Kereta Segera Terjebak Utang APBN Masuk Lewat Pintu Belakang

Kereta Cepat Terjebak Utang APBN Masuk Lewat Pintu Belakang
Ilustrasi MI(MI/Seno)

POLEMIK mengenai beban APBN untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) mengemuka sejak revisi Perpres Nomor 93 Mengertin 2021 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 107 Mengertin 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Segera antara Jakarta dan Bandung. Kalau Perpres 107 Mengertin 2015, secara tegas menyatakan pendanaan proyek ini tidak menggunakan beban APBN dan dijalankan dengan skema bussines to bussines (B2B). Sebaliknya, pada perpres terakhir menyatakan menggunakan APBN yang melenceng dari komitmen semula.

Kontroversi penggunaan APBN untuk KCJB semakin memuncak dengan terbitnya PMK Nomor 89/2023 tentang Tata Langkah Penyelenggaraan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Segera antara Jakarta dan Bandung.

Sebagian pengamat menilai, skema penjaminan utang kereta cepat tersebut menyebabkan APBN kita masuk dalam jebakan utang China. Padahal, kalau dari awal kebijakan penjaminan itu dipilih, proposal dari Jepang yang mensyaratkan penjaminan tersebut justru dinilai lebih menguntungkan Indonesia.

Selama enam tahun sejak proyek itu dimulai, pemerintah konsisten dan berhasil menjaga skema B2B dan berjalan sebagai aksi korporasi dari konsorsium BUMN, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI). Perusahaan ini berpatungan dengan Beijing Yawan HSR Co.Ltd membentuk PT Kereta Segera Indonesia China (KCIC) selaku pengelola kereta cepat dimaksud.

PT PSBI merupakan konsorsium yang didirikan oleh PT KAI, Wijaya Karya, PTPN VIII, dan Jasa Marga pada tahun 2015. Sumber pendanaan perusahaan ini terdiri atas 75% utang dari China Development Bank (CDB) dan 25% ekuitas (modal saham) dengan porsi kepemilikan PT PSBI sebesar 60%.

Demi ini, beban APBN ditujukan untuk menutupi kewajiban konsorsium yang timbul akibat pembengkakan biaya (cost overrun) proyek ini. Kebijakan penjaminan APBN tidak menutup kemungkinan diperluas untuk kewajiban utang konsorsium BUMN PT PSBI yang mengalami kesulitan finansial. Dalihnya, performa sebagian BUMN yang ‘dipaksa’ mengelola KCJB ini juga kesulitan menyelesaikan utang masing-masing yang semakin menggunung.

Cek Artikel:  Meninjau Program Capres soal Pangan, Infrastruktur, dan Kekuatan

 

Potensi manipulasi APBN dalam kemasan regulasi

Argumentasi yang sering disampaikan pejabat pemerintah ialah apa yang salah ketika pemerintah terpaksa memutuskan  sebagian pendanaan proyek KCJB yang hampir rampung ini menjadi beban APBN. Jawabannya secara sepintas memang tidak terlihat ada aturan yang dilanggarkan. Tetapi, upaya menyiasati regulasi untuk memuluskan kewajiban keuangan PT KCIC menjadi beban APBN perlu dicermati bersama.

Pertama, penyertaan modal Negara (PMN) terhadap BUMN untuk mendanai PT KCIC secara subtansi bertentangan UU Nomor 19 Mengertin 2003 tentang BUMN karena bukan untuk memperbaiki struktur permodalan BUMN atau meningkatkan kapasitas usaha BUMN.

Penerima manfaat PMN tersebut tidak BUMN yang bersangkutan, tapi PT KCIC. PMN secara formal  diterima BUMN, tetapi secara subtansi  merupakan investasi kepada PT KCIC. PMN kepada perusahaan non-BUMN hanya diperkenankan dalam kondisi tertentu untuk menyelamatkan perekonomian nasional.

Kedua, apabila proyek ini diajukan menjadi beban APBN perlu dibahas dengan DPR dengan menyiapkan proporsal, studi kelayakan, kajian dan analisis investasi yang menyakinkan guna mendapat persetujuan pada tahap perencanaan.

