Keterwakilan Perempuan Dikorupsi di Bulan Reformasi

Keterwakilan Perempuan Dikorupsi di Bulan Reformasi
Ilustrasi MI(MI/Seno)

SEPANJANG akhir 1997, awal 1998, dan puncaknya Mei 1998, sebagai mahasiswa semester dua, saya berdiri bersama ratusan demonstran yang menuntut reformasi. Eksis enam hal yang diminta. Penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, pengadilan atas Presiden Soeharto dan kroninya, amendemen konstitusi, pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/Polri), dan pemberian otonomi daerah seluas-luasnya. Sekalian hal itu dalam rangka mewujudkan sistem politik dan pemerintahan yang lebih demokratis dan berkeadilan.

Bagi saya, perempuan muda berusia jelang 20ketika itu, apa yang terjadi bukan cuma soal menuntut perubahan. Bergerak sebagai bagian dari massa aksi memberikan keyakinan yang sangat personal bahwa perempuan juga merupakan pemilik saham Indonesia. Fisiknya bisa hadir di ruang-ruang publik yang terang dan suaranya bisa terdengar nyaring oleh telinga otoritas. 

Eksis keyakinan kuat bahwa pemerintahan demokratislah yang akan menjauhkan diskriminasi atas perempuan serta memungkinkan rekonstruksi relasi yang lebih adil dan setara. Perempuan yang sebelumnya banyak dibungkam dalam label darma ini itu, dan remang eksistensinya sebagai individu dan warga negara berdaya, lalu bisa muncul ke muka tanpa opresi dan rasa takut. Sebagai perempuan muda, saya ingin perubahan, ingin masa depan yang lebih menjanjikan, ingin jadi bagian sesungguhnya dalam proses penegakan hukum ataupun bernegara secara inklusif. Reformasi jadi jalan terang menuju itu. Semangat pembebasan yang juga disuarakan lantang oleh gerakan perempuan dalam skala yang lebih besar, khususnya melalui kehadiran Bunyi Ibu Acuh. 

Perjuangan tersebut sejalan dengan pemikiran teoritik doing gender. Agar kesetaraan gender dianggap sesuai atau normal di tingkat rumah tangga, norma budaya dan tradisi perlu diubahyang mana sebuah pemerintahan yang dipilih secara demokratis memiliki potensi untuk mengubah tidak hanya undang-undang dan kebijakan, tetapi juga opini publik (West & Zimmermann 1987).

Terperosoknya Soeharto dan guliran angin segar demokratisasi dimulai dengan salah satunya percepatan penyelenggaraan pemilu sebagai akselerasi masa transisi. Saluran politik dibuka luas melalui kemudahan mendirikan partai politik dan proses ikut pemilu. Tetapi, pada Pemilu 1999 memang belum ada pengaturan khusus terkait kebijakan afirmasi untuk mengukuhkan perempuan politik melalui kelembagaan partai politik atau proses pemilu.  

 

Jaminan konstitusi

Kebijakan afirmasi, sebagai upaya negara untuk mempercepat terwujudnya tata kelola bernegara yang inklusif dan adil, dikukuhkan konstitusionalitasnya melalui amendemen kedua konstitusi. Ketentuan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Pahamn 1945 menyebut bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Jaminan itu kemudian ditindaklanjuti melalui pengaturan teknis dalam Pasal 7 huruf e UU 31/2002 tentang Partai Politik yang mengatur bahwa partai politik berfungsi sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. 

Selain itu, terdapat Pasal 13 ayat (3) yang menyatakan bahwa kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

Cek Artikel:  Panggilan Padjadjaran Penyelenggara Negara Harus Junjung Kejujuran

Selanjutnya, penjelasan Pasal 13 ayat (3) menyatakan bahwa kesetaraan dan keadilan gender dicapai melalui peningkatan jumlah perempuan secara signifikan dalam kepengurusan partai politik di setiap tingkatan.

Pada Pemilu 2004, kebijakan afirmasi diupayakan makin kuat melalui pengaturan Pasal 65 ayat (1) UU 12/2003 tentang Pemilihan Biasa Personil DPR, DPD, dan DPRD. Loyalp partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan (dapil) dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.

Berikutnya, afirmasi keterwakilan perempuan terus ditingkatkan, baik melalui UU Partai Politik maupun UU Pemilu. Misalnya, ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU 2/2008 tentang Partai Politik yang menyaratkan pendirian dan pembentukan partai politik menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Selain itu, ketentuan bahwa kepengurusan partai politik tingkat pusat disusun dengan menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Sementara itu, kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota masih menggunakan frasa ‘memperhatikan’ keterwakilan perempuan paling rendah 30% sebagaimana pengaturan dalam AD dan ART partai politik masing-masing.

Pada lingkup pengaturan pemilu, UU 10/2008 untuk Pemilu 2009 memperkuat transformasi keterwakilan perempuan melalui keberadaan Pasal 53 yang menyebut bahwa daftar bakal calon anggota DPR dan DPRD memuat paling sedikit 30%. Selain itu, di dalam daftar bakal calon yang diajukan partai politik harus memenuhi ketentuan setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan bakal calon (semi zipper system). 

