Kiai Ahmad Dahlan dan Gayung Rusak

Kiai Ahmad Dahlan dan Gayung Rusak
(Dok. Pribadi)

AGUSTUS menjadi momentum Indonesia memproklamasikan diri sebagai bangsa yang merdeka. Agustus juga menjadi bulan lahirnya banyak pahlawan yang berjuang untuk meraih dan mengisi kemerdekaan. Misalnya, Mohammad Hatta (lahir 12 Agustus 1902), S Parman (4 Agustus 1918), HOS Cokroaminoto (16 Agustus 1883), Sardjito (13 Agusus 1889), dan Muhammad Yamin (28 Agustus 1903).

Tokoh yang juga lahir di Agustus dan punya pengaruh besar dalam membangun kesadaran dan meletakkan fondasi kemerdekaan ialah Kiai Ahmad Dahlan. Kiai Dahlan lahir pada 1 Agustus 1868 di Yogyakarta. Ia putra keempat dari Kiai Arang Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Kesultanan Yogyakarta. Ia generasi ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim, seorang ulama Walisongo yang mengawali penyebaran Islam di tanah Jawa.

Kebaruan ide Kiai Dahlan antara lain tentang humanisasi ritual. Ibadah dimaknai sebagai jalan untuk mengupayakan penyelamatan umat manusia kini-di sini (dunia) dan nanti-di sana (akhirat). Ia menyadari seluruh hidup manusia harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, dan dunia menjadi arena pertarungan. Renungan Kiai, “Kita manusia ini, hidup di dunia hanya sekali untuk bertaruh. Sesudah mati, akan mendapat kebahagiaankah atau kesengsaraankah?” (Salam, 1968: 50).

Baca juga : ITB Ahmad Dahlan dan Unilever Dorong Upaya Pemberdayaan Perempuan

Kiai mengkritik sikap hidup yang hanya berorientasi akhirat, atau sikap fatalis yang meninabobokan umat dengan ritual ibadah sebagai pelarian atas masalah. Keyakinan semestinya tidak hanya untuk melayani keagungan Allah, tetapi juga menghendaki pencapaian sosial yang objektif melalui pengelolaan kehidupan dunia guna melayani makhluk-Nya. Tujuan agama mengupayakan kemaslahatan semua makhluk di dunia hari ini dan masa depan di akhirat.

Dalam mengupayakan keluhuran hidup, Kiai Dahlan menggerakkan tiga bidang perjuangan: feeding (layanan sosial), schooling

 (pendidikan), dan healing (kesehatan). Tiga aspek ini menjadi fokus gerakan Muhammadiyah hingga seabad kemudian dengan intensitas yang semakin besar. Bidang garap Kiai Dahlan itu menjadi fondasi bagi infrastruktur kebangsaan. Kemerdekaan membutuhkan kerja keras dan perjuangan, yang dimulai dengan penyadaran supaya mampu berdiri di atas kaki sendiri, memilih beramal dibanding bersantai, berikhtiar dibanding berpasrah.

Baca juga : Muhammadiyah, Gagasan Kemajuan, dan Pemimpin Perubahan

Ia melakukan penyadaran bagi umat Islam untuk melakukan perubahan nasib, mendapatkan hak kesehatan, hak menjadi cerdas atau memperoleh pendidikan, hak menentukan nasib sendiri, hingga hak berdialog langsung dengan kitab suci. Pemenuhan hak dasar itu akan membawa kemandirian dalam berpikir dan bertindak. Hasil dari pemenuhan hak itu berguna untuk memperbaiki nasib diri dan bangsanya.

Pendidikan, bagi Kiai Dahlan, menjadi kunci penyempurnaan akal kritis dan bebas kreatif (Jainuri, 1997). Ia memadukan ragam corak pendidikan modern dan tradisional. Gagasan dasar Kiai Dahlan terletak pada paralelitas kebenaran: wahyu, akal suci, dan temuan iptek (Mulkhan, 2010: 73). Ia menginisiasi pendidikan Islam modern yang, menurut Kuntowijoyo, mengintegrasikan iman dan kemajuan. Seluruh ilmu disadari berasal dari Sang Pemilik Pengetahuan dan digunakan untuk kebaikan peradaban guna membantu peran manusia sebagai hamba dan khalifah Allah.

Cek Artikel:  Pemilu TikTok

Kiai Dahlan terinspirasi dan mengadopsi sistem pendidikan modern melalui persentuhannya dengan Budi Utomo yang mewadahi para priayi lulusan sekolah Belanda. Sekolah Kiai mengupayakan pencerahan lahiriah dan batiniah. Ia menyiapkan lingkungan yang memungkinkan peserta didik tumbuh sebagai manusia bertauhid dan menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, serta seni. Bekal itu diharapkan mampu membawa manusia pada kebaikan, serta membebaskan dari belenggu kebodohan, keterbelakangan, dan perpecahan.

