Kemaruk

LAGI heboh-hebohnya polemik di ruang publik tentang isu dinasti politik ala Presiden Joko Widodo, secara tidak sengaja sebuah tayangan film pendek mampir di layar Youtube dan langsung mencuri perhatian saya. Judulnya Sinema Pendek II Kemaruk, diunggah oleh akun anaknegeri indonesia. Meskipun sederhana dari sisi penggarapan maupun latar belakang, film yang menurut krjogja.com digarap sutradara Ambar Wiyanto itu sangat cocok menggambarkan situasi perpolitikan nasional terkini.

Sesuai kategorinya sebagai film pendek, film produksi 2020 tersebut cuma berdurasi 18 menit lebih sedikit. Setting-nya juga sangat lokal, menceritakan kejadian di sebuah desa, sepertinya di daerah pinggiran Yogyakarta atau Jawa Tengah. Tetapi, kesahajaan durasi waktu dan latar itu tidak membuat tontonan tersebut kehilangan pesan. Sinema itu mampu mendeskripsikan betapa tidak eloknya upaya melanggengkan kekuasaan dengan segala cara yang diinisiasi oleh sifat kemaruk alias serakah.

Dikisahkan dalam film itu, sebuah desa sebentar lagi akan menggelar suksesi alias pemilihan kepala desa (pilkades). Asal Anda tahu, dalam tradisi di perdesaan, aroma kompetisi politik dalam kontestasi pilkades tak kalah keras daripada pilkada atau pilpres sekalipun. Pilkades serupa pilpres dalam versi miniatur. Polemik, intrik, bahkan akrobat politik yang sering kita saksikan di level nasional, sesungguhnya sering pula tersaji di pilkades.

Cek Artikel:  Menyembelih Kemunafikan

Misalnyanya ada di film singkat ini. Sang kepala desa, yang tampaknya masih berambisi untuk berkuasa, tidak boleh lagi ikut kontestasi karena terganjal aturan pembatasan masa jabatan. Tetapi, dengan dalih bahwa masyarakat masih membutuhkan kepemimpinannya dan program-program yang sudah dia jalankan harus ada keberlanjutan, syahwat Pak Kades untuk tetap mengontrol kekuasaan pun tak bisa dibendung.

Dalam prinsip Pak Kades, boleh saja dia tidak bisa memegang langsung kekuasaan desa itu lagi, tapi minimal dia harus bisa mengendalikannya melalui kerabat atau keluarganya. Maka, ia menyorongkan istrinya untuk maju dalam pencalonan. Sang istri awalnya menolak karena menyadari dia tak punya kapasitas untuk itu dan malu jadi cibiran warga. Akan tetapi, lama-lama ia menyerah setelah sang suami terus merayu dan mendesaknya.

Pada titik itulah sejatinya Pak Kades sedang membangun dinasti politik desanya. Agar proses pembangunan dinasti lancar, aral-aral mesti disingkirkan. Gulma-gulma harus dibersihkan. Satu kaki mengangkat sang istri, kaki lainnya menginjak para penentangnya. Dengan menggunakan kekuasaannya, kades mulai menyerang calon lainnya. Kampanye hitam disebar ke warga desa untuk memukul pesaing dengan harapan istrinya bisa melenggang memenangi kompetisi.

Cek Artikel:  Politik Secukupnya Silaturahim Seterusnya

Ya, seperti itulah harga sebuah dinasti politik. Harga mahal untuk satu kekemarukan politik. Buat dapat mendirikannya, jangan harap tangan kita bisa tetap bersih. Buat bisa mengerek satu sosok (yang seharusnya tidak atau belum layak untuk diangkat), pasti ada pihak lain yang lebih pantas akan dibenamkan, ada sosok lain yang harus dipinggirkan. Lebih parah lagi, ada kepentingan rakyat yang dikorbankan.

Nah, kalau di film ada Pak Kades, di dunia nyata ada ‘Pak Lurah’. Julukan Pak Lurah selama ini banyak diasosiasikan dengan Presiden Jokowi. Dalam konteks nasional hari ini, apa yang dilakukan Pak Kades di Sinema Pendek II Kemaruk itu persis seperti yang sedang dilakukan Jokowi. Ia juga diduga tengah membangun dinasti politik demi mengamankan kendali kekuasaan tetap di tangan orang dekatnya.

Bedanya, kalau Pak Kades membangun dinasti melalui istrinya, ‘Pak Lurah’ memilih melalui anak-anak dan menantunya. Yang membedakan lagi, ‘Pak Lurah’ sudah menyiapkan fondasi dinastinya sejak tiga tahun sebelumnya ketika anak sulungnya ia promosikan menjadi Waki Kota Surakarta, dan menantu laki-lakinya menjadi Wali Kota Medan. Ibarat membangun rumah, kalau fondasinya sudah ada, tentu proses konstruksi selanjutnya akan lebih mudah.

Cek Artikel:  Kaya sebelum Uzur

Karena itu, buat yang mengikuti manuvernya sejak awal, pendaftaran Gibran Rakabuming Raka, sang putra Presiden, sebagai cawapres mendampingi capres Prabowo Subianto ke KPU, kemarin, barangkali sudah tidak terlalu mengagetkan. Melajunya Gibran boleh dimaknai sebagai buah dari kukuhnya persiapan dan fondasi dinasti yang sudah disiapkan sejak awal.

Kini tinggal menunggu hasil akhirnya saja nanti pada Pilpres 2024. Apakah Gibran dengan keunggulan popularitas dan kekuatan kekuasaan yang masih dipegang sang ayah mampu membuat rakyat terbujuk dan melupakan racun dinasti politik yang sesungguhnya telah mencemari prinsip demokrasi dan meritokrasi?

Atau malah sebaliknya, boleh jadi ia akan bernasib seperti istri Pak Kades dalam film yang akhirnya ditinggalkan warga karena mereka enggan mendukung dinasti politik nirkapabilitas. Kita nantikan saja.

Mungkin Anda Menyukai