Kerja Menunggu Viral

DI era kini, media sosial sejatinya tidak hanya menjadi platform untuk menampilkan eksistensi seseorang. Dulu, ketika awal-awal media sosial baru saja booming, mungkin masih begitu, tujuan orang bermedia sosial sebatas untuk memampangkan siapa dirinya, aktivitas apa yang sedang dilakukan, atau dengan siapa saja ia bergaul.

Tetapi, laiknya habitat tempat ia hidup, yakni dunia digital yang terus berkembang, fungsi media sosial pun ikut bertransformasi. Kini, ia tak sekadar menjadi platform untuk pamer diri, walaupun praktik ini sampai kapan pun tampaknya bakal terus ada. Belakangan media sosial juga telah berkembang menjadi semacam watchdog, anjing penjaga.

Beberapa platform media sosial saat ini bahkan sangat efektif sebagai sarana untuk menyampaikan sinisme dan kritik, dari kritik sosial hingga kritik terhadap penguasa alias pemerintah. Mulai dari sinisme remeh, yang (sayangnya) kadang masih dibumbui ujaran kebencian, sampai kritikan yang betul-betul serius yang disertai dengan data-data penunjang.

Harus diakui, sebagai watchdog, semakin ke sini media sosial semakin dipandang. Kian ditakuti. Gonggongannya mungkin sudah hampir sama kerasnya dengan gonggongan pers ketika mengkritik sebuah kebijakan. Dalam beberapa hal tertentu, postingan kritik di media sosial bahkan lebih didengar dan lebih cepat direspons.

Cek Artikel:  Mudik Jalan Lalu

Coba perhatikan saja, begitu objek sasaran kritikan sudah viral di platform media sosial, siap-siap saja si pelaku atau pemangku kepentingan atas objek kritikan itu ‘dirujak’ netizen alias warganet. ‘Dirujak’ adalah istilah yang kerap digunakan para komentator di dunia maya untuk menggantikan kata di-bully. Setelah habis-habisan dirujak di dunia maya, mereka ‘dihabisi’ lagi di dunia nyata.

Teladannya banyak. Ramai-ramai soal flexing yang kemudian membuka tabir kelakuan tak peka sosial sejumlah pejabat di pusat sampai daerah, itu juga diawali dari viralnya postingan di platform Twitter. Mereka, para pelaku flexing (atau keluarganya) awalnya hanya menjadi bulan-bulanan di media sosial. Tetapi, atas desakan warganet juga, pihak berwenang kemudian turun tangan. Mereka pun harus menjadi pesakitan di dunia menghadapi pemeriksaan pengawas internal instansi, polisi, bahkan KPK.

Teladan lain misalnya kasus penganiayaan di Medan yang melibatkan anak seorang perwira polisi sebagai pelaku. Peristiwa yang terjadi Desember 2022 itu sepertinya tidak bakal diusut kalau tidak ada yang menguak video penganiayaan itu ke media sosial. Setelah viral di Twitter, barulah polisi menangkap Aditya Hasibuan dan menjadikannya tersangka. Orang tua pelaku, AKB Achiruddin Hasibuan, yang diketahui ikut menyaksikan penganiayaan, belakangan juga dipecat dari kepolisian dan ikut dijadikan tersangka.

Cek Artikel:  RUU Desa Disahkan, Perampasan Aset Mandek

Dua contoh tadi sedikit banyak memperlihatkan kekuatan dan pengaruh media sosial yang begitu besar saat ini. Banyak fakta dan kasus yang masih terpendam (atau memang sengaja dikubur dalam-dalam) akhirnya mendapat perhatian setelah diviralkan di platform media sosial. Terdapat sisi bagusnya, tapi ada pula sisi buruknya karena pada saat yang sama ini juga membuktikan nihilnya pengawasan. Seolah-olah menjadi sebuah tren: viral dulu baru ditangani.

Yang terjadi di Lampung pun hampir sama. Setelah seorang Tiktoker asal Lampung mengkritik kinerja Pemerintah Provinsi Lampung, terutama terkait banyaknya infrastruktur jalan yang rusak parah di platform Tiktok, Gubernur Lampung dan sejumlah bupati di provinsi itu menjadi sasaran rujakan di media sosial karena respons yang mereka berikan justru membikin marah warganet. Alih-alih langsung memperbaiki, malah mengancam orangtua si pengkritik.

Cek Artikel:  Istana Kesepian

Pada akhirnya, program perbaikan jalan di Lampung memang dilakukan. Terlebih, Presiden Joko Widodo, yang mungkin juga mengikuti isu yang viral tentang jalanan Lampung, mendadak ingin berkunjung ke sana. Maka, dikebutlah perbaikan jalan-jalan rusak itu. Tetapi, lagi-lagi, sesungguhnya itu memperlihatkan sebuah pola kerja yang memprihatinkan.

Masa mesti viral dulu baru diperbaiki? Masa harus menunggu dirujak warganet dulu baru sigap bekerja? Terdapat ungkapan dalam bahasa Jawa, ngono yo ngono, ning ojo ngono. Responsif terhadap kritik yang disampaikan di media sosial itu bagus. Gerak sigap menyelesaikan poin-poin kritikan yang viral di media sosial, itu juga diperlukan.

Tetapi, itu bukan berarti pemerintah atau penegak hukum bisa seenaknya mengabaikan pengawasan dan evaluasi terhadap diri sendiri, bukan? Apa perlu tukar tempat dengan warganet?

Mungkin Anda Menyukai