Klaim Politik Ormas Islam dan Pilpres 2024

Klaim Politik Ormas Islam dan Pilpres 2024
(Dok. Pribadi)

MENARIK pernyataan Wakil Sekjen PBNU Sulaiman Tanjung beberapa waktu Lampau yang menyebut bahwa mayoritas Anggota NU (Nahdliyin) memilih PDIP, bukan PKB. Mengutip hasil survei sebuah surat Berita nasional, Sulaiman menyebut bahwa PDIP menempati urutan pertama partai yang dipilih Nahdliyin dengan 22,6%. Berikutnya berturut-turut Partai Gerindra 19,6%, Partai Demokrat dan PKB masing-masing 7,4%, dan Partai Golkar 7,1%.

Menariknya, pertama, pernyataan tersebut keluar dari petinggi PBNU. Sulaiman seolah Ingin mengatakan bahwa PKB bukan partai Istimewa Nahdliyin dan menegaskan bahwa PBNU menjaga jarak dengan PKB, memberlakukan PKB sama dengan partai politik lainnya.

Kedua, setiap menjelang pemilu dan pilpres, selalu saja muncul pernyataan-pernyataan dari elite ormas Islam berkenaan dengan klaim-klaim politik, seperti yang sering dilakukan NU dan ormas Islam lainnya, termasuk Muhammadiyah.

 

Persoalan definisi Nahdliyin

Pernyataan Sulaiman, termasuk pernyataan Muhaimin Iskandar bahwa “Pemilih PKB adalah terloyal dan solid sekali Tiba ke Dasar, dan bahkan Yahya Cholil Ketua Lazim PBNU ngomong apa saja terhadap PKB, Tak berpengaruh sama sekali,” tak sepenuhnya salah, tetapi juga tak sepenuhnya Betul. Persoalan sebenarnya lebih terkait dengan definisi Nahdliyin, yakni Nahdliyin dipahami sebagai entitas tunggal. Seolah sama dan sebangun antara Nahdliyin dalam pengertian tradisi dan Nahdliyin dalam pengertian politik.

Selama ini NU sering disebut sebagai organisasi tradisional karena ikhtiarnya dalam menghidupi nilai-nilai tradisi Islam. Atas upayanya itu, NU juga sering mendapat Julukan ‘NU kultural’, meski Julukan itu cenderung bias karena Bentuk ‘NU kultural’ sebenarnya sudah hadir jauh sebelum NU berdiri, tepatnya sejak Islam masuk ke Indonesia. Para pendakwah Islam periode pertama telah membawa nilai-nilai kultural Islam dan memadukannya dengan tradisi lokal, yang kemudian diklaim sebagai ‘NU kultural’.

Sementara itu, NU baru berdiri 1926. Sebelumnya, berdiri Jamiatul Khair (1905), Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1914), Mathlaul Anwar (1916), dan Persis (1923). Dari sisi kultural, beberapa organisasi seperti Mathlaul Anwar, Al-Washliyah (1930), dan Nahdlatul Wathan (1953) juga mempunyai tradisi keagamaan yang serupa dengan NU, meski berbeda dalam urusan dan afiliasi politik. Seperti halnya NU, ketiga organisasi itu menganut mazhab Syafii. Tetapi, dalam hal pilihan politik berbeda. Ketika NU memutuskan berpisah dari Masyumi dan menjadi partai politik, 1952, ketiganya tetap istikamah mendukung Masyumi.

Terlepas Terdapat bias definisi, ‘NU kultural’ dalam realitasnya Tak tunggal. Setidaknya terdapat empat tipologi. Pertama, ketika Sulaiman menyebut bahwa mayoritas Nahdliyin memilih PDIP, tentu Nahdliyin dimaksud mesti dipahami sebagai ‘NU minimalis’, sebatas mengamalkan tradisi ke-NU-an saja. Clifford Geertz menyebutnya Abangan. Kebanyakan mereka Tak aktif di NU dan kalau ditanya soal ke-NU-an dipastikan banyak yang tak paham. Secara politik sangat Berdikari. Mereka tak merasa terikat dengan putusan-putusan politik NU. Nahdliyin model itu jumlahnya sangat banyak, dan sebagian besar menjadi pemilih PDIP. Sebagian lainnya memilih partai politik lainnya.

Cek Artikel:  Haji Tapak Tilas Pemikiran Kemanusiaan Universal

Kedua, ‘NU kondisional’, kepentingan politik menuntutnya menjadi NU. Mereka pragmatis dan oportunis, memosisikan NU bak partai politik, sebatas tunggangan politik. Varian itu juga Bisa disebut ‘NU musiman’. Ketika secara politik dinilai menguntungkan, ramai-ramai menjadi NU. Tetapi, ketika dinilai sudah tak menguntungkan, dia akan berlabuh ke ormas lain. Nahdliyin model itu tak mempunyai rekam jejak yang Terang dalam hal ke-NU-an.

