LAPORAN Oxfarm dan INFID (2017) serta Bank Dunia (2015) menyadarkan kita semua bahwa di tengah kemajuan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir telah menyala api dalam sekam. Bara yang tak kunjung padam itu ialah sebuah kenaikan ketimpangan pendapatan dalam masyarakat. Badan Pusat Tetaptik menunjukkan indeks Gini sebagai ukuran ketimpangan mengalami kenaikan dari 0,34 (2005) menjadi 0,41 (2011) dan 0,40 (2016). [Dartanto et al forthcoming]. Dengan menggunakan ukuran rasio penguasaan kue ekonomi (pengeluaran) dari 10% penduduk teratas jika dibandingkan dengan 10% penduduk terbawah, ketimpangan mengalami peningkatan yang cukup tajam dari 6,6 (1996), 7,77 (2005), menjadi 10,67 (2014). Laporan Oxfarm dan INFID (2017) jauh mengerikan, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih besar jika dibandingkan dengan kekayaan 100 juta penduduk termiskin di Indonesia.
Maksud di balik angka
Nomor di atas memberikan gambaran bahwa kue ekonomi terkonsentasi di kelompok masyarakat kelas atas. Manfaat pertumbuhan ekonomi selama 10 tahun terakhir lebih banyak dinikmati 10% kelompok terkaya jika dibandingkan dengan oleh kelompok masyarakat lainnya, atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak inklusif. Ketimpangan layaknya api dalam sekam, tidak terlihat secara kasatmata, tetapi tanpa solusi nyata, api ini akan dapat meluluhlantakkan bangunan Indonesia.
Berbagai studi menunjukkan ketimpangan merupakan katalis dari kecemburuan sosial masyarakat, konflik sosial, dan kegaduhan politik. Coudouel, Dani, dan Paternostro (2006) menyatakan meskipun ketimpangan tidak sampai menimbulkan guncangan sosial dan politik, ketimpangan akan menimbulkan resistensi masyarakat terhadap berbagai reformasi kebijakan yang dilakukan pemerintah. Sejarah juga mencatat, tanpa menafikan faktor lainnya, kerusuhan sosial 1998 juga diawali dari kenaikan indeks Gini yang cukup tajam dari 0,292 (1990) menjadi 0,36 (1996).
Meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang tidak merata telah mengubah persepsi masyarakat mengenai apa itu kemiskinan. Kemiskinan tidak lagi dipandang sebagai kekurangan sandang, pangan, dan papan, tetapi kemiskinan bersifat relatif terhadap kepemilikan orang lain. Dartanto dan Otsubo (2013) menunjukkan orang akan merasa miskin jika orang lain memiliki lebih banyak jika dibandingkan dengan dirinya. Perubahan persepsi kemiskinan, peningkatan ketimpangan, rendahnya literasi membaca serta meningkatnya angka pengangguran usia muda ditengarai sebagai faktor meningkatnya kegaduhan di media sosial serta perilaku intoleransi di Indonesia yang pada akhirnya dapat mengancam rajutan kebangsaan Indonesia.
Solusi ketimpangan
Bahaya ketimpangan telah mengancam di depan mata. Perlu upaya dan kebijakan nyata untuk menanggulanginya. Secara konseptual, pengurangan ketimpangan dapat dilakukan melalui tiga cara: 1) melakukan distribusi kekayaan dari kelompok atas ke kelompok bawah, 2) mendorong perkembangan kelas menengah (kelompok 40%-80%) karena indeks Gini sangat sensitif terhadap perubahan di kelas menengah, 3) pertumbuhan inklusif dengan kelompok masyarakat bawah harus tumbuh lebih cepat jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat atas.
Berbeda dengan kebijakan pengentasan rakyat dari kemiskinan, kebijakan pengurangan ketimpangan akan penuh kontroversi dan penolakan masyarakat khususnya kelompok kelas menengah atas. Distribusi kekayaan dari kelompok atas akan penuh kontroversi karena dengan kekuatan sumber daya mereka, mereka mampu memengaruhi politisi untuk menghambat setiap kebijakan yang ada. Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan ketimpangan harus lebih kreatif, inovatif, dan komprehensif sehingga akan mendapatkan dukungan yang luas dari masyarakat.
Kerangka konseptual kebijakan di atas dapat diterjemahkan menjadi lima kebijakan utama yang dapat dilakukan pemerintah untuk menurunkan ketimpangan di Indonesia, antara lain, pertama, peningkatan tax ratio dan kepatuhan pembayaran pajak. Rasio perpajakan di Indonesia termasuk yang paling rendah di kawasan ASEAN sehingga pemerintah tidak banyak memiliki ruang fiskal untuk membiayai pembangunan.
