Keresahan dalam Kebebasan

SEORANG membagikan sebuah meme bertuliskan ‘menghitung hari menuju kebebasan’. Dalam meme itu, tampak beberapa orang tengah dijerat tali oleh sesosok wajah yang di dadanya dituliskan nama ‘Mulyono’. Nama Mulyono sangat viral akhir-akhir ini. Ia merupakannama kecil Presiden Joko Widodo.

Saya tersenyum simpul, tapi sedikit bingung dengan gambar itu. Buat memenuhi rasa penasaran, saya membuka media sosial. Rupanya meme berisi olok-olok serupa dengan gambar yang dimodifikasi berseliweran. Jumlahnya lumayan, lebih dari 10 gambar.

Dalam hati saya bertanya: bukankah sejak Reformasi bergulir,kebebasan sudah berbiak? Malah mulai banyak yang mengeluhkan kebebasan yang menurut mereka sudah kebablasan. Lazimnya, para pengeluh itu ialah elite di negeri ini.

Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Nikmat?

Lampau, kebebasan macam apa lagi yang dibutuhkan? Mengapa kebebasan itu dikaitkan dengan menghitung hari selesainya kepemimpinan Presiden Joko Widodo? Apakah dalam bulan-bulan terakhir ini kebebasan cuma ornamen? Atau ada yang merasa terbelenggu, tersandera, atau apa pun yang bersifat mengekang?

Jenis-rupa meme dan gambar-gambar itu menunjukkan secara gamblang bahwa kebebasan tidak melulu membebaskan rakyat dari penderitaan. Jalan bebas yang diperjuangkan sejak Reformasi ternyata menyisakan residu yang jadi masalah baru.

Cek Artikel:  Oposisi Loyal

Lazimnya, penderitaan dalam kebebasan itu bersumber dari rasa ketidakadilan yang masih banyak ditemukan. Terdapat hak-hak memanen keadilan dari publik yang tidak dipenuhi oleh pemegang kekuasaan. Mereka bebas bersuara, tapi suara mereka seolah membentur dinding kedap suara.

Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo

Perasaan tidak adil dan tidak setara itulah yang diekspresikan dalam wujud gambar, tulisan, atau respons olok-olok terhadap figur-figur yang dinilai menekuk keadilan, mendapatkan keistimewaan alih-alih diperlakukan setara. Publik (baca netizen) seperti tidak putus-putusnya mengulik ‘benarkah akun Fufufafa Gibran yang punya?’.

Netizen pun ‘memblejeti’ satu per satu keganjilan akun Fufufafa itu. Terdapat yang membuka akun lama itu dengan memakai nomor milik seseorang yang diduga pemilik akun, juga dengan memasukkan akun e-mail yang bersangkutan. Fufufafa pun terbuka, orang bisa ‘berselancar’ membaca komentar-komentar aneh yang pernah dituliskan akun itu beberapa tahun lalu.

Jagat maya, dalam rangka menghitung hari pergantian rezim, juga terus-menerus membincangkan perjalanan Kaesang dan istrinya ke Amerika Perkumpulan dengan menggunakan jet pribadi. Lebih-lebih, setelah Kaesang menjelaskan ke KPK bahwa ia nebeng pesawat milik temannya saat ke Amerika.

Cek Artikel:  Bahaya Penjilat

Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas

Muncul pula rupa-rupa meme yang mengolok-olok urusanpertebengan itu. Terdapat video orang tengah membonceng atau nebeng sepeda motor tanpa ada penyetirnya. Terdapat juga wajah bergambar mirip Kaesang bertelanjang dada duduk di atas mesin sebuah pesawat yang sedang terbang dengan dibubuhi tulisan: ‘nebeng teman’.

Itulah parade ekspresi kejengkelan karena merasa diperlakukan tidak adil dan tidak setara. Meski Jokowi berkali-kali mengatakan bahwa semua warga negara punya hak dan kedudukan yang sama di depan hukum, banyak orang merasakan sebaliknya.

Terdapat pula yang menggambarkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan perlakuan itu dengan kendaraan yang melaju melalui dua jalan berbeda. Yang satu, jalan tol lurus dan lengang dengan kendaraan melaju kencang menuju vonis. Itulah jalan hukum untuk para jelata dan pejabat biasa-biasa saja.

Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024

Jalan satunya, berputar-putar, berliku-liku, padat merayap seperti labirin hingga membuat mumet (pusing) yang melihatnya. Karena berputar-putar terus, tak bisa ditemukan di mana ujungnya. Itulah jalan yang dirasakan publik sebagai jalur untuk perkara yang menjerat pemilik ‘hak istimewa’ atas dasar tingginya kuasa.

Cek Artikel:  Menikmati Debat Daya Beli

Seperti itulah yang tengah dirasakan banyak orang. Maka itu, mereka menyebutkan dalam larik kalimat ‘menghitung hari menuju kebebasan’. Meme dan tulisan itu bisa dimaknai bahwa mereka sedang tersandera. Mereka, dalam dugaan saya, sedang merasa diperlakukan tidak adil dan tidak setara.

Perasaan itu datang terus-menerus, bertumpuk-tumpuk, bertemali dengan masalah kehidupan yang dirasa kian bertambah. Maka itu, ekspresi kekecewaan dalam bentuk sindiran dan olok-olok itu diyakini bisa menjadi katarsis atau kanalisasi keresahan.

Dalam sayup-sayup, saya dengar alunan lagu Sound of Silence milik Simon & Garfunkel:

‘And in the naked light I saw

Ten thousand people, maybe more

People talking without speaking

People hearing without listening

People writing songs that voices never share

No one dare, disturb the sound of silence

(Dan di cahaya telanjang, kulihat sepuluh ribu orang, mungkin lebih 

Orang-orang berbincang tanpa bicara

Orang-orang mendengar tanpa mendengarkan

Orang-orang menulis lagu yang tak pernah terbagi oleh suara

Tak ada yang berani

Mengganggu suara keheningan)’

 

Mungkin Anda Menyukai