SALAH satu problem serius yang menjadi momok paling menakutkan bagi keberlanjutan generasi muda di masa mendatang adalah perubahan iklim (climate change). Ya, perubahan iklim, sebagaimana jamak menjadi perhatian para aktivis lingkungkan, menimbulkan ancaman yang semakin besar berhubung konsekuensi jangka panjangnya berdampak signifikan terhadap generasi muda.
Baca juga: Kuda Pacu sudah Mahir Bahasa Inggris
Akibat ini terkonfirmasi misalnya dalam laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), yang menyebut bahwa seorang anak yang lahir pada tahun 2000 memiliki dampak, risiko, potensi adaptasi, serta kerugian lebih besar dibanding mereka yang lahir pada tahun 1990 berhubung kondisi lingkungan yang semakin memprihatinkan (IPCC, 2013, pp. 33-115).
Baca juga: Pohon Investasi untuk Bumi
Stockholm Environment Institute juga melaporkan kondisi serupa dengan apa yang dilaporkan IPCC. Laporan survei lembaga tersebut mencatat bahwa anak yang lahir pada 2020 akan merasakan dampak buruk lingkungan lebih besar, jika dibandingkan dengan anak-anak yang lahir pada tahun 1960.
Mereka (yang lahir tahun 2020) dua kali lebih mungkin mengalami kebakaran hutan, 2,6 kali lebih rentan terhadap kekeringan, 2,8 kali lebih rentan terhadap banjir sungai, dan 6,8 kali lebih rentan merasakan gelombang panas sepanjang hidup mereka (Aggarwal, et al., 2022, p. 60).
Kondisi memprihatinkan tersebut menjadi salah satu alasan sekaligus pijakan awal artikel ini untuk mempertanyakan perihal ; sejauh mana anak-anak muda yang ada di Indonesia turut memperhatikan sekaligus berkontribusi aktif dalam upaya meminimalisasi terjadinya perubahan iklim yang juga tengah terjadi di negara ini?
Akar rumput
Dengan berpacu pada keresahan sama, bahwa lingkungan hidup di Indonesia perlu diselamatkan, kita dapat melihat salah satu gerakan akar rumput dari kelompok anak muda bernama Pandawara Group yang terus mengampanyekan sekaligus turun langsung untuk membersihkan tumpukan sampah yang tersebar di sungai atau pantai di Indonesia.
Tetapi, salah satu persoalannya, bila kesadaran lingkungan hanya diamplifikasikan oleh satu atau dua kelompok anak muda saja, risiko terbesarnya adalah isu soal lingkungan dan perubahan iklim hanya akan berakhir pada apa yang disebut oleh Bronwyn M. Hayward sebagai kapitalisme iklim, yaitu permasalahan polusi lingkungan yang harus diatur dan dikelola (Hayward, 2012).
Bukti akan adanya upaya pengaturan tersebut dapat dilihat dari penolakan Kepala Desa Sangrawayang terhadap Pandawara Group yang berupaya untuk membersihkan hamparan sampah di Pantai Loji, Sukabumi. Alih-alih membantu, Kepala Desa Sangrangwayang justru melarang dengan berdalih bahwa inisiasi anak-anak muda tersebut tidak melibatkan pemerintah setempat.
Pengharusan adanya izin atau regulasi non-formal, seperti penegasan Hayward, selain berkaitan dengan masalah climate change juga berkorelasi dengan elit teknis, manajerial, dan juga sistem politik formal yang serba membatasi (Hayward, 2017).
Tetapi demikian, apa yang dilakukan oleh generasi muda bak Pandawara Gorup secara implisit menyiratkan pesan bahwa keterlibatan dan kesadaran mereka yang semakin besar dalam inisiatif perubahan iklim menunjukkan bahwa kekuatan advokasi dan tindakan transformatif mereka perlu untuk dilanjutkan. Gagasan dan inisiasi Pandawara Group ini telah menegaskan kembali kapasitas generasi muda untuk bertindak sebagai agen perubahan (agent of change) dalam upaya mengadvokasi dan aksi peduli lingkungan hidup di masa yang akan datang.
