhammadiyah perlu menyosialisasikan tanpa henti secara kritis ketimbang hanya dilihat sebagai pihak afirmatif terhadap berbagai keputusan organisasi.

Kedua, perlu dicermati lebih lanjut isu-isu strategis keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan global yang juga menjadi salah satu hasil keputusan Muktamar Ke-48 Muhammadiyah di Surakarta. Organisasi otonom perlu mengambil peran untuk mengejewantahkan nilai-nilai keislaman dan kemuhammadiyahan pada isu-isu tersebut.

Ketiga, Muhammadiyah perlu memperkuat ciri gerakan yang saat ini sudah mulai dipertanyakan, yaitu sebagai gerakan ilmu agar muruah maupun tradisi ilmiah dalam tubuh persyarikatan yang menjadi roda gerakan organisasi tidak mati begitu saja ditelan zaman. Perlunya mengonsolidasikan seluruh perangkat perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) sebagai laboratorium gerakan ilmu di persyarikatan agar senantiasa menjaga tradisi keilmuan.

Keempat, Muhammadiyah perlu merumuskan ideologi yang terbuka dalam arti bahwa ideologi Muhammadiyah bukan hanya sekadar penegas atau pembeda dari organisasi lain, melainkan sebagai pedoman berpikir dan bertindak para kadernya agar tidak fanatik buta. Perlunya ideologi Muhammadiyah yang inklusif, tidak mendiskreditkan tradisi maupun kebudayaan agar ekspansi gerakan sosial Muhammadiyah dapat dijangkau oleh masyarakat bawah.

Terakhir, sebagai kader Muhammadiyah, kiranya perlu untuk menekankan etika organisasi. Sebagai keputusan yang telah diambil secara matang, penerimaan atas konsesi tambang sepatutnya diterima secara legawa. Tetapi, sebagai kader Muhammadiyah, melancarkan kritik secara penuh juga perlu dijaga secara konsisten agar nyala api pembaruan Muhammadiyah tidak mati ditelan zaman.

 

Mungkin Anda Menyukai