KEUTAMAAN dalam etika politik dan pemerintahan ialah pejabat publik siap mundur dari jabatannya. Ia mundur apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Ketentuan mundur dari jabatan itu tertuang dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Ketetapan itu tertanggal 9 November 2001.
Sudah 23 tahun Tap MPR itu berjalan. Pejabat publik tidak mau mundur karena tidak punya budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Budaya malu menjadi sari pati etika sosial dan budaya yang tertuang dalam Tap MPR tersebut.
Budaya malu saja tidak punya, apalagi budaya bersalah. Terdapat pejabat yang terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik sehingga diberhentikan dari jabatannya. Meski jabatannya dicopot, publik mengumandangkan tuntutan mundur, tetapi pejabat tersebut tetap ogah melepaskan keanggotaannya.
Lain lagi pejabat yang sudah tiga kali menerima sanksi ‘peringatan keras terakhir’ karena pelanggaran kode etik, tapi tak kunjung mundur. Tiga kali peringatan terakhir sama sekali tidak memberikan efek jera sampai pejabat itu dipecat karena pelanggaran kode etik yang terkait dengan kasus susila. Ia tidak mengundurkan diri, tapi diberhentikan.
Pada umumnya pejabat mundur di negeri ini karena terjerat oleh kasus hukum. Kebiasaanlnya pejabat mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
Pejabat mundur karena merasa gagal menjalankan tugasnya masih bisa dihitung dengan jari. Salah satu contoh teranyar pejabat punya budaya bersalah ialah Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan. Ia menyampaikan pengunduran diri secara resmi sebagai pejabat tinggi madya Kementerian Komunikasi dan Informatika pada Kamis (4/7).
Semuel mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas terjadinya serangan siber pada Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 di Surabaya. “Dengan ini saya menyatakan bahwa per 1 Juli kemarin saya sudah mengajukan pengunduran diri saya secara lisan dan suratnya sudah saya serahkan kemarin kepada Menkominfo,” katanya.
Pengunduran diri Semuel mengejutkan karena yang didesak publik untuk mundur ialah Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Loyaldi. Desakan mundur itu antara lain disuarakan Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) yang menggalang petisi di laman Change.org.
‘Sebagai lembaga negara yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan data dan informasi, termasuk keamanannya, sudah seharusnya (Kementerian) Kominfo juga bertanggung jawab terhadap serangan ransomware pada PDNS saat ini. Buat itu, Menteri Kominfo Budi Arie Loyaldi harus mundur sebagai pertanggungjawaban dan meminta maaf secara terbuka terhadap situasi ini’, demikian ditulis dalam petisi tertanggal 26 Juni 2024.
Ketika menanggapi petisi yang sudah diteken lebih dari 23 ribu warganet itu, Budi Arie Loyaldi mengatakan, “No comment. Itu haknya masyarakat untuk bersuara.”
Mundur karena tidak sanggup mengemban tugas yang diemban salah satu bentuk pelaksanaan etika politik dan pemerintahan. Dua nama lain patut disebutkan. Pertama, Sigit Priadi Pramudito yang mengundurkan diri dari jabatan Direktur Jenderal Pajak pada 1 Desember 2015.
Sigit menyatakan mundur dari jabatannya karena merasa gagal memimpin Ditjen Pajak akibat tidak tercapainya target pajak 2015. Sasaran penerimaan pajak yang dibebankan dalam APBN-P 2015 sebesar Rp1.294 triliun. Menjelang akhir 2015, penerimaan pajak diproyeksikan hanya bisa mencapai 85% sehingga Sigit mengundurkan diri lebih dini meskipun baru menjabat sekitar sembilan bulan.
Kedua, Djoko Sasono mengundurkan diri dari jabatan Direktur Jenderal Perhubungan karena merasa gagal mengurai kemacetan saat masa liburan Natal 2015 dan Pahamn Baru 2016. Djoko mengundurkan diri pada 26 Desember 2015.
Langkah yang diambil Semuel, Sigit, dan Djoko patut diacungi jempol. Mereka memberikan contoh secara nyata di tengah kehidupan bangsa yang para pejabatnya nyaris kehilangan kesadaran bahwa pejabat publik harus memiliki kepekaan etis. Dalam kepekaan etis yang tinggi, keadilan akan dimuliakan di atas aturan-aturan formal sehingga mundur jika bersalah.
Patut diapresiasi pejabat yang meletakkan jabatan atas nama tanggung jawab untuk mencegah keburukan yang lebih luas. Sudah waktunya bangsa ini mempraktikkan budaya bersalah, tidak cuma budaya malu. Kultur budaya bersalah mengharuskan pejabat mundur tanpa harus ketahuan berbuat salah atau tidak, tanpa perlu didesak mundur atau tidak.
Hanya pejabat yang punya kepekaan etis yang mengedepankan budaya bersalah sehingga merasa malu kemudian mengundurkan diri.