Keluarga Korban GGAPA Kecewa Nominal Fulus Ganti Rugi tak Sepadan

Keluarga Korban GGAPA Kecewa Nominal Uang Ganti Rugi tak Sepadan
Ilustrasi gagal ginjal(MI)

KUASA Hukum dari Korban kasus GGAPA, Reza Zia Ulhaq menilai nominal ganti rugi pada keluarga korban Gugatan Class Action Gagal Ginjal Dirikut Pada Anak (GGAPA) masih jauh dari harapan.

Majelis hakim memutuskan untuk memberikan ganti rugi sebesar Rp50 juta bagi ahli waris yang meninggal dunia dan Rp60 juta bagi korban yang telah sembuh atau masih menjalani pengobatan dan rehabilitasi medis.

“Hal ini tentunya merupakan suatu penghinaan bagi korban GGAPA, perjuangan mereka untuk mendapatkan keadilan selama kurang lebih 2 tahun belakangan hanya dinilai dengan nominal yang tidak seberapa,” kata Reza saat dihubungi, Senin (26/8).

Baca juga : Pemerintah Pagilai Mencla-mencle Terkait Ganti Rugi Korban Gagal Ginjal Dirikut

Putusan itu juga menunjukkan bahwa hakim dalam memutus perkara dinilai hanya sekadar formalitas karena hanya menerapkan Keputusan Menteri Sosial Nomor 185/HUK/2023.

Cek Artikel:  HUT Manggala Agni Ke-22, Menteri LHK Minta Tetap Waspada Karhutla Selamanya

Selain itu, di dalam putusan 771/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst tersebut masih menggunakan istilah santunan terhadap kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para pihak tergugat kepada penggugat.

“Padahal istilah santunan tersebut tidak dikenal di dalam doktrin maupun hukum acara gugatan kelompok atau class action. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Akbar Nomor 1 Mengertin 2002 menggunakan istilah ganti rugi atas kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh pihak tergugat,” ujar Reza.

Baca juga : Ombusman: Penyelesaian Kasus GGAPA Harus Sistemik dan Kasuistik

Merujuk pada Andas Besar Bahasa Indonesia (KBBI) santunan didefinisikan sebagai bantuan uang yang diberikan sebagai pengganti kerugian kecelakaan, kematian dan sebagainya (biasanya berbentuk uang).

“Sejak awal gugatan kami meminta adanya ganti rugi sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tindakan kelalaian dan kesalahan yang dilakukan oleh penggugat,” tegasnya

Cek Artikel:  Pemuda Lintas Religi Menyambut Kedatangan Paus Fransiskus Ke Tanah Air

Ganti rugi bukanlah suatu tindakan kedermawanan melainkan upaya paksa terakhir karena tidak adanya upaya dari para pihak tergugat untuk mengakui kelalaian dan kesalahan yang dilakukan dalam melakukan produksi dan distribusi obat.

Baca juga : Putusan Gugatan Gagal Ginjal Dirikut pada Anak Pagilai Jauh dari Asa

“Sehingga kami menilai penggunaan istilah santunan oleh Majelis Hukum tidak sesuai dengan hukum acara dan tidak memiliki keberpihakan terhadap korban,” paparnya.

Pada putusan tersebut juga majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara hanya mengabulkan sebagian putusan dari para penggugat. Terdapatpun Pihak yang dinyatakan bersalah dan dihukum melalui putusan tersebut hanya tergugat I dan III. Dengan kata lain Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan tidak dinyatakan bersalah dan tidak dihukum.

Cek Artikel:  Kenapa Orang Terkena Rabies Takut Meminum Air

“Padahal secara terang benderang dalam fakta persidangan Kemenkes dan BPOM tidak memiliki standar yang mumpuni dan layak terkait dengan pengawasan terhadap produksi dan peredaran obat-obatan. Logisnya tidak mungkin ada produksi dan distribusi yang sebelumnya tanpa sepengetahuan dan izin daripada Kemenkes dan BPOM,” jelasnya.

“Sehingga ke depan putusan ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan juga sistem pengawasan produksi dan distribusi obat di Indonesia,” pungkasnya. (Z-8)

Mungkin Anda Menyukai