Sebagai wujud komitmen dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai target netralitas karbon atau Net Zero Emissions (NZE) pada 2060, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berencana membatalkan kontrak 13,3 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang sebelumnya direncanakan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028.
“Sebelumnya kita merencanakan pembangunan PLTU baru, tapi kita setop. Kita batalkan rencana tersebut dan itu bisa selamatkan 1,8 miliar ton emisi CO2,” ujar Direktur Manajemen Risiko PLN Suroso Isnandar dalam Media Briefing Electrifying The Future: Strategi Hijau Demi Percepatan Net Zero Emissions di Sarinah, Jakarta, Selasa (17/9).
Selain itu, sebagai upaya dekarbonisasi pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil, perusahaan negara itu juga membatalkan pembelian tenaga listrik atau power purchase agreement (PPA) dengan pembangkit listrik milik swasta sebesar 1,4 GW
Baca juga : PLN akan Gunakan Green Ammonia Sebagai Alternatif Pengganti Batu Bara
“Itu merupakan sinyal kuat bahwa kita memang komitmen untuk mengurangi emisi sesuai dengan perjanjian jual beli listrik,” tegas Suroso.
Selanjutnya, PLN juga mengganti 1,1 GW PLTU dengan pembangkit energi baru terbarukan (EBT). Rencananya, perseroan akan mengganti 800 megawatt (MW) PLTU dengan pembangkit gas. Tak sampai di situ, untuk mengejar NZE di 2060, perseroan menerapkan co-firing biomassa atau teknik substitusi PLTU batu bara dengan bahan biomassa seperti pellet kayu, sampah, cangkang sawit atau serbuk gegaji guna menekan emisi dari pembakaran. Co-firing biomassa telah dilakukan di 46 PLTU.
“Ditargetkan akan ada 52 PLTU di 2025 yang menerapkan co-firing biomassa,” imbuhnya.
Ia menambahkan, PLN memerlukan kolaborasi banyak pihak untuk mencapai tujuan netralitas, termasuk soal pendanaan dalam pembangunan pembangkit EBT. Secara keseluruhan dalam pengembangan EBT di Indonesia, PLN butuh mengalokasikan dana hingga US$200 miliar atau sekitar Rp3.066 triliun. (Z-11)