Baca juga : 111 Pahamn Muhammadiyah dan Etos Kiai Dahlan

Bidang kesehatan dan layanan sosial dirumuskan dari rapat Muhammadiyah pada 17 Juni 1920 yang dihadiri 200-an peserta. Perhimpunan itu memusyawarahkan bahagian awal dari Hoofd Bestuur Muhammadiyah, yang salah satunya Gembiran Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) dengan ketua Muhammad Syuja. Di hadapan Kiai Dahlan dan peserta rapat, Kiai Syuja menyampaikan, “Hendak membangun hospital (ziekenhuis) untuk menolong kepada umum yang menderita sakit. Hendak membangun armhuis. Menurut kata orang, armhuis artinya adalah rumah miskin.”Hadirin tertawa, Kiai Dahlan menenangkan sembari bertanya agenda lainnya. Lanjut Syuja, “Hendak membangun weeshuis (rumah yatim).”

Layanan sosial-kemanusiaan ini terinspirasi dari penafsiran Kiai Dahlan terhadap Surat Al-Ma’un bahwa manusia tidak akan sampai pada keutamaan apabila tidak mempunyai perasaan welas asih. Kesalehan yang hanya berpusat bagi dirinya sendiri sembari melupakan nasib mustadh’afin di sekitarnya disebut kedustaan. Indikator kesalehan selaras dengan kepedulian kepada sesama, berperan nyata dengan apa yang dimiliki: iman, ilmu, harta, yang digunakan bagi kepentingan banyak orang.

 

Pahlawan Nasional

Peran Kiai Dahlan dalam memelopori kesadaran baru di kalangan pribumi telah diapresiasi pemerintah. Surat Keputusan Presiden Soekarno Nomor 675 Pahamn 1961 menganugerahi Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional. Dasar penetapannya: pertama, Kiai Dahlan telah memelopori kebangkitan umat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat. Pembangunan kesadaran ini menjadi begitu penting, di tengah kehidupan masyarakat yang sudah lama dijajah, terpecah, dan terbiasa berpasrah.

Kedua, dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat luas atas dasar iman. Kiai Dahlan memahami Islam sebagai agama yang tidak hanya menekankan kesalehan individu. Sikap hidup yang hanya mencari kesenangan nafsu pribadi akan melahirkan kesengsaraan. Orang beragama mesti menahan nafsu untuk memenuhi kesenangannya sendiri dengan memfungsikan agama untuk kebermanfaatan dan penyelamatan umat manusia berdasar asas cinta-kasih.

Kiai Dahlan memahami bahwa agama Islam penting dihadirkan untuk menggugah kesadaran dan mewujudkan kebaikan bagi semua. Pengamalan Islam rahmatan lil alamin memerlukan syarat: iman dan amal salih. Iman harus disertai dengan amal nyata bahwa agama tidak cukup sekadar diomongkan, tetapi mesti diamalkan untuk mewujudkan kehidupan yang baik. Pesan Kiai, “Tak perlu kecil hati tidak memperoleh kesempatan berbicara dalam sebuah persidangan, karena yang penting bukan berbicara, tapi berbuat atau bekerja. Karena itu, semua warga Muhammadiyah harus berbuat semampu dan sebisa mungkin.”

Cek Artikel:  University Bond

Ketiga, Muhammadiyah yang diinisiasi Kiai Dahlan telah memelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa dengan jiwa ajaran Islam. Pada 2023 atau di usia 111 tahun, Muhammadiyah telah memiliki 172 perguruan tinggi, 122 rumah sakit, 231 klinik, 5.345 sekolah/madrasah, dan 440 pesantren. Muhammadiyah juga telah memiliki amal usaha di luar negeri seperti Universiti Muhammadiyah Malaysia, Muhammadiyah Australia Collage, dan TK ABA di Kairo.

Keempat, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) yang diinisiasi Kiai Dahlan telah memelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setara laki-laki. Gerakan pembaharuan Islam di berbagai penjuru dunia tidak banyak yang memberi perhatian pada isu perempuan. Tetapi, Kiai Dahlan menyediakan wadah khusus bagi perempuan untuk beribadah, berpendidikan, berdaya, dan berperan di ranah publik dalam memajukan masyarakatnya.

 

Gayung rusak

Perjuangan Kiai Dahlan sering diibaratkan dengan memperbaiki gayung rusak. Perumpamaan itu dinyatakan Kiai saat memberi nasihat kepada Kiai Ibrahim yang kelak menjadi ketua Muhammadiyah. Kata Kiai Dahlan, “Keyakinan Islam itu kami misalkan laksana gayung yang sudah rusak pegangannya dan rusak pula kalengnya, sudah sama bocor dimakan karat, sehingga tidak dapat digunakan pula sebagai gayung. Oleh karena kita umat Islam perlu akan menggunakan gayung tersebut, tetapi tidak dapat, karena gayung itu sudah sangat rusaknya…. Maka, perlulah kami mesti berani meminjam untuk memperbaikinya.”

