AKHIR-AKHIR ini di Indonesia, narasi tentang perempuan sering terkait dengan kekerasan seksual yang mereka alami. Ini sebenarnya tidak baru sama sekali seiring maraknya semangat feminisme dalam beberapa dekade terakhir. Tapi yang menjadi sorotan dalam tulisan ini ialah, kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas. Golongan ini sering luput dari perhatian dan analisa para pengambil kebijakan dan pembuat undang-undang.
Faktanya, perempuan disabilitas inilah yang paling rentan mengalami kekerasan, seperti kekerasan seksual, diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan dalam berbagai bentuk.
Bahkan, perempuan penyandang disabilitas psikososial ini juga rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi yang tumpang tindih. Mereka umumnya adalah kelompok minoritas yang miskin dan lemah. Karena keterbatasan fisik itu, maka mental dan intelektual mereka tak bisa berbuat apa-apa. Beban itu semakin diperparah oleh stereotipe dan sistem budaya kita, yang masih menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi dan marginalisasi, sebuah posisi yang memang harus dikuasai.
Baca juga : Takut Info Casting Hanya Penipuan, Irma Rihi Sempat Ragu Bermain di Sinema Women From Rote Island
Hal ini dibenarkan oleh catatan Pahamnan Komisi Nasional Anti kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Disebutkan bahwa, sejak tahun 2014 hingga 2022 terdapat 586 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan penyandang disabilitas, 34 kasus di antaranya dialami oleh perempuan disabilitas psikososial.
Secara rinci, 31 kasus kekerasan seksual dialami penyandang disabilitas rungu-wicara, 22 kasus dialami penyandang disabilitas intelektual, dan 14 kasus dialami penyandang disabilitas mental. Mayoritas korban merupakan perempuan dengan jumlah 76 orang. Usia korban paling banyak antara 15-19 tahun (Kompas.id, 10/4/2023).
Pembuat undang-undang
Apa yang mau dikatakan dengan angka-angka tersebut? Tentu secara gamblang menunjukkan, bahwa kasus kekerasan pada perempuan disabilitas terus meningkat setiap tahun. Lantas, dimana peran pemerintah?
Baca juga : Ini Jurus Anies Atasi KDRT dan Kekerasan Seksual
Pemerintah dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat memang telah melahirkan Undang-undang Nomor 12 Pahamn 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-undang ini membuka ruang lebih besar bagi penanganan yang lebih optimal terhadap kasus kekerasan seksual, dan lebih banyak menyorot pemenuhan hak korban, tidak terkecuali korban perempuan disabilitas (SAPDAJOGJA.org).
Undang-undang ini lahir dari keprihatinan masyarakat terhadap perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual, diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan lainnya. Sebelum UU TPKS disahkan, kekerasan seksual dipandang sebagai kejahatan terhadap kesusilaan dan persoalan moralitas.
Karena pandangan tersebut, seringkali kasus kekerasan seksual hanya diselesaikan secara privat, dilakukan di luar proses hukum dengan mekanisme sosial seperti membayar denda kepada korban, ganti rugi, dan proses adat pada daerah atau wilayah tempat korban tinggal.
Baca juga : Hari Ibu Jangan Jalan di Tempat
Tetapi solusi seperti itu jauh dari cukup bagi korban yang mengalami kekerasan. Mereka mengalami ketakutan, depresi, trauma dan bahkan gangguan jiwa. Apalagi jika korban tidak didampingi secara efektif. Begitu pun korban penyandang disabilitas, yang seringkali dianggap tak ‘memahami’ apa itu pemerkosaan, pelecahan, kekerasan dan tidak mungkin melakukan perlawanan. Hal ini kemudian, berdampak pada lemahnya penanganan kasus-kasus yang mereka alami.
Advokasi dan pencerahan
Keadaan ini tentu tidak biasa-biasa, bahkan darurat. Oleh karena itu, Komnas Perempuan bersama Asosiasi Pusat Studi Perempuan/Gender dan Anak Indonesia hingga para aktivis perempuan, pada tahun 2012 telah menginisiasi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), yang pada mulanya bernama Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Setelah menanti selama 10 tahun akhirnya RUU TPKS resmi disahkan menjadi UU TPKS, tepatnya 12 April 2022.
Pertanyaannya ialah bagaimana implementasi UU TPKS terhadap penyandang disabilitas selama dua tahun sejak disahkannya? Realitanya, kasus kekerasan seksual pada penyandang disabilitas masih tinggi. Hal ini sangat memprihatinkan. Banyak kasus kekerasan seksual pada perempuan disabilitas yang belum terungkap ke publik, karena kurangnya wadah yang tidak bisa dijangkau oleh korban khususnya wilayah-wilayah sulit dan terpencil.
Baca juga : UU TPKS Jamin Hak Korban untuk Mengakses Proses Hukum dan Arsip Hasil Penanganan
Keterbatasan fisik seperti cacat atau keterbatasan lainnya membuat mereka tak mampu berbicara secara terbuka, cenderung menutupi kasus yang dialami, takut melapor, dan pendampingan yang kurang.
Di sisi lain masih terdapat kasus yang sudah diungkap namun hambatan data yang tidak jelas, saksi yang belum sepenuhnya berani memberi keterangan, dan aparat penegak hukum belum memiliki pemahaman akurat dan jelas tentang disabilitas. Kesaksian korban sering tidak dipercaya oleh aparat penegak hukum. Hal inilah, yang membuat kasus tersebut lamban diselesaikan bahkan cenderung diabaikan.
Dari pengamatan saya di lapangan, Undang-undang TPKS sendiri memang lebih mengarah kepada pemenuhan hak-hak korban. Konkretnya, hak-hak korban seringkali tidak diperhatikan. Penyandang disabilitas masih terhegemoni baik secara kultural maupun struktural.
Baca juga : Maklumat Politik Ulama Perempuan, Alissa Wahid: Calon Pemimpin Harus Memastikan Keadilan Seutuhnya
Persepsi-persepsi ini tentu berimplikasi pada pemenuhan hak-hak mereka sebagai perempuan. Apalagi, dalam kerangka mengimplementasi kebijakan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas.
Lewat apa yang diharapkan dalam kondisi demikian? Memang tertinggal cuma satu yaitu terus menerus secara konsisten mengadakan advokasi dan pencerahan terhadap ruang-ruang yang perlu diperhatikan dari UU TPKS tersebut.
Komnas Perempuan bersama LSM dan organisasi-organisasi terkait selama ini terus mendorong aparat penegak hukum yang masih kurang merepresentasikan UU TPKS, dan melibatkan langsung kelompok-kelompok kunci agar membuat pendataan-pendataan di lapangan sehingga menjadi laporan yang valid kepada penegak hukum.
Herdiana Randut
Member of Woke Asia Feminist dan Personil Komunitas Puandemik Indonesia