Pada saat itu, KPU sebagai regulator masih bersikap kurang tegas dalam mengaplikasikan pasal afirmasi dalam operasionalisasi pencalonan anggota DPR dan DPRD. KPU menghitung keterwakilan perempuan tidak berbasis dapilsebagaimana mekanisme pengajuan daftar caleg yang dilakukan per dapil. KPU menguantifikasi keterwakilan perempuan paling sedikit 30% secara nasional, berupa penghitungan persentase pada keseluruhan dapil. Maka itu, tak heran bila saat itu terdapat dapil-dapil yang keterwakilan perempuannya kurang dari 30%.

Penilaian atas Pemilu 2009 kemudian menjadi landasan untuk merekonstruksi kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan menjadi lebih kuat pada Pemilu 2014. KPU kemudian menerbitkan Peraturan KPU 7/2013 yang mengatur bahwa keterwakilan perempuan paling sedikit 30% harus terpenuhi pada setiap dapil dengan menyertakan paling sedikit satu perempuan di antara setiap tiga bakal calon yang diajukan partai politik. Apabila partai politik tidak memenuhi ketentuan tersebut di suatu dapil, partai politik dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilu pada dapil tersebut alias didiskualifikasi.

Bahkan, KPU saat itu mempertegas sistem zipper memberikan insentif bagi partai politik untuk menempatkan perempuan caleg pada nomor kecil. Hal itu disebabkan meski menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka, keterpilihan caleg pada nomor urut kecil/atas masih mendominasi atau mayoritas. 

KPU mengatur apabila partai mengusung sembilanorang bakal caleg, minimal caleg perempuan yang harus diajukan partai ialah sebanyak tiga orang. Terkait penempatan caleg, dalam hal perempuan caleg ditempatkan pada nomor urut kecil (misalnya 1, 3, dan 4), KPU membolehkan apabila pada nomor urut 7, 8, dan 9 tidak terdapat perempuan caleg karena sudah mendapatkan afirmasi penempatan pada nomor urut kecil. Hal itu selain sejalan dengan ketentuan UU 8/2012, selaras dengan Putusan MK No.20/PUU-XI/2013 yang mendorong penempatan perempuan pada nomor urut kecil (jadi).

Cek Artikel:  Momentum untuk Mengubah dan Memperbaiki

Kebijakan KPU pada Pemilu 2014 terus dipertahankan hingga Pemilu 2019. Ketentuan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% pada setiap dapil ditegaskan kembali untuk Pemilu 2019melalui pengaturan PKPU 20/2018 tentang Pencalonan Personil DPR dan DPRD. Sehubungan itu, Pasal 6 ayat (2) PKPU 20/2018 mengatur dalam hal penghitungan 30% jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas. Partai politik selalu mampu memenuhi ketentuan kebijakan afirmasi tersebut, baik pada Pemilu 2014 maupun Pemilu 2019.

Hasilnya, keterwakilan perempuan di parlemen terus menunjukkan peningkatan meskipun belum sepenuhnya sesuai harapan menghasilkan keterpilihan paling sedikit 30% perempuan di DPR dan DPRD. Pemilu 1999 menghantarkan 9% perempuan di DPR, naik menjadi 14% pada Pemilu 2014, lalu 18,4% pada Pemilu 2009, turun menjadi 17,6% pada Pemilu 2014, dan naik lagi menjadi 20,52% pada Pemilu 2019. 

 

Ironi 2024

Tak diduga, ironi datang saat justru saat aktor politik dan publik makin beradaptasi dengan kebijakan afirmasi dan upaya penguatan keterwakilan perempuan. KPU secara tiba-tiba mengintrodusir kebijakan yang bertentangan dengan UU Pemilu dan memundurkan pengaturan afirmasi keterwakilan perempuan untuk Pemilu 2024. 

Dalam PKPU 10/2023 tentang Pencalonan Personil DPR dan DPRD yang diterbitkan pada 17 April 2023, khsususnya dalam ketentuan Pasal 8 ayat (2) huruf a disebutkan bahwa dalam hal penghitungan 30% jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah.

Selain mengubah norma afirmasi keterwakilan perempuan sebagaimana telah dipraktikkan pada pemilu sebelumnya, implikasi pengaturan dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU 10/2023 secara hukum juga melanggar dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 245 UU 7/2017 tentang Pemilihan Biasa yang menyatakan bahwa daftar bakal calon di setiap daerah pemilihan memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.

Karenanya, apabila partai politik mengikuti ketentuan Pasal 8 ayat (2) huruf a tersebut secara menyeluruh, akan ada sejumlah dapil yang jumlah keterwakilan perempuannya kurang dari 30%, yaitu pada dapil berkursi 4, 7, 8, dan 11. Data yang diolah Perludem menemukan bahwa sekurangnya ada 38 dapil DPR yang keterwakilan perempuannya akan kurang dari ketentuan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. 

