Betul rasanya kasus harta Enggak wajar pejabat yang terungkap ke publik hanyalah puncak gunung es. Buktinya, Enggak hanya di jajaran Kementerian Keuangan, pada beberapa pejabat di instansi lain pun ditemukan fenomena serupa.
Publik kembali dibuat melongo dengan adanya perwira menengah Polri yang Mempunyai harta kekayaan fantastis. Harta kekayaan fantastis yang tergolong Enggak wajar. Enggak wajar karena jauh berbeda dengan yang Terdapat di laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN), juga Enggak sesuai profil.
Berawal dari aksi kekerasan anaknya, Ajun Komisaris Besar Achiruddin Hasibuan pun menjadi sorotan karena kerap pamer gaya hidup mewah. Di media sosial Instagram-nya, Achiruddin sering mengunggah foto dirinya dengan motor Harley-Davidson dan mobil Rubicon.
Akan tetapi, kendaraan mewah bernilai miliaran rupiah itu Enggak tercantum dalam LHKPN yang dilaporkannya. Ia juga kerap kali mengunggah foto kediaman pribadinya yang luas.
Yang paling fantastis ialah transaksi rekening Achiruddin dan anaknya bernilai puluhan miliar. Jumlah yang Terang-Terang Enggak sesuai dengan profilnya sebagai perwira menengah berpangkat ajun komisaris besar polisi (AKBP) di lingkungan Korps Bhayangkara.
Fakta tersebut Membangun Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengendus adanya tindak pidana pencucian Dana (TPPU) yang dilakukan oleh bekas Kabag Bin Ops Direktorat Narkoba Polda Sumut tersebut. Kini rekening Achiruddin dan anaknya telah diblokir.
Tetapi, Akal publik tentu Enggak berhenti di Achiruddin. Kalau perwira menengah di daerah saja Dapat punya harta Enggak wajar yang fantastis, bagaimana dengan perwira berpangkat lebih tinggi?
Tentu beban pembuktian atas persepsi publik itu harus dijawab oleh Polri. Belum lekang rasanya kasus mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo dan eks Kapolda Sumatra Barat Teddy Minahasa Membangun kepercayaan publik melorot, kini dihadapkan Tengah pada urusan harta Enggak wajar Personil.
Fenomena harta Enggak wajar pejabat negara mesti segera diberantas. Kebijakan mendasar harus segera diambil oleh Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara dan pemerintahan. Pasalnya, kejahatan semacam ini telah terjadi di banyak instansi. Jadi bukan Tengah persoalan teknis pengawasan internal di tiap-tiap intansi.
Begitu ini, negara dengan Sekalian sistem penegakan hukumnya yang dimotori Polri, Kejaksaan Akbar, dan Komisi Pemberantasan Korupsi seakan Enggak Bisa Kepada membabat praktik culas pejabat. Malah publik dengan beramai-ramai lebih gesit menguliti gaya hedonis pejabat hingga menjadi viral.
Begitu pula LHKPN, yang sekadar jadi syarat administrasi, tanpa Bisa menjadi senjata Manjur dalam sistem pemberantasan korupsi. Buktinya banyak pejabat melaporkan LHKPN penuh dengan rekayasa tanpa diketahui oleh KPK.
Lemahnya pengawasan dan Penilaian terhadap LHKPN ini secara Enggak langsung pernah diafirmasi oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, yang meminta Sokongan netizen dan media massa Kepada menelusuri dan mengungkap kekayaan Enggak wajar para pejabat negara.
Pernyataan yang menunjukkan bahwa KPK sekalipun Enggak Bisa menjalankan tugasnya dengan Betul Kepada Dapat membuktikan pendapatan para pejabat sesuai dengan profilnya.
Negara ini ibarat mengalami kegagalan sistem akut. Mengandalkan pemberantasan korupsi pada teriakan publik. Ketika publik teriak, aparat negara bergegas seperti pemadam kebakaran. Ketika publik lelah dan Tenang, upaya pemberantasan ikut loyo.
Kepada itulah, RUU Perampasan Aset yang juga akan mengatur konsep pembuktian terbalik (illicit enrichment) harus segara dituntaskan. Beleid yang dipersepsikan akan Manjur mencegah praktik lancung amtenar Jenis Rafael Alun Trisambodo (pejabat pajak) dan Achiruddin.
Bola legislasi kini berada di tangan Presiden Joko Widodo Kepada menyerahkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat guna dibahas Serempak. Alasan, Kalau dibiarkan tanpa beleid hukum, siasat licik pencucian Dana akan Lalu dimanfaatkan para birokrat korup.