Kemerdekaan Hakim Eman

PUTUSAN hakim tunggal Eman Sulaiman yang menyatakan penetapan Pegi Taatwan, 27, sebagai tersangka kasus pembunuhan Vina dan Eki oleh Polda Jawa Barat tidak sah dan batal demi hukum seperti secercah cahaya bagi dunia hukum yang muram di Tanah Air. 

Kondisi hukum di republik ini, menurut mantan Menko Polhukam Mahfud MD, sudah menjadi industri hukum. Praktik kotor penegakan hukum dari hulu sampai hilir dikendalikan mafia hukum. Mereka mengatur siapa saja yang akan diuntungkan dalam proses hukum. Tentu saja dalam proses itu ada lembaran fulus di belakangnya. 

Vonis aneh-aneh dalam dunia peradilan, terutama kasus korupsi yang di luar nalar publik dan nurani hukum, semua diucapkan atas nama Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Pahamn 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi ‘demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’.

Selain fenomena industri hukum, fenomena peradilan sesat juga terjadi di Indonesia, negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sejarah peradilan sesat yang pernah mengguncang Tanah Air ialah kasus Sengkon dan Karta. Keduanya divonis bersalah membunuh Sulaiman dan istrinya (Siti Haya) dengan hukuman masing-masing 12 tahun dan 7 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Bekasi pada 1977. Belakangan diketahui pelaku pembunuhan bukan mereka. 

Cek Artikel:  Rupiah, Sungguh Terlalu

Peradilan sesat berangkat dari kesesatan hakim (rechterlijke dwaling) dalam memutuskan sebuah perkara. Hakim tidak cermat memeriksa perkara. Musababnya bisa karena kebodohan, penyuapan, tekanan, atau teror kepada sang hakim sehingga lahirlah vonisnya yang tidak adil dengan menghukum atau membebaskan orang secara salah. 

Ketukan palu Eman Sulaiman, hakim yang bertugas di PN Bandung sejak 5 Juli 2021, menepis anggapan bahwa hukum di negeri ini tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Eman mengabulkan seluruh gugatan pemohon kuasa hukum Pegi dalam sidang praperadilan terhadap Polda Jawa Barat. 

Bukan hanya kuasa hukum Pegi yang puas, kuasa hukum Polda Jawa Barat pun menerima dengan lapang dada putusan tersebut. Sebelumnya, Pegi Taatwan ditangkap pada 21 Mei 2024 di Bandung. Polisi menyatakan kuli bangunan itu ialah sosok Pegi Perong yang telah menjadi buron mereka selama delapan tahun dalam kasus pembunuhan Vina dan Eki di Cirebon, Jabar. 

Masyarakat yang memberikan atensi khusus dalam kasus itu menyambut putusan bebas Pegi dengan sukacita. Sejak awal, masyarakat dan sejumlah akademisi menilai kasus tersebut banyak kejanggalan. Alhasil, kepulangan putra sulung pasangan Rudi Irawan dan Kartini itu di Desa Kepompongan, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, disambut bak pahlawan. 

Cek Artikel:  Mewaspadai Cita-cita

Hakim memiliki kemerdekaan dalam putusannya. Palu hakim menentukan nasib orang yang beperkara di meja hijau. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kemerdekaan hakim tak hanya dibebaskan dari tekanan siapa pun, hakim juga bebas menemukan hukum baru (ijtihad) apabila ketentuan hukum positif belum menjangkau kasus yang ditanganinya. 

Hal itu tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Pahamn 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan ‘hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat’.

Atas nama kemerdekaan, hakim bisa menemukan hukum dan pembaruan hukum untuk menjadi yurisprudensi dan sumber hukum baru bagi hakim yang lain. Selain kepastian dan kemanfaatan,  puncak dari penegakan hukum ialah terciptanya keadilan. Terdapatgium hukum  iustitia fundamentum regnorum mengingatkan bahwa keadilan ialah nilai tertinggi dalam proses hukum. 

Eman adalah sosok yang langka dalam kekuasaan kehakiman (yudikatif) ketika puluhan hakim dari tingkat pengadilan negeri hingga Mahkamah Mulia dan Mahkamah Konstitusi tersandung praktik lancung. MA sebagai benteng terakhir keadilan pun telah bobol berkali-kali akibat beberapa hakim agung menjadi bagian dari praktik mafia peradilan. 

Cek Artikel:  Menyembelih Kemunafikan

Menurut warga di kampung Eman, Kaumjaya, Desa Puseurjaya, Kecamatan Teluk Jambe Timur, Karawang, Jabar, Eman ialah sosok yang sederhana. Dia lebih senang membaca buku dan aktif dalam kegiatan remaja masjid. 

Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Berdasarkan LHKPN pada 2 Januari 2024, Eman memiliki harta kekayaan sebesar Rp294.031.507 atau Rp294 juta. Selain aset berupa tanah dan bangunan, di garasinya, Eman hanya memiliki satu sepeda motor Honda Scoopy seharga Rp6.500.000. Apabila tidak punya utang sebesar Rp 480 juta, total harta Eman ialah Rp 774 juta.

Sejak awal sidang praperadilan kasus Pegi Taatwan, Eman menegaskan dirinya tidak memiliki kepentingan apa pun. Dia pun menjamin tidak akan ‘masuk angin’. Dia bertekad akan memberikan putusan terbaik. “Bukan terbaik untuk pemohon atau termohon, melainkan untuk Indonesia,” ujar Yang Mulia Hakim Eman. 

Hukum, kata John Locke, adalah dasar dari masyarakat yang beradab. Indonesia yang maju harus dimulai dari produk hukum yang beradab, bukan biadab. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai