
AKTIVIS Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini mengatakan sangat kecewa kepada DPR RI yang telah mempermainkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dengan mengembalikan naskah kepada Badan Keahlian DPR saat kajian terkait Daftar Inventaris Masalah (DIM) dan Surat Presiden (Supres) sudah selesai dan tersedia.
“RUU PPRT ini kajian sudah dilakukan selama 20 tahun dan DPR sudah berkunjung dan banding ke luar negeri, sudah ada naskah akademik dalam bentuk kajian dan berbagai surat dan syarat juga lengkap. Definisinya kajian itu sudah selesai, hanya tinggal disahkan, tapi mengapa masih dibawa lagi ke BKD?,” kata Lita dalam konfrensi pers di Jakarta pada Rabu (11/9).
Lita mendesak DPR RI untuk segera mengesahkan RUU PPRT pada September 2024 sebagai sebuah dasar untuk perlindungan bagi lebih dari 5 juta pekerja rumah tangga. Menurutnya, jika DPR bisa mengesahkan aturan UU Ciptaker dan Revisi UU Pilkada selama hitungan hari, maka RUU PPRT yang memiliki jumlah pasal lebih sedikit dibandingkan dua aturan tersebut, harusnya bisa disahkan segera.
Baca juga : Koalisi Sipil untuk UU PPRT Akan Gelar Aksi di Depan DPR, Desak Pengesahan Bulan Ini
“Sejak 1,5 tahun lalu pada Maret 2021, RUU PPRT sudah menjadi rancangan inisiatif namun pimpinan DPR belum mengagendakan untuk dibahas. Ini berbanding terbalik dengan bagaimana DPR membahas RUU lain seperti Ciptaker dan Pemilu dalam waktu singkat, pengesahan RUU ini adalah persoalan political will DPR,” ungkapnya.
Lita menilai, selama ini DPR sangat cepat mengesahkan RUU yang berpihak pada penguasa dan pengusaha, sementara RUU uang berpihak pada masyarakat sering kali diabaikan dan bahan dipermainkan. Apabila hal itu terus dilakukan hingga akhir masa jabatan, DPR kata Lita, akan dikenang sebagai agen perbudakan modern di Indonesia.
“Personil DPR harus segera mengesahkan RUU PPRT, menolak undang-undang ini artinya DPR memilih untuk dikenang sebagai agen perbudakan di Indonesia. Bagaimanapun DPR itu bisa bekerja karena ada peran PRT, negara ini bisa berjalan dan berproduksi karena ada PRT, tanpa PRT maka negara juga akan lumpuh,” tandasnya.
Baca juga : DPR Diminta Respons Desakan Pengesahan RUU PPRT
Staff dan Pengacara dari LBH Apik, Aprillia Tengker menjelaskan perlindungan bagi PRT menjadi sangat penting karena kekerasan yang terjadi di dalam pekerjaan lini domestik tengah mengalami kondisi darurat kekerasan. Dikatakan bahwa setiap tahunnya selalu ada kasus kekerasan PPRT yang dilaporkan.
“Banyak pekerja rumah tangga yang mengalami kekerasan fisik, seksual, dan psikis termasuk juga kondisi tidak dibayarkannya hak-hak normatifnya sebagai pekerja. Kagak adanya perlindungan untuk bekerja rumah tangga ini membuat orang-orang tidak memenuhi kewajibannya kepada para pekerja PRT,” katanya.
Aprillia menjelaskan PRT tak bisa dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan karena secara regulasi, UU tersebut hanya mengakomodir pekerja formal. Permasalahan itu juga yang pernah dilaporkan dalam kasus yang masuk ke LBH Jakarta.
“Kenapa PRT tidak bisa dilindungi pakai undang-undang atau Ketenagakerjaan? karena undang-undang ini secara struktur tidak bisa melindungi pekerja informal, maka sangat penting untuk kita mendorong adanya pengesahan RUU PRT yang punya ciri khas sendiri terkait dengan pengaturan upah, aturan PHK dan lainnya,” imbuhnya.
“Kmi pernah menerima laporan kasus PRT lalu dibawa ke Dinas Ketenagakerjaan tapi ternyata mereka tidak menerima kasus tersebut dengan alasan tidak bisa menangani karena di undang-undang tidak bisa melindungi PRT. Ini contoh dimana PRT sulit untuk mendapatkan hak normatifnya secara hukum,” tandasnya. (H-2)