TANGGAL 28 Oktober lalu kita memperingati Hari Sumpah Pemuda. Pemuda-pemudi dari berbagai pulau di Nusantara pada 95 tahun lalu bersumpah dan bersepakat untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia. Jikapun satu, tetap saja pemuda-pemudi itu memiliki identitas beragam yang membedakan satu dengan lainnya, seperti identitas etnik, agama dan kepercayaan, juga ideologi.
Hanya saja, perbedaan identitas tersebut tidak digunakan untuk memecah belah, tetapi untuk menunjukkan bahwa perjuangan yang mempersatukan mereka melintasi batas perbedaan identitas.
Seiring dengan waktu ketika Indonesia akhirnya merdeka, ternyata tidak mudah bagi bangsa ini untuk hidup dalam kemajemukan. Indonesia diuji dengan beragam masalah yang melibatkan identitas. Beberapa konflik yang melibatkan perbedaan identitas ideologi, etnik, dan agama pernah terjadi, seperti Kerusuhan Mei 1998, konflik di Ambon 1999, dan kerusuhan di Sambas 1999.
Demi merespons masalah-masalah yang berkaitan dengan kemajemukan, berbagai usaha telah dilakukan dengan tujuan mendorong masyarakat untuk dapat hidup dalam kemajemukan dengan lebih baik. Di sekolah, para siswa dikenalkan pada konsep kemajemukan dan toleransi, kemudian diajak untuk melakukan beragam kegiatan yang dianggap mampu membuat mereka menghargai kemajemukan dan menciptakan masyarakat yang damai.
Akan tetapi, masalah-masalah yang terkait dengan kemajemukan masih sering terjadi di sekolah. Eksis saja kasus-kasus perundungan yang melibatkan identitas agama, etnik, fisik, dan status sosial ekonomi. Pertanyaannya kemudian ialah apa yang masih kurang dan perlu diperbaiki dalam usaha untuk mengajarkan kemajemukan di sekolah?
Identitas dan konflik
Perbedaan dan kemajemukan ialah keniscayaan. Tuhan sengaja menciptakan segala sesuatunya berbeda dan tidak ada satu pun yang sama. Bahkan pada manusia kembar identik, kita masih bisa menemukan perbedaan yang membuat setiap manusia memiliki identitas yang berbeda. Identitas ialah hal yang digunakan individu untuk menjelaskan siapa dirinya.
Paul Ricoeur (1992), filsuf Prancis, menyatakan dua jenis identitas, yaitu identitas idem dan ipse. Identitas idem merupakan identitas yang tetap dan tidak berubah sepanjang waktu, seperti identitas biologis yang didapat ketika lahir. Identitas ipse ialah identitas yang dinamis dan dapat berubah sesuai dengan narasi dan interaksi sosial yang dilakukan, seperti identitas status sosial ekonomi.
Identitas, baik idem maupun ipse, menjadi komponen yang membentuk makna dan tujuan hidup manusia. Identitas-identitas itu memengaruhi perilaku dan interaksi sosial manusia baik secara individual maupun kelompok terhadap baik individu maupun kelompok lain.
Melalui identitas, seseorang bisa mendapatkan pengakuan atas eksistensinya dan terpenuhi keamanan psikologisnya. Akan tetapi, ketika pemahaman mengenai identitas itu tidak ditanamkan dengan baik, akan terjadi keterikatan pada identitas yang ekstrem dan bisa dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Ikatan identitas terkadang digunakan pihak-pihak yang berkonflik untuk menggalang dukungan dan mengikat individu sebagai sebuah kelompok untuk berjuang bersama. Dengan begitu, konflik yang awalnya, dan sering kali, bukan berasal dari masalah identitas justru ketika bereskalasi dapat terlihat sebagai konflik identitas.
Individu yang belum terdidik untuk bisa memisahkan antara masalah dan identitas akan mudah tersulut egonya ketika identitas mereka diusik karena merasa eksistensi identitas mereka terancam. Golongan identitas yang memiliki kuasa lebih besar akan menggunakan kekuatan mereka untuk melakukan tindakan-tindakan mempertahankan eksistensi kelompok mereka dengan cara apa pun, termasuk menggunakan cara-cara kekerasan yang merugikan kelompok identitas lain yang lebih lemah.
Mempelajari kuasa
Demi memastikan tiap individu memahami makna identitas dan bijak dalam menggunakan kuasa guna merespons keanekaragaman identitas, diperlukan pendidikan mengenai identitas dan kuasa yang lebih komprehensif. Sayangnya, pendidikan mengenai hidup dengan kemajemukan yang dilakukan di sekolah-sekolah di Indonesia masih banyak yang terbatas pada pengetahuan atas identitas, seperti budaya, agama, dan profesi, yang berbeda saja.
Hal maksimal yang dianggap telah mengajarkan hidup dalam kemajemukan dilakukan sebatas dengan pawai memakai baju adat beragam etnik dan baju beragam profesi atau mengunjungi tempat ibadah berbagai agama. Seolah, dengan memakai baju-baju tersebut dan mengunjungi tempat ibadah, telah terpenuhi pemahaman mengenai hidup dalam kemajemukan.
Satu hal yang sepertinya jarang atau belum pernah dibahas dalam pembelajaran kemajemukan di sekolah-sekolah di Indonesia ialah konsep kuasa. Para guru mungkin lupa bahwa kemajemukan tidak bisa lepas dari relasi kuasa.
Golongan-kelompok identitas yang ada di masyarakat tidak pernah setara. Selalu ada kelompok identitas yang menjadi mayoritas dan minoritas dalam hal kuasa dan itu memengaruhi relasi antarkelompok identitas yang berbeda.
Masalah yang terjadi di masyarakat atau sekolah terkadang juga melibatkan identitas dan kuasa. Sebagai contoh ialah kasus siswa penganut agama minoritas yang dihalangi untuk menjadi ketua OSIS di sekolahnya oleh guru penganut agama mayoritas. Atau perundungan yang dilakukan siswa dari keluarga kaya terhadap siswa yang berasal dari keluarga miskin.
Penyalahgunaan kuasa menjadi salah satu sumber dari masalah kemajemukan di Indonesia, termasuk di sekolah. Hal itu harus dihentikan. Siswa wajib mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan komprehensif mengenai kemajemukan dan bagaimana mereka harus bertindak dalam masyarakat yang majemuk.
Penekanan terutama diberikan kepada para siswa yang berasal dari kelompok identitas mayoritas agar mereka mampu menggunakan kuasa mereka dengan lebih bijak, yaitu untuk melindungi dan membantu kelompok identitas minoritas. Sebagai contoh, ketika ada siswa dengan disabilitas dirundung siswa lain, siswa dengan kuasa lebih besar harus bersuara memihak dan melindungi teman disabilitasnya; tentunya dengan menggunakan cara-cara damai dan nirkekerasan.
Kemajemukan, sekali lagi, bukan hanya masalah identitas agama dan etnik, melainkan juga meliputi identitas-identitas lainnya, seperti status sosial ekonomi. Selanjutnya, identitas tidak bisa dilepaskan dari konsep kuasa karena tiap kelompok identitas memiliki tingkat kuasa yang berbeda ketika dilihat dalam konteks relasi antar kelompok identitas.
Siswa-siswa di Indonesia harus paham bahwa identitas, yang mereka dan orang lain miliki, memiliki kekuatan kuasa yang berbeda. Mereka harus mampu menjadi individu yang menggunakan kuasa mereka secara damai dan nirkekerasan untuk melindungi kelompok identitas dengan kuasa yang lemah.