THIS is, above all, a human crisis that calls for solidarity…. that demands coordinated, decisive, and innovative policy action from the world’s leading economies. Ini ialah kutipan dari statemen Antonio Guteres pada tanggal 19 Maret 2020, yakni Sekretaris Jenderal PBB ini mengimbau adanya tindakan yang inovatif, tepat, dan terkoordinasi dari seluruh pimpinan dunia. Tetapi, setelah lebih dari satu setengah tahun kemudian, salah satu hal yang masih terasa kurang dalam penanganan krisis multidimensional ini ialah koordinasi dan kerja sama internasional.
G-20, kerja sama internasional dan krisis
Pada saat krisis inilah, kerja sama internasional menjadi sangat dibutuhkan. Pengalaman dari berbagai krisis sebelumnya menunjukkan bahwa kerja sama internasional dibutuhkan tidak hanya untuk meningkatkan sumber daya yang tersedia agar penanganan krisis menjadi lebih baik, tetapi juga mengoordinasikan tindakan yang diambil oleh berbagai negara agar tidak merugikan negara yang lainnya.
Pada masa krisis, godaan seperti ini sangat terasa. Seperti yang terlihat pada masa awalawal pandemi, yakni banyak negara memberlakukan larangan untuk ekspor perlengkapan pelindung diri dan alat-alat medis yang akibatnya membuat situasi pandemi menjadi lebih buruk.
Di sinilah forum kerja sama internasional mengambil peran penting, terutama forum yang melibatkan berbagai negara berpengaruh dalam perekonomian dan tata kelola dunia. G-20, yang merupakan forum dialog antara sembilan belas negara dengan perekonomian terbesar ditambah Uni Eropa, mempunyai daya dukung politis sangat tinggi, untuk membawa berbagai agenda kerja sama yang diperlukan dalam masa krisis dan mempercepat pemulihan. Ini terlihat pada saat krisis keuangan dunia tahun 2007/2008.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pertama di Washington DC di tahun 2008 menghasilkan komitmen untuk menjaga stabilitas sektor keuangan, meningkatkan koordinasi stimulus fiskal yang dilakukan oleh berbagai negara, serta menahan diri untuk tidak meningkatkan hambatan perdagangan dan proteksionisme. Ini semua diperlukan untuk menjaga situasi ekonomi dunia pada saat itu, untuk tidak semakin memburuk dan mempercepat pemulihan (Baldwin and Evenett, 2009).
Secara umum, berbagai komitmen yang dikeluarkan oleh negara-negara G-20 pada tahun 2008-2009, telah berkontribusi untuk menahan semakin memburuknya situasi. Compliance Report yang dikeluarkan oleh G-20 Research Group (2011) memberikan nilai 0,75 (dengan kisaran -1 – 1) untuk pelaksanaan berbagai langkah-langkah terkait makroekonomi.
Biarpun ada kecenderung peningkatan proteksionisme di masa krisis, juga banyak langkah yang diambil untuk mendorong perdagangan yang terbuka dan mendukung pemulihan ekonomi (Evenett, 2010).
Keberhasilan negara-negara G-20 dalam merespons krisis tidak terlepas dari karakteristik kelompok ini.
G-20 merupakan forum yang fleksibel, tanpa dibebani banyak legacy seperti yang terjadi pada G-8 (Stewart 2016). Grup ini juga langsung berada di bawah arahan para pemimpin negaranegara besar tersebut, dan tidak terlalu terikat dengan proses birokratis, dengan pembahasan yang terpusat pada beberapa area prioritas saja.
Dengan berkembangnya waktu, G-20 mulai ikut membicarakan berbagai agenda yang lebih luas di luar penanganan krisis dan pemulihan ekonomi. Di masa kepemimpinan Prancis 2011, pembahasan sudah melebar kepada isu ketenagakerjaan, keta hanan pangan, sosial ekonomi, dan perubahan iklim. Agenda pembahasan di dalam KTT dan pertemuan G-20 berikutnya semakin banyak lagi memasukkan agenda lain terkait pembangunan ekonomi dan sosial. Ini tentu saja diperlukan untuk menjaga kelompok ini menjadi tetap relevan ketika masa krisis mulai terlewati.