Ketiga, ‘NU organisatoris’, Nahdliyin yang mengabdi melalui NU atau Badan Otonom (Banon). Gus Yahya Cholil mewakili varian itu, yang mencoba memosisikan NU sejalan dengan Khittah 1926, yang tak Terdapat keterkaitan langsung dengan partai politik mana pun. Keempat, ‘NU politi’’, Nahdliyin yang berpengalaman aktif di NU atau Banom, tapi dalam perjalanannya memilih jalur politik. Sebagian besar varian itu memilih dan aktif di PKB. Selebihnya, dalam jumlah yang sedikit, Terdapat yang aktif di PPP, Gerindra, Partai Demokrat, Partai Golkar, PAN, PKS, dan partai lainnya.

Beragamnya varian Nahdliyin memperkuat Intervensi Denny JA. yang menyebut bahwa yang merasa bagian dari NU berjumlah 56,9%. Meski belum Mengerti metode riset yang dipakai, Nyaris dipastikan bahwa definisi Nahdliyin yang dipakai Denny JA dibatasi dalam artian kultural, tak mungkin dalam pengertian ideologis, yang paham Aswaja, Qonun Asasi KH Hasyim Asyari, mempunyai Kartanu, dan menjadi pengurus NU.

MI/Seno

 

Tak beda dengan Muhammadiyah

Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi modern. Lazimnya, di belahan dunia mana pun, keanggotaannya Niscaya lebih sedikit Apabila dibandingkan dengan organisasi tradisional. Bermuhammadiyah artinya berproses menjadi Muhammadiyah, yang berarti Terdapat fase transisi hingga menjadi Muhammadiyah. Sebagai hasil dari proses transisi, kecenderungan terjadinya heterogenitas di tubuh Muhammadiyah pun potensial.

Munir Mulkan memotret Anggota Muhammadiyin dalam empat varian. Pertama, Mukhlas, mereka yang cenderung hitam putih (rigid) dalam bermuhammadiyah atau Amin Abdullah menyebutnya Mursal (Muhammadiyah rasa Salafi). Kedua, Muhammadiyah-Ahmad Dahlan (Muda), Paras Muhammadiyah yang moderat, akomodatif, dan adaptif. Ketiga, Munu, Muhammadiyah berlatar belakang Nahdliyin. Keempat, Munas, Muhammadiyah berlatar belakang nasionalis. Abdul Mu’ti menawarkan Krismuha, Kristiani yang sekolah atau kuliah di Muhammadiyah. Saya menawarkan Muhammadiyah-Amal Usaha (Muh-Aum), menjadi Muhammadiyah karena sekolah, kuliah, atau bekerja di Amal Usaha Muhammadiyah.

Cek Artikel:  Babak Baru Suriah dan Sikap Indonesia

Tanda khas kaum modernis lainnya kepatuhan pada organisasi. Di Muhammadiyah budaya sami’na wa atha’na atas kebijakan-kebijakan organisasi sangat kuat. Konsekuensinya, Paras Muhammadiyah menjadi bukan hanya kaku (rigid), melainkan juga puritan, dan Paras itu sering kali Tak proporsional. Bersikap puritan pada Distrik mahdhah tentu Bisa dipahami. Namu,n ketika masuk di Distrik muamalah seperti politik, tentu Tak proporsional.

Kepatuhan pada organisasi satu sisi menjadi kekuatan. Tetapi, Bisa juga menjadi kelemahan bila Tak dibarengi dengan upaya membangun basis-basis kekuatan kultural seperti dilakukan pada awal-awal lahirnya Muhammadiyah. Pendirian Partai Islam Indonesia (PII) oleh KH Mas Mansur, ketelibatan di MIAI dan Masyumi, lahirnya Parmusi Tiba Gabungan ke dalam PPP hingga awal-awal pendirian PAN, merupakan gambaran perpaduan apik antara kekuatan organisasi dan kekuatan kultural Muhammadiyah.

Belakangan, kekuatan kultural semakin melemah. Sebaliknya, kekuatan organisasi semakin menguat. Menguatnya Paras organisasi menjadikan Muhammadiyah terlihat semakin rigid dan puritan. Akibatnya, dalam menyikapi persoalan politik, terlihat gamang dan gagap. Muhammadiyah yang sejak sebelum kemerdekaan hingga awal reformasi berperan Krusial dan selalu diperhitungkan dalam setiap proses politik, sekarang kurang Tengah diperhitungkan. Padahal positioning Muhammadiyah sejak awal berdirinya Tiba sekarang tak berubah, tetap senapas dengan Khittah 1912, sebagai organisasi sosial dan keagamaan. Politik yang liberal dan berbiaya mahal sering kali menjadi alibi atas melemahnya peran politik Muhammadiyah. Padahal, sejatinya abainya dalam membangun kekuatan kultural merupakan Unsur determinan atas melemahnya peran politik Muhammadiyin.

