Konservasi Dapat juga Merusak Alam dan Tak Berwajah Tunggal

Konservasi Bisa juga Merusak Alam dan Tidak Berwajah Tunggal
Petugas kesehatan melakukan pemeriksaan kesehatan Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) di Medan Zoo, Sumatera Utara, Senin (30/9/2024).(ANTARA/Yudi Manar )

PENELITI Sajogyo Institute Eko Cahyono mengatakan konsep konservasi tidak selalu berwajah tunggal karena konservasi bisa menjadi alat baru untuk merusak alam.

Ia menjelaskan konsep konservasi bisa dibagi menjadi 3 antara lain konservasi sebagai ilmu, etika hidup, dan politik kebijakan.

“Sebagai ilmu konservasi itu ternyata praktik yang didominasi paradigma yang biosentrik dimana alam sebagai panglima. Konservasi klasik berkonsultasi memang lebih banyak pada perlindungan pelestarian dan pengawetan sehingga manusia sebagai ancaman,” kata Eko dalam diskusi secara daring, Sabtu (19/10).

Sehingga doktrin utamanya adalah pelestarian untuk pelestarian saja dan orientasi utamanya lebih pada perlindungan dan spesies flora dan fauna dan alasannya selalu pada level atau pada argumen kelangkaan dan kepunahan.

Cek Artikel:  Tak Hanya Donor Darah, Ini Tugas Lain Palang Merah Indonesia

“Konservasi juga dipahami sebagai etika hidup. Bahkan banyak universitas menganggap konservasi sebagai praktik hidup yang selaras dengan alam, keseimbangan, saling hormat, kepedulian, kasih sayang, memberi, solidaritas, dan mempraktikkan unsur konservasi dalam etika hidup,” ujarnya.

Tetapi konservasi juga punya wajah lain sebagai praktekkan sebagai politik kebijakan.

“Rupanya konservasi bisa menjadi alat baru untuk perusak alam. Konservasi juga sebagai eksklusif ekonomi kapitalisme dan juga dalam sisi lain praktek-praktek atas nama konservasi ternyata wujudnya jadi topeng untuk pembangunan,” ungkap Eko.

Demi menunjukkan bahwa ketika menyebut konservasi sebenarnya tidak pernah berwajah tunggal melekat di dalamnya kepentingan ekonomi dan politik. 

Cek Artikel:  Panduan Dasar Akuntansi Demi Pemula Langkah Demi Langkah

“Memang ada bukti-bukti atas nama konservasi menyebabkan eksklusi atas hak masyarakat di sekitarnya sehingga politik kebijakan konservasi nasional justru melahirkan green grabbing atau perampasan ruang hidup rakyat,” jelas Eko.

“Atau ada politik konflik yang tidak mau tahu atau mengabaikan konservasi dari bahwa yang itu diproduksi dan dikelola dihayati oleh masyarakat lokal tetapi belum diakui dan belum kita visibilitaskan secara masif,” pungkasnya. (H-2)

 

Mungkin Anda Menyukai