Ketiga, saat sekarang sebagian pendanaan proyek ini dijadikan beban APBN, kondisi proyek sudah hampir selesai dan tinggal menyelesaikan pembayaran. DPR pada posisi tidak dapat melakukan fungsi kontrol anggaran untuk menguji dan menilai kelayakan dan manfaat proyek ini sehingga hak budget tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Cek Artikel:  Maksud Strategis Debat Capres

Keempat, penyaluran PMN kepada PT KAI tahun 2021 ternyata tidak sepenuhnya mengikuti mekanisme APBN, yaitu adanya proses perencanaan dan pengganggaran. Hal ini, terbukti dari kronologis waktu penetapan regulasi, dimana Perpres Nomor 93 Mengertin 2021 ditetapkan tanggal 6 Oktober 2021, PP Nomor 119 Mengertin 2021 mengenai PMN kepada PT KAI ditetapkan tanggal 27 Desember 2021 yang sebagian untuk kereta cepat, dan ternyata PMN sudah diterima PT KAI tahun yang sama.

Kelima, menjadikan porsi pinjaman korsorsium yang berasal cost overrun  untuk PT KCIC dari CDB sebagai utang PT KAI selaku pimpinan konsorsium selanjutnya disalurkan kepada PT KCIC sebagai siasat untuk dapat dijamin APBN. Kebijakan ini memberikan tambahan beban kepada PT KAI untuk kepentingan bisnis kompetitornya dan tidak mencerminkan prinsip good corporate governance.

Keenam, penjaminan pinjaman oleh PT Penjamin Infrastruktur Indonesia (PII) kemungkinan sudah didesain tidak akan dibayar oleh PT KAI dengan alasan gagal bayar. Dari laporan keuangan PT KAI untuk pemenuhan kewajiban ekuitas kepada PT PSBI saja PT KAI harus menunggu dulu tranfer PMN dari APBN, apalagi untuk membayar utang untuk kepentingan KCJB.

 

Pintu masuk APBN untuk bayar PMN dan utang

Skenario beban APBN untuk kereta cepat ini, terjadi dalam skema pembiayaan APBN berupa PMN yang tidak direncanakan dari awal. Pengeluaran pembiayaan APBN tersebut digunakan untuk pemenuhan kewajiban setoran modal konsorsium BUMN dan pelunasan kewajiban utang PT KAI dari CDB. Setoran modal BUMN konsorsium telah dilakukan untuk PT KAI dan dalam RDP dengan Komisi XI DPR, Kemenkeu juga akan mengalokasi PMN untuk PT Wijaya Karya.

Cek Artikel:  Rupiah tidak Menyerah

Apabila PT KAI gagal bayar atas tanggungan utang terhadap PT KCIC, pelunasan kewajiban utang dilakukan PT PII sesuai jaminan yang diberikannya. Oleh karena pengeluaran PT PII juga dijamin APBN, selanjutnya PT PII mengajukan PMN sebesar pengeluaran itu. Dengan demikian, pos pengeluaran pembiayaan APBN akan membengkak karena tidak diperhitungkan dengan cermat dari semula.

Demi itu, Kementerian BUMN dan Kemenkeu harus membuat pisah batas (cut off) yang jelas dan disepakati bersama besarnya beban APBN yang dapat digunakan untuk PMN, baik untuk membantu kewajiban ekuitas PT PSBI kepada PT KCIC maupun kewajiban utang PT KAI untuk PT KCIC. Dalam R-APBN 2024, sudah harus dipastikan besaran beban APBN yang diselesaikan pada tahun terakhir pemerintahan Jokowi sehingga tidak membebani pemerintahan berikutnya.    

Upaya menyiasati regulasi atau membuat regulasi baru sebagai payung hukum kebijakan penggunaan dana APBN seperti ini tidak tergolong perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara, tetapi jauh dari prinsip good governance. Dalam kemasan legal formal, para pengambil kebijakan dapat saja membuat atau menggunakan regulasi agar terhindar dari persoalan hukum. 

Tetapi, selain aspek hukum harus juga diperhatikan etika, asas kepatutan dan prinsip pengelolaan APBN yang sehat, inklusif dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Beban APBN seyogianya dilakukan melalui proses perencanaan dan penganggaran secara transparan dan akuntabel sebelum dilaksanakan agar legalitas pendanaan APBN tidak salah jalur lewat pintu belakang.

 

Mungkin Anda Menyukai