Kepala Daerah Tukang Stempel

WAJAH gubernur yang saya ajak bicara itu tampak serius ketika ditanya, mengapa daerah tidak memperbaiki jalan rusak? “Semoga Presiden tidak datang ke daerah ini sekadar menginspeksi jalan rusak,” kata dia dengan suara setengah berbisik.

Argumen dia sederhana saja, tapi masuk akal. Apabila jalan rusak didatangi Presiden, kesan yang muncul di publik ialah kepala daerah tidak becus memperbaiki jalan yang rusak. Presiden dikesankan sebagai Sinterklas, padahal pangkal masalahnya ialah daerah mengalami ketiadaan dana untuk memperbaiki jalan rusak.

Permasalahan lainnya ialah kepala daerah tidak memiliki keleluasaan seperti presiden untuk mengutak-atik anggaran. Pengeluaran APBD sudah ditentukan secara ketat dan teperinci oleh pusat atau ketentuan perundang-undangan.

Ambil contoh ketika negara dinyatakan berada dalam kondisi darurat bencana nonalam pada 13 April 2020. Konsekuensi covid-19 sebagai bencana nasional ialah sebagain besar dana APBD mendadak dipakai untuk kebutuhan kesehatan. Alokasi dana untuk jalan rusak harus dipakai untuk mengatasi covid-19.

Refocusing dan realokasi APBD untuk penangan covid-19 ialah kebijakan pusat yang wajib dilaksanakan daerah. Karena itulah, perbaikan jalan rusak tidak menjadi prioritas selama masa pandemi covid-19. Tak ada alokasi APBD untuk perbaikan jalan rusak mulai 2020 sampai 2022. Akibatnya terdapat banyak jalan rusak pada 2023, termasuk jalan yang didatangi Presiden.

Cek Artikel:  Kasih untuk Rafah

Lain lagi argumentasi yang disodorkan seorang bupati yang saya temui pada kesempatan berbeda. Kata dia, kepala daerah sesungguhnya hanya berperan sebagai tukang stempel anggaran. Ia tidak leluasa menggunakan APBD untuk perbaikan jalan rusak karena ada belanja wajib alias mandatory spending yang sudah diatur undang-undang.

Anehnya, berdasarkan perhitungan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), total belanja wajib itu mencapai 115% dari APBD. Keajaiban itu sudah disampaikan Apkasi dalam rapat dengar pendapat umum bersama Badan Anggaran DPR pada 6 April 2022, tapi hingga kini tidak ada tindak lanjutnya.

Perincian belanja wajib APBD ialah infrastruktur 40%, pendidikan 20%, kesehatan 10%, alokasi dana desa 10%, alokasi dana kelurahan 5%, dan belanja pegawai sebesar 30%. Total keseluruhannya sebesar 115%.

Belum lagi kewajiban APBD lainnya seperti diatur dalam Peraturan Mendagri Nomor 84 Pahamn 2022 tentang Panduan Penyusunan APBD Pahamn Anggaran 2023. Eksis kewajiban belanja hibah untuk partai politik, sejumlah komisi negara, dan kewajiban lainnya.

Cek Artikel:  Berebut Jakarta

Harus tegas dikatakan bahwa jalan rusak itu cermin kekarut-marutan kehadiran negara di tengah masyarakat. Jangan salahkan masyarakat yang mengambil jalan pintas seperti menanam pohon pisang di jalan rusak atau jalan rusak dijadikan kolam ikan lele. Itulah bentuk kekecewaan rakyat.

Mengacu data Badan Pusat Statitik (BPS), ada 31% dari seluruh jalan di Indonesia dalam kondisi rusak dan rusak berat. Data itu bisa ditemukan dalam publikasi November 2022 berjudul Stagnantik Transportasi Darat Pahamn 2021.

Jalan rusak ialah jalan yang dapat dilalui kendaraan dengan kecepatan 20-40 km per jam dan perlu perbaikan fondasi jalan. Jalan rusak berat ialah jalan yang dapat dilalui kendaraan dengan kecepatan 0-20 km per jam.

Menurut data BPS tersebut, pada 2021, panjang jalan di Indonesia mencapai 546.116 kilometer. Berdasarkan tingkat kewenangan pembinaan, jalan kabupaten/kota masih merupakan bagian terbesar, yaitu 444.548 kilometer, atau 81,4% dari total panjang jalan di Indonesia. Jalan negara dan jalan provinsi masing-masing 47.017 kilometer dan 54.551 kilometer, atau 8,61% dan 9,99%.

Apabila diperinci menurut kondisi jalan, 42,6% panjang jalan di Indonesia berada dalam kondisi baik, 25,49% dalam kondisi sedang, 16,01% dalam kondisi rusak, dan 15,9% dalam kondisi rusak berat. Dengan demikian, kondisi jalan rusak dan rusak berat mencapai 31,91%.

Cek Artikel:  Jokowi Lupa Jalan Pulang

Elok nian bila pemerintah pusat mengambil alih perbaikan jalan rusak dan rusak berat di kabupaten/kota yang mencapai 35,49%. Jalan rusak dan rusak berat tingkat provinsi cuma 23,31%, sedangkan jalan nasional yang rusak dan rusak berat mencapai 8,19%.

Mengambil alih perbaikan jalan rusak oleh pemerintah pusat sejatinya bukanlah gimik untuk merespons jalan rusak yang viral di media sosial. Akan tetapi, hal itu kewajiban pemerintah pusat untuk mempercepat peningkatan konektivitas jalan daerah sesuai amanat Inpres 3/2023 tertanggal 16 Maret 2023. Inpres itu mengatur perihal jalan di daerah.

Tak perlulah akrobatik turun sampai ke daerah sekadar memandang jalan yang rusak dan rusak parah sebab data jalan lubang menganga di seantero negeri ini sudah disiapkan BPS jauh-jauh hari. Gunakan saja data BPS yang sudah lengkap itu tanpa bikin sensasi di atas jalan rusak.

Mungkin Anda Menyukai