Kisah Antonia Soriente, Linguis Italia yang Merekonstruksi Kapal Klasik Sulawesi Selatan

Kisah Antonia Soriente, Linguis Italia yang Merekonstruksi Kapal Kuno Sulawesi Selatan
ANTONIA Soriente, profesor pengajar bahasa dan sastra Indonesia di Universitas L’Orientale Napoli, Italia, yang merekonstruksi kapal kuno Sulawesi Selatan.(MI/ Vicky Gustiawan)

ANTONIA Soriente, profesor pengajar bahasa dan sastra Indonesia di Universitas L’Orientale Napoli, Italia, berkisah tentang pengalamannya merekonstruksi palari, kapal kuno Sulawesi Selatan (Sulsel). Upaya rekonstruksi itu merupakan bagian penelitian lintas disiplin yang melibatkan ahli bahasa, termasuk dirinya, arkeolog, dan warga lokal.

 

Berbicara di acara Pertemuan Ilmiah Tradisi Lisan di Jakarta, Selasa (17/9), Soriente menjelaskan bahwa penelitiannya ingin memperlihatkan praktik kerja linguis tidak saja terbatas pada penelitian kebahasaan. Melainkan juga bisa melakukan penelitian lintas disiplin yang menarik.

Baca juga : Matangan Sembari Sailing Naik Phinisi, Peserta KIM Fest 2024 Nikmati Senja di Laut Losari 

 

Ide untuk merekonstruksi kapal palari, dikatakan Soriente, tercetus dari penetapan Unesco tentang kapal pinisi sebagai Warisan Budaya Dunia Takbenda pada 2017. Palari, adalah jenis kapal layar Indonesia dari Sulawesi Selatan. Kapal ini dilengkapi dengan sistem layar pinisi, yakni sistem dua tiang dengan jumlah layar 7 -8, yang sering membuatnya lebih dikenal dengan nama ‘pinisi’ (digerakkan dengan layar). Selain palari, perahu lain yang juga kerap memakai sistem layar pinisi adalah lamba.

Cek Artikel:  Ramalan Zodiak Taurus Hari ini Selasa, 27 Agustus 2024 Keuangan, Karir dan Asmara

 

Baca juga : Memulai KIMFest dengan Sunset Dinner di Atas Kapal Pinisi

Pada 2019, niat Soriente untuk merekonstruksi palari menguat dengan adanya seorang rekan yang memiliki minat tentang warisan kemaritiman di Indonesia, khususnya tentang pembuatan kapal. “Pada 2021–2024 diadakanlah sejumlah proyek penelitian arkeologi murni yang ada di dua situs, yakni di Punjulharjo, Jawa Tengah, dan Bintan, Kepulauan Riau,” buka Soriente dalam acara yang diselenggarakan oleh Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) dan Kemendikbudristek itu.

 

Soriente dan para rekannya menggunakan titik awal penelitian dari studi penemuan balai arkeologi Yogyakarta yang melakukan eskavasi kapal kuno di lumpur di Desa Punjulharjo, Jawa Tengah, pada 2009. Kapal yang ditemukan tersebut ditempatkan di museum mini di desa itu pada 2020. Soriente mempelajari teknik dan fotogrametri perahu kuno itu dan menggunakannya sebagai acuan untuk mereproduksi desain secara tiga dimensi.

Baca juga : Gambar hidup Drama Komedi Puang Bos Nomort Cerita Kapal Pinisi

 

Pada 2022, proyek rekonstruksi palari pun dilakukan. Dalam pembuatan palari, Soriente juga melibatkan para penduduk lokal di Sulawesi Selatan. Kayu-kayu dari hutan mulai dicari, dengan memilih kayu yang memiliki bentuk sedikit melengkung agar bisa memberikan bentuk pada lambung kapalnya. Pada 2020, tahap konstruksi masih berupa penelitian, yang terbatas akibat pandemi.

Cek Artikel:  Komnas HAM Kawal Pengesahan RUU PPRT

 

Baca juga : Kapal Pinisi Tenggelam di Taman Nasional Komodo

Output dari penelitan ini sebenarnya ada dua hal penting. Pertama, satu kapal hidup (bisa untuk berlayar) dengan panjang 11 meter. Kedua, dalam proses rekonstruksi juga didokumentasikan. Termasuk semua bahan materialnya, dalam bentuk audio visual dan tulisan yang penting sekali untuk melihat adanya kaitan dengan pengetahuan lokal. Dari situ, juga bisa memberikan penjelasan tentang pengetahuan pembuatan kapal kepada orang yang masih hidup saat ini. Sebagai linguis, salah satu pendekatan linguistik yang paling cocok dengan apa yang saya lakukan juga adalah pendokumentasian bahasa,” jelas Soriente.

 

Bermacam Bahasa

Dalam proses konstruksi palari tersebut, Soriente menemukan berbagai bahasa yang digunakan, termasuk dalam istilah-istilah perkapalan. Seperti bahasa Konjo, Makassar, Bugis, dan bahasa Indonesia. Ia juga mendokumentasikan istilah-istilah bagian kapal yang berasal dari bahasa setempat, seperti panapu, padapudapu, sambungan papallama, papallama, dan tungku tungkulu untuk dicarikan padanannya dalam bahasa Inggris.

Cek Artikel:  Cuaca Jakarta Hari Ini Diprakirakan Berawan Hingga Malam Hari

 

“Di Sulawesi Selatan itu sampai sekarang masih ada sekitar 50 tempat pembuatan kapal. Tapi kebanyakan memang yang dikerjakan adalah kapal dengan kebutuhan komersial. Jadi sudah banyak berubah bentuknya dari yang ada seperti dulu, atau bentuk tradisional,” kata Soriente.

 

Proyek rekonstruksi ini menelan biaya sekitar Rp500 juta, yang berasal dari bantuan berbagai pihak. Bagi Soriente, salah satu hasil konkret paling besar dari proyek penelitian ini adalah melihat palari kembali berlayar. Dengan demikian, itu juga memantik ketertarikan orang-orang setempat dan membangkitkan ekspresi kultural yang menjadi identitas.

 

“Sistem pembuatan kapal pada masa dulu dianggap sangat terancam punah. Eksis beberapa hal tradisi, yang sudah ditinggalkan atau tidak dibuat lagi. Tetapi, kami merasa orang-orang sekarang masih harus dan pantas tahu, itu yang kami lakukan,” tutup Soriente. (M-1)

 

Mungkin Anda Menyukai