RABU (24/1), Presiden Joko Widodo mengumumkan dirinya selaku kepala negara dan kepala pemerintahan boleh berkampanye dan berpihak dalam Pemilu 2024. Rabu sepekan kemudian (31/1), Menko Polhukam Mahfud MD mengumumkan dirinya mundur dari kabinet. Butuh waktu sepekan bagi Mahfud untuk mengartikulasikan antara ucapan dan realitas dalam tindakan Presiden tersebut.
Apabila Presiden sudah tiba di Jakarta hari ini, Mahfud menurut rencana akan menyerahkan surat pengunduran dirinya itu langsung ke tangan Presiden.
Meski rencana pengunduran dirinya itu sudah dalam beberapa hari ini disampaikannya ke muka publik, benak masyarakat tetap saja masih dipenuhi tanda tanya. Terdapat apa ini? Presiden Jokowi yang diharapkan bisa mengakhiri masa jabatan dua periodenya dengan soft landing pada Oktober mendatang, kenapa harus menghadapi kenyataan ada menterinya yang mundur?
Pertanyaan itu tentu tidak perlu dijawab oleh mereka karena publik sudah bisa menerka sendiri jawabannya, yakni sudah tidak ada lagi, atau setidaknya kian merosot, rasa percaya di antara mereka. Padahal, kepercayaan ialah modal dasar kerja sama antara presiden dan menterinya. Jadi, apa lagi yang perlu dikerjakan bersama jika sudah tak ada lagi saling percaya?
Dengan berlatar belakang akademisi hukum dan lima tahun lamanya menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi pada 2008-2013, Mahfud tentu telah memperhitungkan dengan cermat keputusan mundurnya itu. Pengalaman menjaga tegaknya konstitusi dan etika bertata negara itu membekali Mahfud bisa menangkap dengan jernih apa yang dimaksud Jokowi bahwa presiden boleh berkampanye dan berpihak, baik dari bentuk ucapan maupun tindakan.
Dari sisi ketatanegaraan, Mahfud tentu menangkap ucapan dan tindakan Presiden itu berbahaya bagi tegaknya konstitusi. Presiden yang masih terikat sumpah jabatan akan melaksanakan tugas sebaik-baiknya, selurus-lurusnya, dan seadil-adilnya telah memilih hendak berpihak. Hal itu bertolak belakang dengan perintah konstitusi yang tertuang di Pasal 9 UUD 1945.
Dari sisi politik, ucapan dan tindakan Presiden itu juga berbahaya bagi rencana Mahfud yang pada pemilu ini mendampingi Ganjar Pranowo sebagai calon wakil presiden. Ucapan Presiden itu justru memberi angin segar kepada lawan politiknya.
Apalagi sejak awal Januari 2024, Presiden rajin blusukan ke daerah, bahkan hingga pelosok di Nusa Jawa. Sembari meresmikan proyek infrastruktur kelas kabupaten, Presiden menyapa rakyat dengan bagi-bagi bansos.
Semakin sulit bagi publik untuk mengartikan bagi-bagi bansos oleh Presiden itu, apakah sebagai kepala pemerintahan yang hadir di tengah kesulitan ekonomi rakyatnya, atau kepala negara yang berpihak dalam pemilu, atau boleh jadi keduanya karena mumpung masih berkuasa.
Kita tentu berharap mundurnya Mahfud MD sembari menyeru soal pentingnya etika itu bisa mengirim sinyal tegas kepada Presiden Jokowi, bahwa kekuasaan bukan segala-galanya. Apabila pengunduran itu disampaikan secara tulus sebagai bentuk tanggung jawab moral, setidaknya bisa menjadi pengingat kepada Presiden bahwa di tingkat pembantunya saja, tanggung jawab moral dipegang erat-erat, apalagi di level pucuk pimpinan tertinggi bangsa ini.