Selain itu, pembahasan agenda semakin didominasi oleh proses pembahasan birokratik pada tingkat an lebih teknis. Berbagai working groups dan task forces mulai dibentuk untuk membicarakan isu pada tingkatan yang lebih detail. Ini tentu dapat dipahami agar dapat mengimbangi semakin luasnya area pembahasan.
G-20 berubah dari forum untuk merespon krisis menjadi forum yang menentukan agenda pembangunan global. Dorongan dari dua puluh perekonomian terbesar tentu saja dapat menjadi pengungkit untuk menyukseskan berbagai agenda yang ingin dicapai. Tetapi, ini juga membuat G-20 berubah menjadi forum yang ‘gemuk’ dan terbebani dengan banyaknya pembahasan.
Kritik banyak dilontarkan, yakni G-20 dianggap tidak memberikan solusi konkret atas berbagai permasalahan global yang terjadi, kehilangan fokus dan banyak dipengaruhi situasi geopolitik. Perhimpunan ini dianggap tidak lagi menjadi forum yang dapat memberikan rekomendasi yang cepat dan tepat dengan komitmen tinggi dari para anggotanya. Ketika kemungkinan perang dagang terlihat meningkat pada periode 2017-2018, pemimpin G-20 lebih memilih untuk tidak membahas terlalu dalam isu tersebut meskipun dampaknya sangat signifikan terhadap perekonomian global.
G-20 dan pandemi
Krisis kesehatan dan ekonomi, yang mengikuti pandemi covid19, merupakan wake-up call bagi negara-negara G-20 untuk kembali menempatkan kerja sama internasional secara lebih fokus dalam menanggulangi krisis. Pada bulan Maret 2020, pemimpin negara-negara ini bertemu dan mengeluarkan seruan untuk penang gulangan pandemi dan krisis secara lebih serius.
Ini diikuti dengan beberapa kebijakan yang dijabarkan dalam G-20 Action Plan in Supporting the Mendunia Economy Through the Covid-19 Pandemic, serta tindakan dukungan ekonomi seperti Debt Service Suspension Initiative yang membantu negara berpenghasilan rendah dalam menangani beban utang mereka. Beberapa rencana tindakan lainnya juga mengikuti. Menteri-menteri perdagangan kelompok ini, misalnya, menyerukan untuk mengurangi ‘kebijakan perdagangan darurat’ yang banyak diambil, seperti pembatasan ekspor dan impor perangkat medis dan pelindung diri meskipun agak terlambat setelah akibat pandemi sudah semakin terasa.
Sayangnya, G-20 dirasakan kurang mengambil peranan dalam berbagai aspek yang mempunyai bobot internasional sangat tinggi. Memang, kebanyakan masalah kesehatan harus ditangani pada tingkat nasional, seperti juga permasalahan krisis ekonomi dan turunnya daya beli. Tetapi, banyak aspek yang membutuhkan koordinasi di tingkat global. Dalam bidang kesehatan, pertukaran informasi, riset dan sampel sangat diperlukan untuk pengambilan kebijakan yang tepat. Riset, produksi, dan distribusi vaksin juga memerlukan kerja sama internasional untuk menjamin ketersediaan dan cakupan yang maksimal.
Sayangnya, ini belum dapat dilaksanakan dengan baik. Meskipun negaranegara G-20 sudah memberikan komitmen untuk mencapai cakupan vaksin 70% dari populasi dunia pada pertengahan 2022, distribusi dan akses yang pincang masih menjadi masalah besar, yakni banyak negara maju yang melakukan penimbunan, sementara banyak negara miskin yang sulit mendapatkan vaksin secara memadai.
Dalam bidang ekonomi, sangat banyak sekali kebijakan yang memerlukan koordinasi global. Hingga saat ini, misalnya, belum terlihat ada upaya berarti untuk mengoordinasikan prosedur perjalanan lintas batas. Padahal, ini diperlukan untuk menunjang pemulihan sektor seperti pariwisata dan perjalanan bisnis. Stimulus fiskal yang diumumkan oleh G-20 di Maret 2020, juga cenderung bersifat pendataan jika dibandingkan dengan koordinasi seperti yang dilakukan di tahun 2008.
