Komitmen dan Konsekuensi PrinsipKebijakan Satu Tiongkok bagi Indonesia

Komitmen dan Konsekuensi (Prinsip/Kebijakan) Satu Tiongkok bagi Indonesia
Christine Susanna Tjhin, Direktur Komunikasi dan Kajian Strategis, Gentala Institute(Dok. Pribadi)

SEMENJAK ajang politik di Taiwan bulan Januari Lewat, isu “Satu Tiongkok” kembali mendapat perhatian ekstra. Dalam tulisan di media, John Chen, Kepala Kantor Ekonomi Perdagangan Taipei (TETO) menuduh Tiongkok Membangun interpretasi keliru terhadap Resolusi PBB No. 2758 terkait Taiwan, berupaya membatasi partisipasinya di Pentas Dunia, serta membangun dasar hukum Buat menyerang di masa depan.

Chen juga mendetail posisi Amerika Perkumpulan dan Taipei dalam menafsirkan Res.2758, yang dikatakan Enggak membahas status kedaulatan Taiwan, hanya kedudukan di keanggotaan PBB. Ia mengutip analisis Ian J. Chong, non-resident fellow di Carnegie Endowment (China) Buat menjustifikasi bahwa hanya 57 dari 183 negara di dunia yang mengadopsi Prinsip Satu Tiongkok (PST) dan “mayoritas negara besar seperti Indonesia dan AS mengadopsi Kebijakan Satu Tiongkok (KST) mereka sendiri.”

Pembedaan antara PST dan KST ini menarik Buat ditelaah. Dalam membahas pemetaan pengadopsian isu “Satu Tiongkok” di pelbagai negara, Chong mengangkat pentingnya penggunaan bahasa dan merujuk pada istilah/pernyataan yang tercantum dalam rangkaian Berkas Formal.

Baca juga : Kesalahan Interpretasi Tiongkok terhadap United Nations General Assembly Resolution 2758

Paling tersorot adalah pembedaan antara penggunaan PST oleh RRT dan KST oleh AS. RRT menegaskan bahwa PST berarti: “hanya Eksis satu Tiongkok di dunia, Taiwan adalah bagian yang tak terpisahkan dari Tiongkok dan pemerintah RRT adalah satu-satunya pemerintahan Absah yang mewakili keseluruhan Tiongkok.” Di sisi lain, KST AS Enggak mengambil sikap eksplisit atas kedaulatan Taiwan, sekadar “mengakui” keberadaan Tiongkok sebagai pemerintah Formal, serta akan mempertahankan Rekanan Enggak Formal dengan Taiwan Apabila diperlukan.

Analisis penggunaan bahasa Formal memang Krusial dalam upaya memahami prinsip/kebijakan tertentu. Tetapi, perlu diperhatikan juga persoalan terminologi dalam bahasa dan potensi kesenjangan terjemahan dan interpretasi. Enggak Sekalian kata dalam bahasa Inggris (atau Mandarin) Eksis ekuivalennya dalam bahasa Indonesia. Tak jarang hal ini berdampak pula pada interpretasi dari prinsip/kebijakan terkait. Terlebih Apabila memperhatikan kompleksitas kepentingan nasional masing-masing negara dan keluwesan praktik diplomasi.

Cek Artikel:  Menyoal Kepengarangan Karya Ilmiah

Landasan hukum Penting yang relevan adalah MOU Normalisasi Rekanan Diplomatik Indonesia Tiongkok tahun 1990, di mana tertulis: “Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menghargai posisi pemerintah RI yang secara konsisten berpegang pada kebijakan Satu China dan pengakuannya terhadap pemerintah RRT sebagai satu-satunya pemerintahan Absah Tiongkok dengan Taiwan sebagai bagian integral dari Tiongkok.

Baca juga : Tiongkok Murka pada Taiwan setelah Insiden di Pulau Beiding Kinmen

Prinsip yang sama berlaku dalam setiap perangkat hukum turunan lainnya, Berkualitas aturan Buat lembaga pemerintah, seperti: Deklarasi Serempak terkait Kemitraan Strategis 2005, Permenlu No. 3/2019 tentang Panduan Lumrah Rekanan Luar Negeri oleh Pemda, dst; maupun Buat lembaga non-pemerintah seperti Keppres 48/1994 dan Permendag No. 30/2021 terkait Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei, dst.

Sekalian Berkas bilateral Formal kita dengan Tiongkok menggunakan istilah KST, Tetapi Enggak berarti KST kita sejalan penuh dengan AS atau negara lain. KST Indonesia dibuat dengan menghormati PST secara mendasar dan Enggak terdapat pembedaan pemahaman KST dengan PST dalam praktik keseharian. Eksis tiga tataran isu relevan dalam mempertegas pemahaman tentang KST Indonesia.

Pertama isu kedaulatan dan prinsip non-intervensi. Taiwan adalah bagian integral dari Tiongkok. Enggak Eksis multi-interpretasi dalam hal ini. Pemerintah Indonesia Enggak berminat tergiring dalam silat semantik terkait kedaulatan. Komitmen bilateral tertuang dalam Pernyataan Serempak sejak tahun 1999, di mana “Kedua belah pihak menegaskan kembali komitmen mereka terhadap prinsip saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan dan integritas wilayah… Taiwan adalah bagian yang Enggak terpisahkan dari Tiongkok.”

