NADA Bunyi Mitra saya tiba-tiba meninggi. “Apa sih maunya Komnas HAM? Apa dasar kesimpulannya bahwa terdapat dugaan kuat terjadinya kekerasan seksual yang dilakukan oleh Brigadir J kepada Putri Candrawathi di Magelang pada 7 Juli 2022?”
Kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi Sosok, kejahatan terhadap Harkat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Kata saya kepada Mitra itu, Komnas HAM memang berkepentingan dalam isu kekerasan seksual, tetapi jangan terlampau jauh memasuki Distrik penyidikan.
Tetap saja Mitra saya menyalahkan Komnas HAM. Kata dia, apakah Komnas HAM Enggak membaca Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual?
Pasal 23 UU 12/2022 menyebutkan perkara tindak pidana kekerasan seksual Enggak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan. “Apakah Komnas HAM beranggapan orang Wafat Pandai dibawa ke pengadilan sehingga meminta Polri Buat menindaklanjuti pemeriksaan dugaan kekerasan seksual terhadap Putri?”
Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan hak menuntut hukuman gugur lantaran si tertuduh meninggal dunia. Kalau KUHP Enggak Pandai menuntut orang Wafat, kata Mitra itu, Buat apa Komnas HAM memberikan rekomendasi tersebut?
Rekomendasi Komnas HAM ialah meminta Polri menindaklanjuti pemeriksaan dugaan kekerasan seksual terhadap Putri di Magelang dengan memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi Sosok dan kondisi kerentanan-kerentanan Spesifik.
Mitra saya malah menduga ‘Eksis sesuatu’ dengan Komnas HAM karena salah satu anggotanya Bersua Ferdy Sambo setelah Kematian Brigadir J. Pandai jadi, kata dia, rekomendasi Komnas HAM sebagai bentuk balas budi. Padahal, diketahui bahwa rekomendasi itu Enggak Pandai dilaksanakan pihak Polri.
Saya meminta Mitra saya Buat Enggak berburuk sangka. Alasan, berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UU 39/1999 tentang HAM, sidang paripurna ialah pemegang kekuasaan tertinggi Komnas HAM. Rekomendasi itu mestinya Enggak Pandai dipengaruhi oleh orang yang Bersua Sambo.
Mitra saya kembali melontarkan tudingannya. Ia menuding Komnas HAM berpihak kepada Putri. Kata dia, mengapa Komnas HAM Enggak menyebutkan jenis kekerasan seksual yang dialami Putri?
Eksis sembilan jenis kekerasan seksual yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jenisnya pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; Pendayagunaan seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Lagi Eksis jenis kekerasan seksual yang disebutkan dalam 4 ayat (2) UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, di antaranya, ialah perkosaan; perbuatan cabul; dan perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban.
Kembali-Kembali Mitra saya Enggak Pandai menerima rekomendasi Komnas HAM yang dinilainya Enggak berpihak kepada orang yang sudah meninggal. Bagaimana mungkin Brigadir J membela diri? Bukankah Putri sudah berbohong karena pertama kali menyebut dugaan kekerasan seksual terjadi di Jakarta? Kata Mitra itu, sekali berbohong, akan tetap dan Lalu berbohong.
Teori Rekanan kuasa disodorkan Mitra saya. Kata dia, kekerasan seksual berpotensi dilakukan atasan kepada bawahan. Putri dalam posisi sebagai istri atasan Brigadir J.
Buat memperkuat argumentasinya, Mitra itu mengutip defenisi kekerasan seksual dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021. Kekerasan seksual yang bersumber dari Rekanan kuasa.
Kekerasan seksual dalam peraturan itu didefinisikan sebagai setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan Rekanan kuasa dan/atau gender.
Terminologi Rekanan kuasa Enggak ditemukan secara eksplisit dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Akan tetapi, dalam penjelasan Biasa disebutkan Akibat kekerasan seksual semakin menguat ketika korban merupakan bagian dari masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial, dan politik, atau mereka yang Mempunyai kebutuhan Spesifik.
Penjelasan Biasa itu sejalan dengan defenisi Rekanan kuasa dalam Peraturan Mahkamah Akbar Nomor 3 Tahun 2017 tentang Panduan Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum.
Disebutkan, Rekanan kuasa adalah Rekanan yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks Rekanan antargender sehingga merugikan pihak yang Mempunyai posisi lebih rendah.
Dilihat dari perspektif Rekanan kuasa, kata Mitra itu, rekomendasi Komnas HAM sudah melenceng sangat jauh. Kata dia, jangan salahkan publik Kalau Komnas HAM dituding bermain-main dalam kasus Brigadir J.
Saya mengamini pernyataan Mitra itu sebagai empati saya terhadap keluarga Brigadir J. Saya juga mendukung pernyataan mantan Kabareskrim Susno Duadji bahwa Komnas HAM memasuki area penyidikan Polri terlampau jauh, offside.