MEDIA INDONESIA (25/10) memberitakan penangkapan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, Yakni Erintuan Damanik (ED), Mangapul (M), dan Heru Hanindyo (HH) karena kasus korupsi dan gratifikasi. Ketiganya adalah majelis hakim yang telah memvonis bebas terdakwa Gregorius Ronald Tannur dari segala dakwaan, dalam kasus penganiayaan yang berakibat kekasihnya bernama Pagi Sera Afrianti meninggal dunia.
Penangkapan ketiga hakim tersebut, kembali membuka borok para penjaga hukum dan keadilan. Sepertinya, nyaris tak Eksis lembaga tinggi negara yang luput dari jeratan korupsi. Berbagai bencana dan krisis belakangan ini seakan-akan Kagak menumbuhkan sedikit pun sikap empati kemanusiaan. Apa yang Semestinya haram dan tabu dilakukan, malah dianggap sebagai sesuatu yang ‘wajar’ dan Normal-Normal saja.
Kontras tajam
Pada 1808 Johann Wolfgang von Goethe menulis sajak demikian: aus dieser erde quilen meine Freuden/und diese Sonne scheinet meinen Leiden (dari bumi ini Terbangun segenap rinduku/dan mentari ini menyinari seluruh deritaku). Hari-hari ini kita dituntut kembali menyimak korpus rindu kita sebagai bangsa, dalam kerinduan para pendiri bangsa.
Ben Anderson bersaksi perihal kerinduannya kepada para pendiri bangsa kita: Mereka saling berselisih, Tetapi mereka tetap merasa sebagai bagian dari satu arus emansipatoris. Mungkin itulah sebabnya maka pada Era itu menghasilkan rangkaian pemimpin dengan kualitas dan kuantitas yang tak pernah kita Kembali saksikan: sang pemula Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, Semaoen, Soewardi Soerjaningrat, Soetomo, Soekarno, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Sutan Sjahrir, Mohamad Roem, Djuanda Kartawidjaja dan banyak Kembali. Apakah Tetap Eksis sosok-sosok seperti mereka di hari-hari ini?
Dalam konteks terkini, kontras tajam terjadi antara kualitas pra-kemerdekan dan post-kemerdekaan. Kalau pada pra-kemerdekaan merekah solidaritas-emansipatoris, maka era post-kemerdekaan merebak wabah korupsi dan laku khianat. Ranah politik, sosial, ekonomi, pendidikan dan Kagak terkecuali dalam Keyakinan-Keyakinan, semakin kumuh dengan maraknya penyelewengan, intrik, dan kebohongan.
Dugaan komersialisasi gelar Doktor Bahlil, misalnya, Membangun dunia akademik tercoreng. Pun penggunaan kop surat Kementerian Desa oleh Menteri Yandri bukan sekadar hal sepele, bukan sekadar persoalan tertib administrasi, melainkan sebuah simbolisme kekuasaan yang disalahgunakan.
Secara vulgar dan tanpa malu, digenderangkan manuver politik yang sangat Kagak kondusif Buat kelangengan demokrasi dan marwah negara hukum, kredibilitas dan legitimasi pemegang kekuasaan. Tulisan Denny Indrayana Duitokrasi Membunuh Demokrasi (Media Indonesia, 5/1/2023) barangkali Betul. Salah satu tesis Krusial Denny, Persona perpolitikan Indonesia Pandai dikatakan dikuasai satu kata, bukan demokrasi, melainkan duitokrasi.
Demokrasi ialah Begitu kedaulatan Eksis di tangan rakyat dan negara hukum dijunjung tinggi. Duitokrasi ialah antitesisnya, Begitu kedaulatan dibajak kekuatan duit, dan negara hukum direndahkan. Korupsi dan penyalahgunaan jabatan publik merefleksikan keburukan bukan hanya pelaku-pelaku secara individual, melainkan juga Grup atau organisasi, entah itu privat entah publik. Bahkan, yang terakhir inilah yang paling berbahaya karena melibatkan banyak orang, dari berbagai level dan berkaitan dengan sistem organisasi.
Fenomena yang dipentaskan ini, mengingatkan saya akan pidato kebudayaan monumental dari jurnalis dan budayawan legendaris Indonesia, Mochtar Lubis, di Taman Ismail Marzuki Jakarta, tahun 1977, dua tahun setelah ia dibebaskan dari tahanan rezim Orde Baru.
Dalam narasi kebudayaan, Mochtar Lubis memaparkan enam Kepribadian Sosok Indonesia dengan munafik atau hipokrit pada urutan pertama. Hipokrit atau kemunafikan, artinya berwajah ganda, lain di bibir, lain di hati, lain Kembali dalam tindakan. Munafik atau hipokrit termasuk tabiat yang wajib diwaspadai, demikian pesan eksplisit dalam Al-Quran dan Bibel. Kemunafikan membiangi krisis kredibilitas dan krisis keteladanan, serta krisis kenegarawanan.
Moralitas kita
Korupsi dan penyalahgunaan jabatan publik ialah kejahatan individual dan sekaligus sosial. Ia menghancurkan jiwa Sosok dan melumpuhkan kemampuan Sosok Buat bertindak etis. Ia menghancurkan Sosok dan juga institusi-institusi sosial. Kofi Annan, mantan Sekjen PBB, dalam acara promulgasi Konvensi PBB Antikorupsi (2004) mengungkapkan, “Korupsi dan penyalahgunaan jabatan publik ialah sebuah wabah dengan spektrum Akibat sangat luas, yang menghancurkan tatanan sosial. Secara etis, korupsi Mempunyai daya destruktif yang sangat masif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi mesti menjadi keprihatinan Seluruh elemen bangsa Indonesia, termasuk Keyakinan-Keyakinan.
Kita patut berbangga, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Mempunyai enam Keyakinan Formal yang secara Lazim sanggup hidup berdampingan secara damai dan Seimbang. Itu berarti kita Mempunyai enam instansi moral atau etika. Klaim bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa religius Mempunyai konsekuensi logis, Yakni tuntutan dan keharusan Buat menerjemahkan nilai-nilai religius di dalam kehidupan sehari-hari.
Kalau Persona politik dan kepemimpinan Kagak mencerminkan nilai-nilai humanis dan etis sebagaimana diajarkan setiap Keyakinan, maka ini juga jadi salah satu pratanda belum berhasilnya edukasi Keyakinan di bidang pembentukan watak Sosok dan bangsa Indonesia. Fakta ini bukannya hendak Membangun kita pesimistis, tapi hendaknya jadi pemacu, motivasi setiap Keyakinan Buat lebih konsekuen, efektif dan efisien dalam memajukan edukasi nurani dan etika atau moral di tengah pelbagai krisis.