Kembalikan KPK pada Jalurnya

SETELAH memainkan drama dengan menggocek kepolisian dan publik melalui upaya mangkir dari pemeriksaan serta pengalihan opini, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri akhirnya bertekuk lutut. Firli ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya dalam kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Dengan demikian, Firli mencatatkan dirinya sebagai Ketua KPK pertama di Republik ini yang ditetapkan sebagai tersangka karena diduga memeras calon tersangka kasus korupsi. Atas tindakannya tersebut, Firli dianggap melanggar Pasal 12e, 12B, atau Pasal 11 Undang-Undang No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 KUHP.

Penetapan tersangka ini terasa kontras karena beberapa jam sebelumnya, mantan Kapolda Sumatra Selatan itu mendapatkan penghargaan khusus dari Kementerian Keuangan untuk kriteria lembaga yang sukses mengangkat pengelolaan barang milik negara (BMN) sebagai bagian dari strategi nasional pencegahan korupsi.

Cek Artikel:  Silaturahim Demi Konsolidasi Demokrasi

Firli melalui kuasa hukumnya, Ian Iskandar, sudah menyatakan keberatan atas penetapan status tersangka tersebut. Mantan Deputi Penindakan KPK itu pun berencana melakukan perlawanan hukum karena menilai penetapan tersebut terkesan dipaksakan.

Kasus yang membelit Firli sebenarnya bukan sesuatu yang mengagetkan. Sebelum kasus ini terungkap, sebagai Ketua KPK, Firli pernah beberapa kali dilaporkan kepada Dewan Pengawas (Dewas) KPK terkait dengan sejumlah dugaan pelanggaran etik.

Kasus-kasus itu mulai dari kontroversi naik helikopter mewah, tes wawasan kebangsaan (TWK) yang merontokkan 57 pegawai KPK, himne KPK, pemberhentian Brigjen Endar Priantoro dari Direktur Penyelidikan KPK, hingga dugaan pembocoran dokumen penanganan kasus korupsi di Kementerian ESDM. Hebatnya, Firli hampir selalu lolos dari sanksi etik Dewas KPK. Hanya sekali Firli terkena sanksi ringan berupa teguran tertulis dalam kasus naik helikopter milik perusahaan swasta saat perjalanan dari Palembang menuju Baturaja.

Cek Artikel:  Standar Ganda Penyelenggara Pemilu

Bahkan, ketika menjadi Deputi Penindakan KPK pada 2019 pun Firli Bahuri pernah diputus melakukan pelanggaran etik berat karena bertemu pihak yang kasusnya tengah diselidiki. Begitu itu, Firli terbukti bertemu Zainul Majdi yang akrab disapa Uzurn Guru Bajang (TGB) di saat KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont yang melibatkan Pemerintah Provinsi NTB.

Bukan mengherankan apabila masyarakat sipil dan gerakan antikorupsi sejak awal mempertanyakan mengapa aparat dengan reputasi seperti itu bisa lolos seleksi dan dilantik sebagai pimpinan tertinggi lembaga antirasuah. Bukan aneh pula apabila publik kemudian menduga pemilihan Firli sebagai Ketua KPK hanya sebagai upaya untuk ‘menggebuk’ lawan politik penguasa.

Publik pun sudah menyaksikan, dalam sejumlah kasus yang diduga melibatkan elite di tingkat pemerintah pusat, KPK di masa Firli cenderung melempem. Sebaliknya untuk kasus yang melibatkan lawan politik atau kasus yang cenderung remeh-temeh yang melibatkan kepala daerah dan anggota DPRD, KPK begitu bertaji.

Cek Artikel:  Independensi Parpol Jangan Diobok-obok

Dengan kondisi KPK seperti saat ini, kita tentu berharap kepada para elite politik agar lembaga ini dikembalikan ke khitahnya sebagai alat pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Eksperimen Presiden Joko Widodo dan DPR untuk memilih Firli yang sebelumnya memang sudah bermasalah untuk memimpin KPK telah gagal.

Ke depan, pilihlah calon pimpinan KPK dari kalangan yang benar-benar berkeinginan memberantas praktik busuk tersebut. Bukan pimpinan yang rekam jejaknya abu-abu, serta sekadar punya kemauan menyediakan diri sebagai penggebuk lawan politik.

Era kepemimpinan KPK yang merontokkan kepercayaan mesti segera diakhiri. Karena itu, jangan pernah main-main dan serampangan merekrut pimpinan komisi antikorupsi agar kasus Firli tidak pernah terulang lagi.

Mungkin Anda Menyukai