Kemenparekraf: Tetap Banyak yang Kacau Wisata Halal sebagai Wisata Religi

Liputanindo.id LABUAN BAJO – Staf Ahli Pengembangan Bidang Usaha Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Masruroh menyatakan masih banyak yang rancu wisata halal sebagai sebagai wisata religi atau wisata Muslim

“Persepsi yang salah inilah yang menimbulkan ketakutan para pelaku usaha,” ujar Masruroh dalam puncak Festival Syawal 1445 Hijriah Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (8/5/2024).

Masruroh pun menekankan perlu komitmen dari para pelaku usaha untuk segera mengajukan sertifikasi halal demi mewujudkan wisata halal.

“Kemenparekraf terus memberikan pemahaman baik kepada industri maupun masyarakat, bahwa pariwisata halal ini bukan berarti meng-Islam-kan pariwisata, tetapi bagaimana pelaku usaha itu berkomitmen, boleh saja menyediakan produk halal dan nonhalal, yang penting di-declare (ada pernyataan) dengan baik kalau ada yang nonhalal,” paparnya.

Cek Artikel:  Pengusaha Indonesia Pelajari Strategi Bertahan Hadapi Ketidakpastian Bisnis

Masruroh menjelaskan, pariwisata halal pada dasarnya menekankan agar para pelaku wisata memberikan pelayanan kebutuhan dasar yang diperlukan oleh umat Islam.

“Padahal, intinya itu ada extended services atau pelayanan kebutuhan dasar untuk wisatawan Muslim ketika dia berwisata, makanan dan minuman halalnya harus disediakan, tempat ibadah, dan lain sebagainya,” imbuhnya.

Terdapatpun ada lima destinasi wisata prioritas yang para pelaku usahanya akan dikejar untuk mendaftarkan sertifikasi halal yakni Anggaranu Toba di Sumatera Utara, Borobudur di Jawa Tengah, Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur, Mandalika di Nusa Tenggara Barat, dan Likupang di Sulawesi Utara.

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Keyakinan RI juga telah mewajibkan produk makanan dan minuman; jasa penyembelihan dan hasil sembelihan; bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman untuk memiliki sertifikasi halal paling lambat pada 17 Oktober 2024.

Cek Artikel:  Pertamina dan Polres Ungkap Penyalahgunaan LPG Subsidi di Subang

Direktur Kemitraan dan Pelayanan Audit Halal LPPOM MUI Muslich mengemukakan bahwa tantangan sertifikasi halal selama ini yakni sosialisasi pada UMKM karena belum menjadi prioritas.

“Tantangan sertifikasi halal yang kita alami selama ini, kalau yang skala besar kan sudah punya sumber daya yang cukup, ini tidak menjadi persoalan, kalau yang kecil, UMKM kan bukan prioritas,” katanya.

Buat itu, senada dengan Masruroh, ia menekankan pentingnya komitmen bagi pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal.

“Sepanjang pemiliknya punya komitmen untuk sertifikasi, di spektrum barang dan jasa yang luas ini, pasarnya sangat potensial, dan wisata halal ini bisa berjalan dengan baik. Intinya komitmen itu penting,” kata Muslich. (HAP)

Cek Artikel:  Kemendag Ungkap Impor Sejadah dan Permadani Ilegal Senilai Rp10 Miliar

Mungkin Anda Menyukai