Kebocoran Data DPT bukan Soal Sepele

KEKHAWATIRAN kembali mewarnai proses tahapan Pemilu 2024. Kali ini datang dari lemahnya sistem teknologi informasi Komisi Pemilihan Lumrah (KPU). Sebanyak 204 juta data masyarakat Indonesia yang terdaftar dari daftar pemilih tetap (DPT) dicuri peretas berinisial Jimbo dari website KPU beberapa hari lalu.

Jimbo kemudian menjual data pemilih dari 514 kabupaten/kota di Indonesia serta 128 negara perwakilan itu senilai US$74 ribu atau Rp1,2 miliar. Isi data pribadi yang didapatkan Jimbo, mulai dari NIK, nomor kartu keluarga, nomor KTP (berisi nomor paspor untuk pemilih yang berada di luar negeri), nama lengkap, jenis kelamin, tanggal lahir, tempat lahir, status pernikahan, alamat lengkap, RT, RW, kode kelurahan, kecamatan, dan kabupaten sampai kodefikasi TPS.

Sebagai bukti berhasil menjebol jaringan KPU, Jimbo membagikan 500 data contoh yang didapatkan. Data yang bocor kemudian diunggah dalam situs darkweb BreachPerhimpunans. Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri pun sudah menyebut menemukan dugaan kebocoran data pemilih dalam situs kpu.go.id lewat patroli siber yang mereka lakukan.

Cek Artikel:  Politik Mercusuar Reformasi Hukum

Mencoba merespons cepat, KPU langsung melakukan penelusuran dan bekerja sama dengan kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (K/L) terkait, termasuk berkoordinasi dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk memverifikasi sumber data yang diduga telah dibobol.

Dilihat dari konteks saat ini, bahaya dari kebocoran data yang dialami KPU itu tentu bukan hal sepele, terutama di masa-masa menjelang Pemilu 2024 yang memang menjadi periode ‘panas’ dan sensitif. Apabila peretas Jimbo ini benar-benar berhasil mengakses situs KPU, tentu saja bisa sangat berbahaya pada pesta demokrasi pemilu yang sedang berjalan.

Apalagi dugaan peretasan yang menyasar data KPU bukan kali pertama terjadi. Pada September 2022, dugaan data KPU bocor pernah santer beredar di media sosial Twitter (kini X). Ketika itu, peretas anonim Bjorka mengeklaim berhasil menjebol 105 juta data kependudukan warga Indonesia dan menjualnya di BreachPerhimpunans.

Publik dan peserta pemilu jelas khawatir modus seperti ini dapat dimanfaatkan untuk mengubah hasil rekapitulasi penghitungan suara pemilu. Apabila itu terjadi, pesta demokrasi sudah pasti akan tercederai. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bakal menimbulkan kericuhan pada level nasional.

Cek Artikel:  Kebangkitan Sepak Bola Indonesia

Semestinya dengan anggaran dana Pemilu 2024 sebesar Rp70,5 triliun, persoalan peretasan seperti ini tidak boleh terjadi. Apalagi, sebenarnya sejumlah kalangan sudah mengingatkan Ketua KPU terkait adanya kerentanan di sistem KPU pada Juni 2023 lalu.

Kita tentu tidak ingin kasus dibiarkan lewat begitu saja. Kita tidak mau kasus peretasan atau pembobolan data di KPU ditangani dengan cara yang sama seperti halnya pada kasus pembocoran data publik yang terjadi sebelum-sebelumnya. Nihil dan hilang tak jelas rimbanya. Hanya ramai ketika pembobolan terungkap, tapi kemudian melempem pada saat penegakan hukumnya.

Dengan risiko tingginya potensi konflik yang bakal muncul, publik tentu menginginkan KPU benar-benar serius membenahi berbagai celah dan lubang yang ada di jaringan teknologi informasinya. Persoalan peretasan data tidak boleh lagi hanya dijawab dengan sekadar lip service yang meninabobokan.

Cek Artikel:  Ketikanya Move On Bukan Baperan

Masalah peretasan data, apalagi itu data pemilih pemilu, mesti diusut setuntas-tuntasnya. Kalau tidak, jangan menyesal bila kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu justru bakal runtuh.

Mungkin Anda Menyukai