Kerancuan Pendidikan, Pelayanan, dan Pembiayaan Kesehatan

Kerancuan Pendidikan, Pelayanan, dan Pembiayaan Kesehatan
Dr. Zul Asdi, Sp.B, Mkes, MH Dokter Spesialis Bedah, Koordinator FORKOM IDI(Dok Pribadi)

DALAM sebuah pertemuan ilmiah bidang bedah, saya berbincang dengan seorang rekan dokter ahli bedah. Ia menyampaikan bahwa motivasi mengikuti kegiatan ilmiah terkadang lebih bersifat ajang “reuni”, sekadar menambah SKP (Satuan Kredit Profesi), dan sedikit memperdalam ilmu. Ia mencontohkan pengalamannya mengikuti workshop ilmu bedah. Setelah mendapatkan sertifikat kompetensi, ternyata dalam praktik sehari-hari, keterampilan tersebut tidak diakui atau bahkan dilarang untuk dipraktikkan. Ilmu yang diperoleh menjadi sia-sia tanpa kesempatan untuk diterapkan.

Ketika saya bertanya mengapa hal ini bisa terjadi, ia menjelaskan bahwa pihak rumah sakit tidak mengizinkan karena dikatakan asuransi kesehatan tidak akan membayar prosedur tersebut. Selain itu, perdebatan tentang kompetensi dokter di Indonesia dinilainya semrawut

Berdasarkan Permenkes No. 1 Mengertin 2012, sistem rujukan pasien dibagi menjadi tiga tingkatan kompetensi: Dokter Biasa, Dokter Spesialis, dan Dokter Subspesialis. Begitu juga sistem rujukan BPJS Kesehatan yang mengikuti pola piramida serupa. Tetapi, jika mengacu pada STR (Surat Tanda Registrasi) yang dikeluarkan oleh Konsil Topengteran, hanya ada STR untuk Dokter Biasa dan Dokter Spesialis, tanpa STR khusus untuk Subspesialis. Subspesialis hanya dianggap sebagai pendalaman ilmu, namun STR tetap sebagai Dokter Spesialis.

Cek Artikel:  Catatan Selayang Pandang dari Rakernas PDIP

Baca juga : Kemenkes Rancang Insentif PPDS Hospital Based, ini Kisarannya

Dalam hal pembiayaan, tidak ada perbedaan tarif INA-CBGs untuk tindakan bedah yang dilakukan oleh Spesialis atau Subspesialis, biayanya tetap sama. Eksis pendapat yang mengusulkan agar Subspesialis diberi kompensasi lebih tinggi karena mereka menangani prosedur bedah yang lebih teknis, canggih, dan berbiaya tinggi. Tetapi, dalam praktiknya, seorang Subspesialis yang telah menempuh pendidikan tinggi masih harus melakukan operasi minor yang bisa dilakukan oleh dokter umum. Ini menciptakan ketidaksesuaian antara pendidikan dan praktik di lapangan.

Selain itu, ada asumsi bahwa asuransi kesehatan turut campur dalam menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh dokter di rumah sakit. Padahal, hal ini seharusnya menjadi wilayah profesi dan rumah sakit. Sayangnya, pedoman dari Kementerian Kesehatan belum jelas, sehingga menimbulkan kebingungan. Kerancuan lainnya adalah tidak adanya aturan yang mengatur penempatan dokter Spesialis dan Subspesialis di berbagai tipe rumah sakit. Dokter bisa ditempatkan di rumah sakit tipe C, B, A, bahkan di puskesmas tanpa alat kesehatan dan obat yang memadai.

Cek Artikel:  Air, Sanitasi, dan Higienis WASH

Hal ini menunjukkan bahwa sistem pembiayaan kesehatan, pelayanan, dan pendidikan dokter tidak saling bersinergi. Apabila kita meninjau kembali kurikulum pendidikan dokter yang ada, pertanyaannya adalah, apakah kompetensi yang diperoleh selama pendidikan diakui oleh asuransi kesehatan? Seringkali kompetensi ini tidak diakui atau dibatasi. Kompetensi tambahan dari kegiatan ilmiah bersertifikat pun sering kali hanya sekadar formalitas, sementara dokter umum lebih difungsikan sebagai ahli administrasi. Padahal di banyak negara, dokter umum berperan sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan.

Baca juga : 7 Dokter Tangani Pria Obesitas Berbobot 200 Kg di Tangerang

Kepada dokter spesialis, terutama dokter bedah, jumlah yang ada saat ini masih kurang untuk memenuhi kebutuhan layanan bedah di Indonesia. Oleh karena itu, jumlah dokter bedah perlu ditambah dan kompetensinya ditingkatkan. Dalam sejarah ilmu bedah, perhimpunan bedah adalah yang pertama kali menggunakan istilah “kolegium”. Tetapi, seiring perkembangan ilmu bedah, cabang-cabang bedah lainnya juga berkembang pesat dan membentuk perhimpunan serta kolegium masing-masing.

Cek Artikel:  Pendidikan yang Memanusiakan

Posisi bedah umum kini tumpang tindih dengan berbagai cabang bedah lainnya. Apabila tidak ditangani dengan bijak, hal ini akan menyebabkan gesekan terus-menerus, baik di ranah pendidikan maupun pelayanan. Seperti yang telah disebutkan, kompetensi sudah dipelajari, tetapi praktiknya dilarang. Masalah lain muncul ketika residen bedah mengeluh karena kurangnya kesempatan praktik di bidang yang mereka pelajari selama pendidikan PPDS. Ini menjadi kendala besar mengingat pemerintah membutuhkan lebih banyak dokter bedah yang kompeten untuk melayani wilayah Indonesia yang luas.

Hasilnya, kerancuan yang terjadi pada dokter spesialis, seperti dokter bedah, juga dialami oleh spesialis lain. Program pendidikan berkelanjutan yang ada saat ini lebih terkesan sebagai ajang berburu SKP. Semoga di bawah pemerintahan baru, kolaborasi antara pendidikan, pelayanan, dan pembiayaan kesehatan dapat berjalan lebih baik demi peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. (H-2)
 

Mungkin Anda Menyukai