Siapakah tetangga dan kawan di sekitar yang mempunyai gayung yang tidak bocor, atau yang bisa memperbaiki gayung saat itu? Kiai Dahlan menjawab, “Ialah mereka kaum cerdik pandai dan mereka orang-orang terpelajar yang mereka itu tidak memahami agama Islam. Padahal mereka itu pada dasarnya merasa dan mengakui bahwa pribadinya itu muslim juga….”

Para cerdik pandai yang menguasai sains itu banyak yang sebenarnya beragama Islam, tetapi mereka enggan dengan identitas keislaman yang sedang terpuruk. “Tetapi karena mereka melihat keadaan umat Islam pada umumnya dalam keadaan krisis dalam segala-galanya, mereka tidak ingin menjadi umat yang bobrok. Oleh karena itu, dekatilah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya sehingga mereka mengenal kita dan kita mengenal mereka. Sehingga, perkenalan kita bertimbal balik, sama-sama memberi dan sama-sama menerima,” pungkas Kiai Dahlan.

Cek Artikel:  Merdeka dari Tantangan Kesehatan

Kiai Syuja merekam nasihat itu dalam buku memoarnya, Cerita tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan (cetakan 2018). Penggambaran itu mewakili fokus perhatian Kiai Dahlan dalam berdakwah. Kiai Dahlan melihat situasi umat Islam di Hindia Belanda dalam kondisi krisis, bodoh, lemah, dan terbelah. Jiwa mereka diliputi rasa rendah diri, terjebak pada paham takhayul dan khurafat. Mereka ibarat gayung rusak yang sudah tidak dapat menampung air keislaman yang jernih.

Kiai Dahlan terilhami kegelisahan para pembaru Islam, terutama Muhammad Abduh, yang mempertanyakan situasi umat yang makin terpuruk saat peradaban Barat mulai bangkit pada abad ke-18. Kiai Dahlan sepakat dan sering mengutip pandangan Abduh tentang al-Islamu mahjubun bi al-Muslimin. Maksudnya bahwa ajaran agama Islam saat itu sering tertutupi oleh perilaku orang muslim di tanah Jawa dan di banyak negara muslim yang terjajah, perilaku mereka tidak mencerminkan nilai ajaran agama yang semestinya selaras dengan kemajuan.

Pandangan lain Abduh yang dicamkan Kiai Dahlan: laisa al-Islamu illa ismuhu, wa laisa al-Qur’anu illa rasmuhu. Keadaan memprihatinkan umat saat itu seakan sudah tidak ada lagi Islam kecuali tinggal namanya, dan tidak ada lagi kitab Al-Qur’an kecuali tinggal tulisannya. Kehidupan umat sudah jauh dari ajaran agama. Islam masih menjadi agama mereka dan kitab suci masih mereka rapalkan, tetapi ajaran Islam dan isi Al-Qur’an tidak lagi menggugah kesadaran mereka.

Keadaan umat Islam diperparah oleh situasi para elite yang tidak peduli pada nasib kaumnya. Kiai Dahlan mengutip pandangan Tanthawi Jauhari, “Apabila sudah sesat para ulama dan umara (pemerintah) daripada jalan yang benar, maka tidak ada orang alim dapat menunjukkan jalan yang benar kepada murid-muridnya.” Bagus dan buruknya suatu masyarakat sangat ditentukan oleh dua golongan elite: ulama dan penguasa. Ilmuwan dan pemimpin yang memperturutkan hawa nafsunya dan melalaikan amanah akan membawa binasa bagi diri dan rakyatnya.

Melalui Muhammadiyah, Kiai Dahlan berupaya mengembalikan dasar kepercayaan umat pada Al-Qur’an yang ditafsirkan secara kreatif guna menjawab berbagai masalah sosial sesuai dengan kehendak dan tuntutan zaman. Menurut Sang Pencerah, “Keyakinan itu pada mulanya bercahaya, berkilau-kilauan. Akan tetapi, makin lama makin suram. Padahal yang suram bukan agamanya, tetapi manusianya yang memakai agama.”

Dalam memperbaiki gayung rusak, Kiai Dahlan mengajarkan semangat keterbukaan dan kompetisi positif sesuai slogan fastabiq al-khairat. Semangat berlomba dalam kebajikan itu tercantum dalam logo beberapa organisasi otonom Muhammadiyah. Kiai Dahlan mencontohkan, spirit kolaborasi dan kompetisi itu dalam membangun rumah sakit, sekolah, universitas, dan panti asuhan. Ia bekerja sama dengan misi Kristen. Alih-alih mengajarkan permusuhan, ia menjadikannya sebagai perlombaan dalam mengabdi untuk kemanusiaan. Karena, semua manusia adalah satu keluarga.

 

Mungkin Anda Menyukai