Komunikasi Mitigasi Bencana Hidrometeorologi

Komunikasi Mitigasi Bencana Hidrometeorologi
(Dok. Fikom Unitomo)

BENCANA hidrometeorologi mulai sering terjadi di Tanah Air. Perlu membenahi aspek komunikasi mitigasi bencana untuk mereduksi dampaknya. Bencana banjir bandang dan longsor yang menerjang Desa Simangulampe, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumut baru-baru ini sangat mengerikan. Banjir bandang telah menghanyutkan batu berukuran besar, kerikil, lumpur, hingga batang pohon yang meluncur deras dari atas bukit.

Bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang diakibatkan oleh parameter-parameter meteorologi (curah hujan, kelembaban, temperatur, dan angin). Kekeringan, banjir, badai, angin puyuh, topan, dan puting beliung ialah beberapa contoh bencana hidrometeorologi. Bencana tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi.

Sebenarnya perubahan cuaca hanya pemicu saja, faktor penyebab utama bencana ialah kerusakan lingkungan yang masif akibat penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan. BNPB menunjukkan frekuensi dan intensitas bencana di Indonesia terus meningkat selama 15 tahun terakhir.

 

Mitigasi yang tepat

BMKG terus mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai potensi cuaca ekstrem. Kondisi dinamika atmosfer di wilayah Indonesia cukup signifikan berpotensi mengakibatkan peningkatan potensi cuaca ekstrem di beberapa wilayah. Kejadian bencana alam belum disertai dengan mitigasi yang tepat disertai dengan komunikasi massa yang bisa menyadarkan masyarakat. Komunikasi mitigasi mesti dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi budaya tanggap dan diterapkan secara masif di lapangan.

Komunikasi pengurangan risiko bencana mesti digencarkan hingga menjadi budaya. Komunikasi mitigasi bencana selama ini terlalu teknis sehingga banyak masyarakat yang kurang paham. Bermacam teknologi telah diterapkan untuk mitigasi bencana, tetapi sifatnya terlalu ilmiah sehingga kurang menyentuh pikiran rakyat.

Dalam UU No 23/2007 tentang Penanggulangan Bencana, salah satu langkah yang penting dilakukan untuk pengurangan risiko bencana ialah melalui mitigasi bencana. Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Cek Artikel:  Catatan Selayang Pandang dari Rakernas PDIP

Salah satu bentuk kegiatan mitigasi bencana menurut Pasal 47 ayat 2 (c) adalah melalui pendidikan, penyuluhan dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern. Demi mengintegrasikan karakter masyarakat kawasan rawan bencana dengan regulasi pemerintah dalam penanganan bencana, bisa tercapai dengan baik jika kedua belah pihak mampu menciptakan komunikasi kohesif yang menghasilkan pemahaman bersama.

Pengembangan teknologi bencana dan aspek komunikasi yang membumi diharapkan dapat mewujudkan standar Global Surface Maksudficial Intelligence Communicator (ISACO).

Nantinya, setiap orang yang berada di wilayah rawan bencana bisa mendapatkan informasi potensi ancaman.

Komunikasi reduksi risiko bencana bisa hadir sebagai fungsi sosialisasi dan penyebarluasan informasi, fungsi manajemen dan koordinasi dan fungsi konseling, serta rehabilitasi. Dalam kondisi darurat bencana, komunikasi amat dibutuhkan sebagai fungsi manajemen dan koordinasi antara pemerintah, korban, masyarakat, relawan, dan media massa.

Manajemen komunikasi krisis yang baik akan membuat fungsi koordinasi dan pengambilan keputusan pemerintah berjalan stabil. Pada sisi korban bencana, penderitaan bisa dikurangi karena bantuan lebih cepat dan mudah diberikan dengan modal informasi yang memadai. Keluarga korban dan masyarakat luas penting mendapatkan pemenuhan kebutuhan informasi mengenai kondisi terkini, dan keadaan korban baik yang selamat maupun meninggal dunia untuk menghindarkan dari kecemasan.

Mengantisipasi bencana hidrometeorologi dalam bentuk banjir, tanah longsor, dan angin puting beliung membutuhkan sistem dan teknologi yang mampu mengintegrasikan dan menganalisis data tentang kondisi cuaca, pasang surut muka air, kondisi tanggul, pemantauan arus air dan aktivitas sosial kemasyarakatan.