Dalam merespons pandemi ini G-20, sebenarnya telah melakukan beberapa hal yang mendukung, tetapi terlihat bahwa negara-negara ini kurang mampu keluar dengan tindakan dan kebijakan lanjutan yang diperlukan untuk mendorong kerja sama internasional. Salah satu faktor penyebabnya ialah karena G-20 saat ini tidak lagi fokus pada respons krisis, tetapi juga membagi perhatiannya pada berbagai agenda pembangunan lainnya.
Kepemimpinan Indonesia dalam G-20
Dengan latar belakang seperti ini, posisi Indonesia sebagai pemimpin G-20 di tahun 2022 ini menjadi sangat penting. Krisis yang berlangsung mulai terlihat bertransformasi. Risiko krisis keuangan dan krisis energi, telihat meningkat akibat terdisrupsinya supply chain dan produksi, serta beban utang yang semakin tinggi.
Vaksinasi yang tidak merata juga menyebabkan pemulihan ekonomi berjalan timpang. Prediksi terbaru dari IMF memperlihatkan bahwa perekonomian negara-negara maju di 2024 akan mencapai tingkatan 4,2% lebih tinggi jika dibanding dengan prediksi tanpa adanya pandemi. Sebaliknya, negara berkembang masih akan kehilangan 4% dari potensi perekonomian mereka jika tidak terjadi pandemi. Yang mengkhawatirkan ialah kondisi negara miskin yang kehilangan potential output hingga 10%.
Tema besar G-20 Indonesia: Recover Together Recover Stronger memberikan inspirasi bagi terciptanya pemulihan ekonomi yang kuat, inklusif dan berkelanjutan. Tetapi, untuk itu Indonesia harus lebih fokus pada berbagai agenda prioritas yang memang diperlukan untuk mendukung pemulihan ekonomi, serta, mempunyai daya ungkit internasional yang tinggi. Indonesia, sebaiknya jangan terlalu banyak memasukan agenda yang sebenarnya lebih tepat dijalankan pada tataran domestik.
Beberapa agenda yang terkait tentunya termasuk koordinasi internasional untuk produksi serta akses dan distribusi vaksin, sebagai kunci dari pemulihan ekonomi. G-20 dapat didorong untuk mengupayakan sumber daya lebih besar untuk produksi vaksin, mengingat inokulasi kemungkinan perlu dilakukan secara regular.
Agenda lain ialah kerja sama dalan rangka merevitalisasi konektivitas ekonomi global, baik itu dalam bidang perdagangan, investasi maupun mobilitas manusia. Serasisasi prosedur perjalanan dan upaya simplifikasinya dapat mulai dibicarakan di bawah kepemimpinan Indonesia. Apalagi, Indonesia mempunyai kepentingan nasional yang besar untuk hal ini.
Area kerja sama lainnya terkait dengan peningkatan ketahanan dan kesiapan makroekonomi global untuk mengahdapi meningkatnya risiko sektor keuangan. G-20 harus mendorong koordinasi kebijakan moneter yang lebih baik agar ekses dari kebijakan tiap negara dapat diminimalisasi.
Kagak dapat dilupakan bahwa pemulihan yang ingin dicapai merupakan pemulihan yang berkualitas dengan tujuan memperbaiki kondisi lingkungan dan dinikmati oleh semua pihak.
Kondisi krisis saat ini tidak bisa menjadi alasan untuk melupakan permasalahan besar terkait per ubahan iklim yang semakin terasa dampaknya. Tentu saja sumber daya yang dibutuhkan untuk pemulihan akan menjadi lebih besar. Sekali lagi kerja sama ekonomi internasional akan dapat membantu dalam memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan tersebut.
Kepemimpinan Indonesia dalam G-20 di tahun 2022 juga sangat strategis. Sebagai negara berkembang pertama yang memegang kepemimpinan dalam lima tahun terakhir, kepemimpinan Indonesia membuka kesempatan untuk partisipasi negara berkembang secara lebih luas. Grup negara maju G-7 saat ini juga mulai melakukan pembicaraan yang lebih intensif dan substansial dengan tindakan yang lebih konkret.
Indonesia perlu menjadi jembatan untuk kerja sama lebih baik antara negara berkembang dan negara maju. Terciptanya keselarasan global yang lebih tinggi akan mendukung diambilnya tindakan-tindakan konkret bagi terciptanya pemulihan ekonomi yang lebih kuat, inklusif dan berkelanjutan.