Kebocoran Data Kagak Terbendung


KERAP menjadi pertanyaan banyak pihak apakah sejatinya Indonesia sudah siap menghadapi era digitalisasi dan keterbukaan informasi atau belum. Pertanyaan itu selalu mengganggu dan, celakanya, Lanjut menemukan relevansinya ketika berbagai kasus kebocoran data informasi Punya pribadi/publik ataupun data Punya negara berkali-kali terjadi.

Nyatanya negara ini memang belum Pandai mengupayakan perlindungan data publik secara maksimal. Negara lebih sering Kagak berdaya ketika pihak lain dengan begitu gampang dan seringnya memanen data diri warganya. Lebih memiriskan Tengah, data yang bocor itu lebih banyak bersumber dari data-data yang Terdapat instansi pemerintah.

Kita tentu Kagak lupa pada 2021 Lewat, sebanyak 279 juta data peserta BPJS Kesehatan diduga bocor. Kagak tanggung-tanggung, yang bocor ialah data nomor induk kependudukan (NIK), nama, alamat, e-mail , bahkan Tiba foto pribadi. Data-data tersebut kemudian diduga diperjualbelikan.

Tahun sebelumnya, Komisi Pemilihan Lazim (KPU) juga melaporkan dugaan bocornya data jutaan daftar pemilih tetap (DPT). Di tahun yang sama, Terdapat pula laporan bahwa 1,3 juta data pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bocor meskipun kemudian dibantah oleh kementerian.

Cek Artikel:  Pendidikan Mahal Mesti Dievaluasi

Tahun Lewat kita dihebohkan Tengah dengan pembocoran data oleh seorang peretas yang mengaku bernama Bjorka. Data di sejumlah instansi, Bagus lembaga pemerintah maupun korporasi, dibobol dan dibocorkan. Bahkan, bukan Sekadar data pribadi Kaum Indonesia yang dibocorkan, melainkan juga data surat dan Arsip rahasia dari Badan Intelijen Negara (BIN) Kepada Presiden Joko Widodo.

Belakangan Bjorka  diduga berulah Tengah dengan membocorkan data 34 juta paspor Kaum negara Indonesia (WNI). Seperti kebiasannya, data yang bocor itu kemudian diperjualbelikan. Tetapi, seperti Normal pula, pihak yang terkait, dalam hal ini Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM membantah. Mereka menyebut Kagak mau berandai-andai soal kebocoran itu sebelum Terdapat hasil penyelidikan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Cek Artikel:  Produk Lokal Terpental

Kebocoran data yang Lanjut berulang itu sesungguhnya merupakan petaka. Ini persoalan serius karena ujungnya akan terkait juga dengan keamanan serta kedaulatan negara. Tetapi, anehnya, sering dianggap Normal-Normal saja. Ketika muncul kasus, heboh, termasuk pemerintahnya ikut heboh, tapi dalam penanganan kasusnya tergopoh-gopoh. Dekat Kagak pernah kita dengar Terdapat pembobol dan pembocor data yang ditangkap dan dijatuhi hukuman.

Tahun Lewat kita pernah punya Cita-cita tinggi ketika Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi akhirnya disahkan. Publik amat berharap regulasi itu Dapat memberikan solusi atas persoalan kebocoran data yang terjadi beberapa tahun belakangan.

Tetapi, faktanya, kini, beleid itu Lagi sebatas Harimau kertas. Tajinya belum terlihat. Entahlah, boleh jadi taji itu belum tampak karena aturan ini baru akan efektif dua tahun setelah diundangkan atau pada November 2024 nanti, tapi Dapat jadi juga UU itu memang tak cukup maju Kepada melawan perkembangan teknologi siber termasuk modus-modus kejahatannya.

Cek Artikel:  Pemilu bukan Ajang Intimidasi

Di sisi lain, BSSN sebagai leading sector  teknis keamanan siber juga tak memperlihatkan kedigdayaannya menghadapi serangan digital. Mereka malah menjadi representasi negara yang Dekat selalu tak berdaya membendung gelombang peretasan data Kaum.

Pemerintah dan negara sepertinya Lagi menganggap masalah serangan siber bukan perkara genting. Pemerintah Lagi mewarisi pemikiran kolot tentang kedaulatan negara yang Kagak memasukkan Unsur keamanan siber sebagai variabel Krusial sehingga lemah dalam pencegahan.

Tanpa Terdapat perubahan mindset Pelan secara radikal, semakin ke sini, kita layak semakin khawatir. Kalau Kepada mencegah pembocoran data pribadi saja Lagi tergagap, tampaknya kita juga tak Percaya pemerintah Pandai menghadapi serangan siber atau perang siber yang lebih besar.

Mungkin Anda Menyukai