Pada saat yang sama, harus disaksamai pula, bahwa mempolitisasi perubahan iklim dengan cara memperumit regulasi bagi anak-anak muda sama sekali tidak berdampak apa-apa terhadap lingkungan ini. Sebaliknya, pembatasan berlebihan, justru membuka ruang bagi aktor-aktor baru untuk melakukan tindakan antagonis dan polarisasi yang dapat menghambat upaya untuk memperbaiki perubahan iklim, yang dalam konteks hari ini, sedang berada dalam kondisi gawat-gawatnya.
Peran generasi muda
Kontribusi anak-anak muda sangat penting terutama dalam upaya meminimalisasi perubahan iklim karena mereka membawa perspektif unik dan ide-ide inovatif. Keterlibatan mereka, khususnya dalam pembuatan kebijakan, membawa perspektif jangka panjang yang sangat dibutuhkan namun sering kali terabaikan.
Inisiasi Pandawara Group dalam upaya untuk membersihkan sungai dan pantai dari tumpukan sampah menunjukkan bahwa aktivis lingkungan muda model mereka tidak hanya berupaya untuk menjadi pelopor gaya hidup ekologis yang menuntut agar gaya hidup manusia modern ini diperuntukkan bagi mereka yang hidup hari ini saja, tetapi juga diorientasikan untuk generasi mendatang yang akan melanjutkan mereka.
Generasi muda dapat memainkan peran signifikan dalam mendorong kebijakan pemerintah yang mempertimbangkan kepentingan generasi mendatang, sehingga memastikan bahwa tujuan pembangunan selaras dengan kelestarian lingkungan. Lebih jauh, upaya generasi muda bak Pandawa Group untuk terlibat aktif dalam menjaga kesimbangan ekologis tersebut, terutama jika ditarik pada argumen Aljets dan Ebinger tentang gerakan degrowth Jerman.
Mereka tidak setuju dengan ide pembangunan (developmentalism) yang cenderung atau bahkan tidak memedulikan efek lanjutannya terhadap alam (Aljets & Katharina, 2016, p. 6). Mereka sepenuhnya menyadari bahwa pembangunan di negara ini bisa dicapai dengan mengorbankan alam dan lingkungan sebagai konsekuensinya.
Generasi muda merupakan pemangku kepentingan penting dalam upaya global untuk mencapai kondisi lingkungan yang lebih baik dan berkelanjutan (sustainable). Keterlibatan mereka di tingkat lokal, nasional, dan internasional sangat penting untuk membangun ketahanan dan mengembangkan kebijakan adaptasi yang efektif.
Bunyi mereka bukan sekedar bisikan tentang hari esok; hal-hal tersebut merupakan gaung yang membentuk wacana dan tindakan lingkungan hidup saat ini. Memberdayakan inisiatif yang digagas oleh anak muda, mendukung suara mereka, dan menyediakan sumber daya yang diperlukan akan membuka potensi transformatif mereka.
Karenanya, para pemangku kepentingan perlu untuk melakukan refleksi kritis tentang apa yang disebut oleh Hannah Arendt dengan “to think about what we are doing,” yaitu memikirkan kembali apa yang sedang kita lakukan berikut konsekuensinya terhadap lingkungan (Arendt, 2018).
Apabila pemangku kepentingan berupaya untuk mengubah sistem, yang tidak lagi memedulikan kondisi iklim atau lingkungan, maka tugas kita selaku generasi muda perlu melakukan tindakan yang lebih dari sekedar sadar melainkan juga harus pada level gerakan aktivisme perubahan iklim. Dengan melakukan gerakan peduli lingkungan, generasi muda hari ini berikut juga dengan generasi muda di masa berikutnya, akan berada pada posisi yang lebih baik terutama untuk membingkai masa depan iklim yang lebih berkelanjutan.