Pusingkatan rasio pajak merupakan cara untuk mendistribusikan kekayaan dari kelompok atas untuk kelompok di bawahnya. Kenaikan rasio pajak berarti meningkatkan transfer dari kelompok kayak ke kelompok miskin. Selain itu, kebijakan perpajakan seperti tax amnesty akan berdampak terhadap ketimpangan sangat tergantung seberapa besar tebusan yang dibayarkan serta bagaimana memanfaatkan informasi perpajakan dalam tax amnesty untuk meningkatkan rasio pajak.
Kedua, kebijakan perpajakan merupakan cara konvensional untuk melakukan redistribusi kekayaan kelompok atas, kebijakan pajak sangat progresif akan mendorong penggelapan dan penghindaran pajak dari kelompok atas. Oleh karena itu, sistem redistribusi dapat dilakukan dengan mendorong adanya personal social responsibility (PSC) dengan kelompok kaya didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan filantrofi untuk membantu menyelesaikan permasalahan di masyarakat.
Demi ini, kegiatan filantrofi menjadi sebuah tren tersendiri di kalangan kelompok kaya. Pemerintah dapat memberikan insentif perpajakan (pemotongan pajak, bukan pengurangan pajak) untuk kegiatan PSC ini. Secara alami, kelompok kaya akan lebih senang menyalurkan kekayaan mereka melalui filantrofi jika dibandingkan dengan untuk membayar pajak. Kegiatan filantrofi dapat diarahkan pada kegiatan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Ketiga, keterpaduan antara pengembangan sumber daya manusia dan peta jalan transformasi perekonomian. [Dartanto et al (forthcoming)] menunjukkan transformasi struktural dari sektor pertanian menuju sektor industri dan jasa yang tidak terarah merupakan salah satu penyebab ketimpangan di Indonesia. Perkembangan sektor jasa yang meningkat selama 20 tahun terakhir tidak dibarengi peningkatan keterampilan sumber daya manusia yang mendukung perkembangan sektor jasa. Atau dengan kata lain terjadi skill mismatch antara lulusan dunia pendidikan dan kebutuhan dunia kerja. Kondisi itu memunculkan adanya banyak pengangguran terdidik sehingga perkembangan perekonomian tidak berdampak bagi penciptaan lapangan kerja.
Keempat, pemberantasan korupsi dan perbaikan tata kelola pemerintahan. Korupsi yang pastinya dilakukan kelompok atas (berkuasa) merupakan salah satu bentuk regressif transfer dengan sumber daya mengalir dari kelompok bawah menuju ke kelompok atas, sebagai contohnya, korupsi dana bantuan sosial untuk masyarakat miskin. Dartanto et al (2016) menunjukkan pemberantasan korupsi dapat mengurangi ketimpangan di Indonesia karena mampu menghentikan transfer sumber daya dari kelompok miskin ke kelompok kaya.
Kelima, perlindungan sosial bagi kelompok miskin dan rentan miskin melalui kebijakan kesehatan, pangan, pendidikan dan perumahan. Kebijakan itu bertujuan memberikan jaring pengaman kepada kelompok miskin dan hampir miskin sehingga mereka bisa bekerja dan berusaha lebih baik. Meskipun begitu, keinginan berbagai pihak terkait dengan kebijakan perlindungan sosial seperti pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional melalui tax funded (tanpa kontribusi) untuk seluruh masyarakat harus dipikirkan secara hati-hati karena terkait dengan kesinambungan fiskal di masa yang akan datang.
Di sisi lain, pemerintah juga harus hati-hati dalam melakukan kebijakan penanggulangan ketimpangan karena berbagai kebijakan bisa jadi saling kontradiksi dengan kebijakan yang lain, yang pada akhirnya kebijakan tersebut tidak efektif untuk menanggulangi ketimpangan. Salah satu contohnya ialah kebijakan pembangunan infrastruktur besar-besaran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi akan dapat meningkatkan ketimpangan perekonomian.
Manfaat ekonomi pembangunan infrastruktur skala besar akan lebih banyak dirasakan perusahaan besar yang bersifat capital intensive. Karena itu, perlu adanya sinkronisasi antara proyek infrastruktur skala nasional dan proyek infrastruktur lokal. Kita patut memberikan apresiasi terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Jokowi yang sedikit banyak telah menurunkan indeks Gini, tetapi tren penurunan itu sangat jauh seperti yang diharapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Enggak ada cara instan dan keajaiban semalam untuk menurunkan angka ketimpangan, dibutuhkan kerja keras, cerdas, dan terus-menerus untuk menurunkan angka ketimpangan.