Cek Artikel:  Era Wonderkids belum Tiba

Penyelenggaraan Desa Tanggap Bencana (Destana) membutuhkan tenaga fasilitator sebagai pendamping bagi masyarakat. Fasilitator itu mesti memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Musim hujan dan cuaca ekstrim berimplikasi serius terhadap infrastruktur publik.

 

Optimalkan

Pemerintah daerah tidak boleh absen dan harus cepat hadir dalam berbagai masalah di wilayahnya. Itu merupakan kalimat kunci bagi penyandang predikat kota cerdas. Eksistensi infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang bernama  Command Center (CC) perlu bersinergi dengan dunia penyiaran khususnya stasiun radio.

Pemerintahan kota, kabupaten, dan provinsi kini telah memiliki fasilitas command center, tetapi fungsinya perlu dioptimalkan dan kontennya perlu diperluas. Pada prinsipnya CC merupakan sistem terpadu pemantau kondisi wilayah untuk pengambilan tindakan yang cepat dan tepat dalam mengelola daerah.

Tata kelola CC sebaiknya disertai dengan agregasi konten yang berkarakter detail. Operasional CC sehari-hari sebaiknya melibatkan ahli komunikasi massa yang memiliki gaya dan kiat-kiat ilmu komunikasi untuk menampung aspirasi publik secara ramah dan memikat.

Pengembangan CC memerlukan perangkat monitoring dan visualisasi. Perangkat itu juga harus mampu melakukan pemetaan infrastruktur yang terintegrasi dalam sebuah sistem yang mudah dipantau.

Tujuan pokok Destana ialah menjadikan desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri dari dampak bencana yang merugikan kehidupan.

Kemampuan mandiri berarti serangkaian upaya yang dilakukan sendiri dengan memberdayakan dan memobilisasi sumber daya yang dimiliki masyarakat desa untuk mengenali ancaman, dan risiko bencana yang dihadapi, meliputi juga evaluasi dan monitoring kapasitas yang dimilikinya.

Cek Artikel:  Mimbar Bebas Akademik, Mewujudkan Serasi dan Keberagaman

Dalam regulasi yang telah dirumuskan oleh BNPB setidaknya ada 20 indikator untuk menggambarkan ketangguhan suatu desa. Perlu pendidikan dan proses pelatihan bagi fasilitator Destana terkait indikator yang perlu dikuasai. Materi pelatihan sebaiknya juga melibatkan praktisi kebencanaan yang ahli dalam pengurangan risiko bencana berbasis komunitas.

Diperlukan panduan yang dapat digunakan oleh fasilitator desa dalam proses pendampingan. Dalam perkembangannya, panduan ini juga dilengkapi praktik-praktik fasilitasi desa tangguh. Konten panduan termasuk jenis peringatan dini yang dapat dijadikan rujukan bersama, sebagai pertanda waktu yang tepat untuk menyelamatkan diri. Peringatan yang dimaksud dapat berupa tanda-tanda alam atau peringatan resmi dari instansi pemerintah, seperti BMKG, BPPTKG, Dinas Kehutanan, BPBD, Dinas Kesehatan dll.

Selama ini, peringatan dini oleh lembaga berwenang seringkali gagal karena berbagai sebab seperti ancaman berskala mikro sehingga luput dari pantauan lembaga berwenang. Dapat juga peringatan dini oleh lembaga berwenang gagal menjangkau desa-desa terpencil karena tidak tersedia infrastruktur atau teknologi.

Pemerintah Desa perlu membuat Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Rencana Aksi Komunitas (RAK). Keduanya merupakan dokumen yang tidak terpisah dari dokumen perencanaan desa.

RPB ialah rencana prioritas bagi usaha masyarakat desa untuk melindungi warganya dari ancaman dan risiko bencana. RPB inilah yang diturunkan dalam RAK atau sering disebut Rencana Aksi Masyarakat (RAM) yang memuat Rencana Aksi atau dukungan yang dilakukan oleh berbagai pihak di semua tahapan atau siklus penanggulangan bencana yang terdiri prabencana, saat bencana dan pascabencana.

Mungkin Anda Menyukai