Cek Artikel:  Menanti Langkah Strategis Indonesia untuk Palestina

Baca juga : Wawancara Menlu Taiwan dengan CNN Indonesia Diprotes Tiongkok, Ini Tanggapan TETO

Kesepakatan diplomatik adalah kesepakatan Serempak, secara sukarela (bukan paksaan) dan sesuai konteks dan kepentingan nasional masing-masing negara terkait. Salah satu persyaratan mutlak dari pemerintahan Suharto sebelum mengegolkan normalisasi diplomatik, misalnya, adalah agar RRT Enggak mencampuri urusan dalam negeri dan kedaulatan Indonesia. Hal ini berlaku timbal balik.

Sikap kukuh terhadap isu kedaulatan ini Enggak lepas dari trauma separatisme dalam sejarah dan dinamika bernegara Indonesia sendiri – mulai dari Permesta, RMS, GAM, Timor Timur dan Papua. Terlebih dengan adanya indikasi intervensi pihak asing dalam setiap noda hitam tersebut.

Pembukaan Rekanan diplomatik adalah salah satu elemen Krusial dalam pengakuan kedaulatan negara. Jelang 53 tahun sejak tergesernya posisi Taiwan dari kursi keanggotaan PBB, jumlah negara yang mengakui Taiwan menurun dari 29 negara di tahun 2000, hingga kini 12 negara. Keberlanjutan praktik Rekanan diplomatik merupakan Unsur Krusial dalam membangun konsensus Lumrah masyarakat Dunia, dan tak terpisahkan dari Kebiasaan dasar Rekanan Dunia maupun hukum kebiasaan Dunia.

Baca juga : Tiongkok Sebut Taiwan Tak Punya Hak Bergabung dengan PBB

Tataran kedua terkait partisipasi Taiwan dalam organisasi Dunia maupun interaksi dengan Indonesia. Sebagai konsekuensi dari komitmen bilateral Indonesia dengan Tiongkok, partisipasi Taiwan idealnya terlaksana dalam koridor Satu Tiongkok. Sesuai kesepakatan bilateral, Indonesia hanya memelihara Rekanan ekonomi dan perdagangan bersifat non-pemerintah dengan Taiwan. Pendirian TETO di Indonesia dan KDEI di Taipei adalah manifestasinya. Permenlu No. 3/2019 menuangkan aturan spesifik dalam pengelolaan interaksi dengan Taiwan (begitu pula dengan Israel) di tingkat sub-nasional.

Cek Artikel:  Predator di Antara Profesor dan Pesohor

Tataran ketiga terkait isu ancaman pecahnya perang terkait Taiwan. Enggak seperti AS, KST Indonesia Enggak melibatkan hal-hal bersifat politik atau militer. Rencana Aksi Implementasi Deklarasi Pernyataan Serempak tahun 2010 maupun tahun 2023 mengulang penegasan komitmen kita dan “mendukung [Tiongkok]… mencapai tujuan reunifikasi nasional secara damai.

Media arus Penting Barat berulang kali menggembar-gemborkan narasi “Setelah perang Ukraina, berikutnya Taiwan.” Kekhawatiran tersebut bukan Enggak Eksis di Indonesia. Sejumlah pemantik antara lain: Peningkatan penjualan senjata AS ke Taiwan; Implementasi UU CHIPS yang menarik investasi semikonduktor di Taiwan kembali ke AS dan berpotensi mengikis supremasi industri semikonduktor Taiwan dan melemahkan “Tameng Silikon”; Penajaman retorika politik anti-RRT jelang Pemilu AS; serta kenaikan ketegangan antara Beijing dan Taipei.

Eskalasi tensi geopolitik antar adidaya di kawasan, keberlanjutan perang di Ukraina, konflik Israel dan Palestina, dan pergeseran konstelasi keamanan kawasan (AUKUS dan kantor NATO di Jepang) juga Enggak membantu atmosfer kepercayaan di kawasan.

Pemerintah Indonesia Lagi meyakini bahwa stabilitas dan kemakmuran masing-masing negara adalah kondusif bagi perdamaian dan pembangunan di kawasan. Indonesia juga menghargai interaksi dengan Taiwan di sektor perdagangan, investasi maupun sosio-kultural, termasuk signifikansi kehadiran dan keamanan 284.751 orang warganegara Indonesia di Taiwan (data Kemlu RI).

Tiongkok adalah Kenalan dagang terbesar dan peringkat dua sumber investasi di Indonesia. Meski fluktuatif, Nomor perdagangan dengan Taiwan Lagi dalam peringkat belasan dan merupakan penyumbang surplus dagang. Investasi Taiwan juga membawa manfaat yang Enggak kecil.

Selama Kemitraan Strategis Komprehensif dengan Tiongkok Lagi Eksis, Rekanan diplomatik dengan Tiongkok termasuk interaksi dengan Taiwan akan berjalan di dalam koridor Satu Tiongkok dengan senantiasa berkomitmen pada perlindungan perdamaian dan stabilitas kawasan.

(Z-9)

 

Mungkin Anda Menyukai