 

Impact politik berbiaya mahal

Klaim-klaim politik jelang pilpres atau pemilu legislatif merupakan impact dari praktik politik yang liberal dan berbiaya mahal, yakni politik ditentukan berdasar jumlah kepala, bukan isi kepala. Padahal, kalau menilik Pemilu 1955 dan pemilu-pemilu pasca-Orde Baru, termasuk pilpres langsung sejak 2004 hingga 2019, membuktikan bahwa klaim-klaim politik tak selalu korelatif dengan perolehan Bunyi partai politik atau keterpilihan seorang kandidat.

Tengok hasil Pemilu 1955, Partai NU hanya mendapat 18% Bunyi (45 kursi), sedangkan PKI mendapat 15% Bunyi (39 kursi). Bunyi terbesar Nahdliyin sangat mungkin Bahkan Tak memilih Partai NU, tapi memilih PNI, Masyumi, dan PKI. Bahkan, pemilih PKI yang muslim dipastikan banyak berasal dari kaum tradisi, yang kalau konsisten dengan Intervensi Denny JA, tentu merupakan bagian dari yang diklaim sebagai Nahdliyin. Itu membuktikan bahwa secara kultural kuantitas Nahdliyin terbukti Tak linier dalam konteks politik.

Cek Artikel:  Mpox Darurat Kesehatan Dunia

Pilpres 2004 juga membuktikan KH Hasyim Muzadi, Ketua Tanfidziyah PBNU, tak Bisa mengantarkan Kekasih Megawati-Hasyim Muzadi menjadi pemenang. Kekasih itu hanya mendapat 26,61% Bunyi pada putaran pertama dan 39,38% Bunyi putaran kedua. Pada putaran kedua, PKB bahkan Tak mendukung Megawati-Hasyim Muzadi, tapi memilih mendukung Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Padahal, kalau memakai pendekatan Herbert Feith, Megawati-Hasyim Muzadi merupakan representasi dari dua kekuatan politik: nasionalis dan Islam tradisionalis.

Kekalahan Megawati-Hasyim Muzadi Bisa dimaknai, pertama, dengan segala variannya, membuktikan Bunyi Nahdliyin tak sesolid seperti diperkirakan. Kedua, klaim-klaim politik NU yang bersifat kuantitatif tak selalu berkolerasi dengan hasil. Ketiga, Nahdliyin dalam pengertian kultural tak linier dengan nahdliyin dalam pengertian politik. Kepatuhan Nahdliyin sebatas ‘kepatuhan ritual-kultural’, bukan ‘kepatuhan politik’.

Kalau membaca data yang Terdapat, linieritas Bahkan terjadi di Muhammadiyah. Hasil Pemilu 1955, Masyumi mendapat 21% Bunyi, membuktikan adanya linieritas ‘kepatuhan organisasi’ dengan ‘kepatuhan politik’. PAN hingga Demi ini Lagi menjadi pilihan mainstream Anggota Muhammadiyah. Pada Pemilu 1999 berhasil mendapat 7,1% Bunyi.

Pada Pemilu 2019, PAN Lagi memperoleh 6,7% Bunyi. Andai 8 kursi PAN di Jawa Tengah yang diperoleh pada Pemilu 2014 Tak ‘dihilangkan’ sepenuhnya, tentu perolehan Bunyi PAN akan bertambah. Padahal, sejak Pemilu 2009, di lingkup Anggota Muhammadiyah mulai tumbuh kesadaran Kepada melakukan diaspora politik.

Sikap puritan politik Anggota Muhammadiyah itu tentu menguntungkan PAN sehingga wajar dalam setiap riset yang berkenaan dengan loyalitas pemilih, pemilih PAN termasuk salah satu yang paling loyal. Terdapat pepatah Jawa tego lorone ora tego patine, tega atas sakitnya, Tak tega atas matinya.

Itulah sikap sebagian besar Anggota Muhammadiyah terhadap PAN. Tumbuhnya sikap itu lebih terkait dengan aspek kesejarahan PAN. PAN lahir atas rekomendasi Tanwir Muhammadiyah, 1998. PAN berdiri hingga berhasil lolos Pemilu 1999 karena loyalitas organisasi dan Lagi kuatnya bangunan kultural Muhammadiyah.

Loyalitas Anggota Muhammadiyah terhadap PAN harus disikapi secara proporsional oleh elite PAN. Prinsip tak boleh lupa sejarah atas pendirian PAN harus selalu diingat para petinggi PAN bahwa adanya PAN karena Muhammadiyah. Tanpa Muhammadiyah, tak pernah Terdapat PAN.

Mungkin Anda Menyukai