Misalnya kongkretnya, penghitungan 30% keterwakilan perempuan dari jumlah calon sebanyak empat orang ialah menghasilkan angka 1,2%. Bila dibulatkan ke bawah, partai politik cukup mengajukan satu perempuan caleg orang dari empat bakal calon yang mereka usung. 

Padahal, satu dari empat caleg ialah setara dengan 25%, tidak memenuhi ketentuan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% sebagaimana perintah UU. Hal yang sama terjadi pada daftar caleg yang berjumlah 7, 8, dan 11. Maksudnya, telah terjadi korupsi atas hak politik perempuan dalam pencalonan.

Protes keras publik dan kelompok peduli keterwakilan perempuan datang bersahutan. Kritik keras dan kecaman menyasar KPU. Merespon itu, KPU bersama Bawaslu dan DKPP lalu menyelenggarakan konferensi pers yang pada intinya menyatakan bahwa KPU akan melakukan perubahan Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU No 10/2023 dan mengembalikannya sebagaimana pengaturan terdahulu. Perubahan tersebut akan dilakukan KPU setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. UU memang mengatur bahwa pembentukan peraturan KPU wajib berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah melalui suatu rapat dengar pendapat (RDP) yang mana keputusan RDP atas konsultasi tersebut berdasar Putusan MK 92/PUU/XIV/2016 ialah bersifat tidak mengikat. Keputusan KPU untuk melakukan revisi didukung penuh Bawaslu dan DKPP. 

Cek Artikel:  Teka-teki Kandidasi Pilpres 2019

Akan tetapi, dalam RDP Komisi II DPR RI bersama Kementerian Dalam Negeri dengan menghasilkan keputusan yang mana Komisi II DPR RI meminta KPU untuk tetap konsisten melaksanakan ketentuan PKPU 10/2023 yang berkaitan dengan keterwakilan perempuan. Bila dicermati, berdasar narasi saat RDP ataupun pernyataan sejumlah politikus terkait polemik PKPU 10/2023, terdapat tiga hal yang menjadi hambatan dalam internalisasi keterwakilan perempuan di partai politik dan pemilu. Pertama, keterwakilan perempuan dianggap sebagai beban bagi partai dengan alasan sulit mencari caleg perempuan untuk memenuhi persyaratan minimal 30%. Kedua, masih ada pandangan bahwa perempuan kalah kompetitif dengan caleg laki-laki dalam melakukan kerja pemenangan pada pemilu. Ketiga, keberadaan perempuan diutamakan untuk mengurusi anak dan rumah tangga daripada berpolitik.

Argumen yang lahir karena kegagalan menginternalisasi kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan dengan kerja-kerja pemberdayaan dan proses demokratisasi internal partai yang membutuhkan kaderisasi, pendidikan politik, dan regenerasi politik secara berkelanjutan. Bukan musim-musiman, tiba masa tiba aksi. Tak heran kalau keluhan tradisional muncul, susah cari perempuan untuk maju pemilu karena memang ikhtiar itu dilakukan sambilan dan mepet waktu.

Kemunduran yang sangat vulgar, terutama di tengah data yang menunjukkan posisi kesenjangan gender Indonesia yang berada di peringkat 92 dari 146 negara yang dilakukan pengukuran oleh World Economic Perhimpunan (2022). Tertinggal jauh dari Timor Leste yang berada pada peringkat 56 dan Filipina di peringkat 19. Padahal, upaya menuju keadilan dan kesetaraan gender sudah diupayakan melalui kebijakan afirmasi. Apalagi kalau ketentuan tersebut dikorupsi dari sebagaimana mestinya, kesenjangan gender Indonesia potensial makin suram dan terbelakang.

Yang lebih menyedihkan, korupsi atas kebijakan afirmasi justru dilakukan oleh KPU, lembaga negara independen yang lahir dari semangat reformasi dan demokratisasi. Terjadi justru di saat Indonesia memperingati 25 tahun jalannya reformasi, Mei 2023. Masa-masa yang mana perempuan Indonesia seharusnya telah mampu bergerak maju pada isu-isu yang lebih substantif. Menagih pemenuhan kebijakan dan pelayanan yang inklusif, adil, dan memajukan perempuan. Bukan malah kembali pada isu mendasar yang mestinya telah tuntas dilindungi dan dijamin konstitusi.

Kagak ada pilihan lain bagi KPU kecuali mengubah pengaturan PKPU 10/2023. Bukan hanya karena keterwakilan perempuan yang dikorupsi, pembiaran atas aturan tersebut merupakan legalisasi terbuka atas pelanggaran UU dan susbtansi UUD. Hal itu akan jadi kotak pandora pada pelanggaran-pelanggaran dan kemunduran pengaturan berikutnya. Bukan hanya regulasi keterwakilan perempuan yang telah dikorupsi, melainkan juga amanat reformasi dan nilai-nilai demokrasi akan masuk jurang begitu mudahnya.

Mungkin Anda Menyukai