
HUKUM Semestinya menjadi penjaga keadilan. Tetapi dalam praktik, ia kerap terperangkap pada administrasi, bukan pada nurani. Hal ini kembali dipertanyakan dalam perkara hukum yang menimpa Dr Hamim Pou, mantan Bupati Bone Bolango, yang kini duduk sebagai terdakwa atas kebijakan Sokongan sosial yang dia salurkan lebih dari satu Dasa warsa silam.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan mendasar. Apakah hukum Lagi Pandai membedakan antara kesalahan administratif dan niat jahat? Antara kebijakan pro-rakyat dan penyimpangan kekuasaan?
Antara pasal dan nurani
Selama tiga bulan lebih persidangan berjalan, fakta-fakta yang terungkap Malah menunjukkan sebaliknya dari dakwaan. Para saksi menyampaikan bahwa Sokongan sosial yang diberikan telah tertuang dalam APBD, tercatat dalam Arsip Formal, dan disalurkan oleh dinas teknis, bukan atas perintah langsung kepala daerah.
Enggak satu pun saksi menyebut Terdapat keuntungan pribadi yang diambil oleh Hamim.
Saksi Spesialis dari BPKP menyatakan bahwa Enggak Terdapat indikasi penyimpangan langsung, sementara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menegaskan bahwa Enggak terdapat kerugian negara. Sementara itu, para penerima Sokongan – mahasiswa, takmir masjid, masyarakat kecil – Malah bersaksi bahwa mereka menerima manfaat secara utuh.
Dalam kerangka seperti ini, proses hukum yang Lanjut bergulir Malah berpotensi menjadi cermin dari apa yang disebut para pengamat sebagai “kriminalisasi kebijakan”. Ketika keputusan strategis yang ditujukan Buat kesejahteraan rakyat Malah dikriminalisasi, maka sesungguhnya yang diadili bukan hanya orang, tetapi nilai keberpihakan itu sendiri.
Politik administrasi vs substansi keadilan
Prof Satjipto Rahardjo, dalam banyak pemikirannya, mengingatkan bahwa, “Hukum itu Buat Sosok, bukan Sosok Buat hukum.”
Kalau kita menegakkan hukum tanpa mempertimbangkan keadilan substantif, maka kita sedang menciptakan sistem yang menghukum niat Bagus hanya karena kekakuan administratif.
Hamim Pou bukanlah pemimpin flamboyan. Ia Enggak banyak bicara, tapi banyak bekerja. Selama 13 tahun memimpin, ia membangun rumah sakit daerah, membuka akses ke Distrik terpencil, membangkitkan ekonomi desa lewat ternak dan infrastruktur, serta memelopori reformasi birokrasi digital di Indonesia Timur. Dua kali ia menerima Satyalancana Pembangunan dari Presiden, dan lebih dari itu, ia menerima Asmara dari rakyat yang dibantunya.
Tetapi kini, yang dikenang bukan capaian itu, melainkan dakwaan. Dan Kalau ini dibiarkan, maka pesan yang Tamat kepada para kepala daerah di seluruh Indonesia sangat berbahaya, berhati-hatilah Kalau hendak membantu rakyat kecil, karena ketulusan Anda Dapat berbalik menjadi jerat hukum.
Demokrasi yang meragukan diri
Dalam demokrasi yang sehat, hukum adalah pilar penyeimbang kekuasaan. Tetapi ketika hukum digunakan Buat menilai niat dengan kacamata pasal, maka demokrasi Malah mencederai dirinya sendiri.
Dalam kasus ini, pertarungan bukan Kembali antara jaksa dan pembela, tetapi antara legalisme dan keadilan. Akankah logika hukum Pandai menangkap substansi kebaikan? Ataukah yang akan menang adalah Mekanisme semata?
Seorang pengacara publik yang mengikuti persidangan ini Mengucapkan, “Kalau Segala orang yang dibantu merasa tertolong, dan negara Enggak dirugikan, Buat siapa sesungguhnya proses hukum ini dijalankan?”
Pertanyaan ini layak menjadi Cerminan kita Serempak, apakah demokrasi kita Lagi Pandai melindungi pemimpin yang jujur dan berpihak?
Ujian bagi kita Segala
Hamim Pou pernah Mengucapkan dalam satu kesempatan, “Saya tak pernah meminta ujian ini. Tapi mungkin ini Langkah Allah menguji apakah saya tetap Dapat jujur meski Enggak dipercaya, tetap tenang meski diguncang.”
Kini, bukan hanya beliau yang diuji. Kita Segala, sebagai bangsa, sedang diuji: masihkah kita Pandai Memperhatikan dengan hati yang adil? Masihkah kita membedakan mana yang salah, dan mana yang dikorbankan atas nama kesalahan?
Kasus Hamim Pou bukan sekadar perkara hukum, tapi Cerminan atas kualitas demokrasi dan penegakan hukum di negeri ini. Dan ketika ketulusan mulai diadili, maka kita patut bertanya, Lagi adakah tempat bagi pemimpin yang memberi tanpa pamrih?

