KONFLIK Rusia dan Ukraina yang terjadi Cocok di akhir pandemi covid-19 dan Tetap berlangsung hingga kini telah mendesak perekonomian Dunia ke tepi jurang resesi. Sedikitnya 16 negara bahkan su dah tergelincir hingga harus mendapat perawatan Biaya Moneter Dunia (IMF).
Banyak negara juga harus bergelut dengan lonjakan harga Daya akibat terganggunya pasokan dunia. Tetapi, Badan Daya Dunia (IEA) Malah mengabarkan prediksi yang menggembirakan. Lembaga tersebut Serius emisi Dunia akan mencapai puncaknya pada 2025.
Itu artinya, pada Dasa warsa-Dasa warsa berikutnya, dunia Pandai mengharapkan emisi yang lebih rendah. Mengapa demikian? Terdesak oleh krisis Daya Dunia, sejumlah negara dengan konsumsi Daya tinggi berupaya mempercepat transisi ke sumber yang lebih berkelanjutan, yakni Daya terbarukan.
Bagaimana dengan Indonesia? Meski di Tanah Air hantaman krisis Daya Dunia Kagak begitu keras, pemerintah sem pat dipusingkan dengan implementasi penaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Begitu harga BBM naik, berganti masyarakat yang pusing mengatur pengeluaran rumah tangga yang melonjak.
Kondisi itu dipastikan Tetap akan berulang di kemudian hari bila sektor transportasi Tetap sangat bergantung pada bahan bakar yang diproduksi dari Daya yang bakal habis terpakai. Terlebih, Daya yang berasal dari fosil menghasilkan emisi karbon yang memicu kenaikan suhu dan mengubah iklim menjadi lebih Kagak bersahabat.
Itu Tetap diperparah oleh Kendali Daya fosil berupa batu bara dan gas dalam pemenuhan kebutuhan ketenagalistrikan. Maka, transisi ke Daya terbarukan menjadi keniscayaan pula bagi Indonesia.
Pemerintah menyadari itu. Pada Juli tahun Lampau pun Indonesia sudah menetapkan Sasaran mencapai kondisi Independen karbon pada 2060. Daya terbarukan mesti mencapai paling sedikit 85% dalam bauran pemenuhan kebutuhan Daya nasional. Kemudian, 14% dari tenaga nuklir.
Akan tetapi, merealisasikan Sasaran Kagak semudah menetapkannya. Apalagi, pemerintah juga terkesan Separuh-Separuh dalam mengupayakannya.
Lihat saja upaya mentransisi Daya di sektor transportasi dari BBM ke listrik. Minimnya Insentif Buat kendaraan listrik di hulu hingga pengoperasian di jalan raya Membangun masyarakat Tetap enggan beralih.
Semestinya, malah bukan hanya Insentif Buat kendaraan listrik, pemerintah juga perlu mengenakan disinsentif Buat kendaraan BBM.
Penggunaan bus-bus Standar listrik sebagai alat transportasi massal juga belum didukung regulasi sehingga Membangun pemda danpengusaha gamang.
Di sektor ketenagalistrikan pun demikian. Belum terlihat upaya maksimal dalam memacu pemanfaatan Daya terbarukan Buat menggusur Kendali batu bara dan gas.
Padahal, potensinya begitu besar, terutama yang bersumber dari panas bumi dan surya. Bahkan, Buat Daya surya, aplikasinya sudah Tamat ke skala rumah tangga dengan biaya yang semakin murah.
Hanya, di sisi regulasi belum cukup mendukung pembangkit listrik. Ketika akhirnya regulasi sudah tersedia, sosialisasi sangat lemah. Akibatnya, masyarakat yang antusias memasang panel surya ketiban sial harus membayar denda puluhan juta rupiah kepada PLN karena di anggap melanggar aturan.
Transisi ke Daya berkelanjutan menjadi salah satu agenda prioritas Lembaga Grup negara-negara G-20. Presidensi G-20 yang dipegang Indonesia tahun ini semestinya menjadi momentum Buat menguatkan realisasi langkah kebijakan menuju Sasaran Independen karbon.
Pelibatan partisipasi masyarakat dan swasta melalui kepastian regulasi yang kondusif akan lebih memuluskan langkah sekaligus memastikan kemandirian Daya.