Kerak itu masih Menempel

KEMISKINAN itu sebuah risiko sebab hukum pergaulan kerap berpihak dan memberikan kemanjaan kepada orang-orang berharta. Orang-orang miskin harus membayar lebih tinggi untuk membiayai kehidupan yang harus mereka jalani. Kalkulasi sederhananya, orang-orang melaratlah yang selalu harus membeli barang-barang dengan harga lebih mahal.

Karena tidak punya uang cash, misalnya, mak-mak di kampung-kampung membeli barang atau kebutuhan sehari-hari dengan angsuran kepada bank thithil. Sebagian menyebutnya ‘bank tuyul’, yang berkeliling dari rumah ke rumah dengan harga mencekik leher, bisa sampai dua kali lipat harga nornal.

Karena tidak punya cukup uang untuk membeli secara borongan, orang-orang yang terperangkap oleh kemiskinan harus membeli dalam jumlah ketengan yang harga tiap satuannya lebih mahal bila dibandingkan dengan membeli borongan. Risiko-risiko itu masih kita jumpai saat ini. Apalagi saat harga bahan pangan terus membubung seperti saat ini.

Itu risiko membeli barang dan kebutuhan. Selain itu, ada risiko menjadi orang miskin, yakni risiko sosial. Demi risiko yang satu ini, bahkan orang melarat harus berhadapan dengan situasi yang kadang harus ditebus dengan nyawa. Bukan jarang ada kasus seorang ayah bunuh diri karena merasa malu pada lingkungan sosialnya setelah merasa tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya.

Cek Artikel:  Menguji Megawati

Risiko tersisih secara sosial karena kemiskinan itu juga tergambar di dunia pendidikan. Dunia pendidikan yang mestinya egaliter kerap memberikan privilese kepada mereka yang berduit. Kesempatan berbeda itu kerap membawa yang beruang ialah yang cepat beradaptasi karena mampu membeli fasilitas.

Risiko seperti itu sudah otomatis terjadi karena memang seperti itulah hukum perdagangan. Terdapat uang, ada barang. Terdapat harga, ada rupa. Dalam pertarungan yang tidak seimbang antara uang dan barang, harga dan rupa, seperti itu orang melarat butuh keajaiban untuk menang. Apalagi bila mereka yang bertarung itu berstatus miskin ekstrem.

Hingga saat ini, jumlah orang di zona miskin ekstrem itu masih banyak. Terdapat lebih dari 2,7 juta orang Indonesia (hampir 1% total populasi) berada dalam kubangan kemiskinan ekstrem. Mereka itu cuma sanggup membeli semua kebutuhan kurang dari Rp13 ribu per orang per hari. Kalau ada kebutuhan yang mesti dibayar hingga Rp16 ribu pada Senin, ia tinggal punya uang Rp10 ribu untuk belanja pada Selasa.

Cek Artikel:  Terkungkung Mazhab Utang

Secara literasi, kondisi rumah tangga miskin ekstrem juga sangat mengenaskan. Data Badan Pusat Stagnantik (BPS) menyebutkan sekitar 300 ribu orang rumah tangga miskin (kurang lebih 11,26%) tidak bisa membaca dan menulis. Sebesar 70% kepala rumah tangga miskin ekstrem berpendidikan SD atau sederajat ke bawah. Sebanyak 12,86% rumah keluarga miskin ekstrem berlantaikan tanah. Sebesar 59% rumah tangga miskin ekstrem berkecimpung di dunia pertanian.

Data-data itu menunjukkan betapa sangat rentannya orang-orang supermelarat itu. Sayangnya, janji setiap era pemerintahan untuk mengentaskan seluruhnya jutaan orang dari kubangan kemiskinan ekstrem itu selalu gagal. Pula dalam kurun satu dekade pemerintahan saat ini, hampir bisa dipastikan upaya mengenolkan kemiskinan ekstrem akan gagal.

Pada 2014, seusai memenangi kontestasi pilpres, Presiden Jokowi menargetkan Indonesia bersih dari kemiskinan ekstrem pada 2024 alias akhir tahun ini. Tetapi, upaya meraih itu masih amat berat. Menko Pemberdayaan Insan dan Kebudayaan Muhajir Effendi sudah menyiratkan bahwa pada Desember mendatang, masih ada sekitar 0,5% kemiskinan ekstrem di Indonesia. Itu artinya, masih ada 1 juta lebih orang dalam kubangan miskin ekstrem.

Cek Artikel:  Bukan Tambahan Penderitaan Rakyat

Jumlahnya memang terus turun dalam satu dekade ini. Tetapi, belum bisa hilang sepenuhnya. Program-program yang sudah digeber belum bisa menghapus kemiskinan ekstrem dari muka bumi Indonesia seperti yang dijanjikan. Lagi ada 1 juta lebih orang yang terus bersabung dengan risiko yang juga sangat ekstrem.

Betul belaka kata Menko Muhajir bahwa ibarat nasi, kemiskinan ekstrem itu seperti kerak. Ia menempel dan mengeras di penanak nasi sehingga butuh ikhtiar luar biasa untuk mengangkat dan membersihkannya. Naga-naganya, kerak itu masih ada hingga hari berjalan dan waktu yang terus berlalu. Tamat-sampai, tidak terasa 2024 terlewati dan si kerak tetap ada yang menempel di penanak nasi.

Mungkin Anda Menyukai