Konflik Pilkada Mulai Membayang

ATMOSFER politik lokal mulai memanas, padahal tahapan Pemilu 2024 belum tuntas. Disebut memanas karena banyak nama bermunculan dalam bursa calon kepala daerah. Mereka sudah mengambil ancang-acang untuk bertarung dalam pilkada yang digelar pada 27 November 2024.

Pemilu 2024 kini memasuki tahapan penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi sejak Komisi Pemilihan Lumrah (KPU) RI mengumumkan hasilnya pada 20 Maret 2024. MK memiliki waktu 14 hari untuk menuntaskan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden. Sementara itu, PHPU legislatif harus selesai dalam 30 hari.

Seluruh tahapan Pemilu 2024 berakhir pada 20 Oktober 2024 saat pengucapan sumpah/janji presiden dan wakil presiden. Meski tahapan Pemilu 2024 belum tuntas, politik lokal sedang hangat-hangatnya saat ini. Mereka yang ingin bertarung dalam Pilkada 2024 mulai bermanuver, bahkan saling sikut. Di antara mereka ada yang mulai memantaskan diri sebagai calon kepala daerah.

Politik lokal mulai panas dari Sabang sampai Merauke. Pilkada digelar serentak pada November mendatang di 546 daerah otonomi yang terdiri dari 38 provinsi, 93 kota, dan 415 kabupaten. Dengan kata lain, pilkada digelar serentak di seluruh daerah, kecuali DI Yogyakarta.

Cek Artikel:  Mudik Jalan Lalu

Hanya 318 daerah yang berpotensi majunya petahana sebagai calon kepala daerah. Mereka diuntungkan dua putusan MK yang memperpanjang masa jabatan mereka.

Putusan MK yang dibacakan pada 21 Desember 2023 membatalkan ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Pahamn 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang mengharuskan kepala daerah hasil Pilkada 2018 dan baru dilantik pada 2019 berhenti akhir 2023.

Dari 171 kepala daerah yang terpilih melalui Pilkada 2018, ada 48 kepala daerah yang dilantikan pada 2019. Perinciannya, 4 kepala daerah tingkat provinsi, 8 wali kota/wakil wali kota, dan 36 bupati/wakil bupati. Mereka bisa menjabat sampai satu bulan menjelang pilkada digelar 27 November 2024.

Sementara itu, putusan MK yang dibacakan pada 20 Maret 2024 menguntungkan 270 kepala daerah yang terdiri dari 9 gubernur dan wakil gubernur, 37 wali kota dan wakil wali kota, serta 224 bupati dan wakil bupati.

MK memperpanjang masa jabatan mereka yang dipilih dalam Pilkada 2020 itu dari semula berakhir pada Desember 2024 menjadi berhenti saat kepala daerah baru hasil Pilkada 2024 dilantik.

Cek Artikel:  Raja Jawa yang Ngeri-Ngeri Sedap

Harus jujur diakui bahwa Pilkada 2024 memiliki kerawanan lebih tinggi jika dibandingkan dengan Pemilu 2024. Penyebabnya ialah rentang jarak antara pusat kekuasaan pemerintahan daerah dan masyarakat sangat dekat.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja menyebutkan potensi kerawanan Pilkada 2024 tinggi karena persaingan yang sangat tinggi antarcalon kepala daerah di tiap daerah seluruh Indonesia.

TNI memperkirakan potensi kerusuhan antarkelompok pendukung hingga konflik suku, agama, ras, dan antargolongan di 15 daerah dengan tingkat kerawanan tinggi, seperti Aceh dan Papua. Perkiraan itu disampaikan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR pada 21 Maret 2024.

“Terdapat kemungkinan terjadi kerusuhan antarkelompok pendukung yang lebih besar apabila dihadapkan dengan jumlah alat keamanan yang terbatas,” kata Jenderal Agus.

Antisipasi keamanan penyelenggaraan pilkada menjadi sangat penting. Konsentrasi pengamanan akan terpecah pada semua daerah provinsi, kabupaten, dan kota dalam pilkada serentak 2024.

Konsentrasi pecah juga dialami penyelenggara pilkada mulai KPU di pusat sampai daerah. Penyebabnya ialah tahapan Pilkada 2024 berimpitan dengan Pemilu 2024. Di antaranya ialah tahapan terkait dengan pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan, pemberitahuan dan pendaftaran pemilihan, serta penyerahan daftar penduduk potensi pemilih pada Maret dan April 2024.

Cek Artikel:  Tak Terdapat Sisa Hati Nurani

Dengan demikian, pada saat ini KPU dan Bawaslu di daerah berkonsentrasi atas perselisihan pemilu di MK dan pada saat bersamaan mesti mempersiapkan tahapan pilkada.

Keberadaan petahana juga menjadi sumber masalah dalam pilkada. Bermasalah karena mereka berpotensi menyalahgunakan kekuasaan dengan melakukan politisasi birokrasi. Petahana jangan diberi ruang untuk memanfaatkan dana hibah dan bansos. Elok nian bila KPU dan Bawaslu mengeluarkan regulasi terkait dengan upaya mencegah penyalahgunaan kewenangan oleh petahana.

KPU, sesuai dengan putusan MK, perlu membuat regulasi yang mengatur syarat bagi calon anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD terpilih yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Mereka harus membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi menjadi anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD apabila tetap mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Penyelenggara pilkada mestinya fokus mengantisipasi setiap potensi konflik yang kini mulai membayang di daerah-daerah.

Mungkin Anda Menyukai