Kebijakan Tarif Sekunder AS Bikin Indonesia Harap-harap Cemas

Presiden AS Donald Trump. Foto: Xinhua/Hu Yousong.

Jakarta: Pernyataan Presiden Amerika Perkumpulan (AS) Donald Trump baru-baru ini mengguncang pasar Daya dunia. Ia menyatakan akan menerapkan tarif sekunder sebesar 25 persen hingga 50 persen terhadap negara mana pun yang membeli minyak dari Rusia, kecuali Apabila Moskow menyetujui gencatan senjata dalam konflik Ukraina.

Merespons hal itu, Dosen Departemen Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi menyebut pernyataan Trump itu memicu kekhawatiran luas. 

“Dunia kini menghadapi bukan hanya konflik militer, tetapi juga potensi konflik dagang Dunia berbasis Daya. Dalam konteks ini, tarif sekunder menjadi senjata diplomatik yang menekan negara-negara Kawan Rusia tanpa perlu menargetkan Rusia secara langsung,” ucap Syafruddin dikutip dari keterangan tertulis yang diterima, Selasa, 1 April 2025.

Di atas kertas, sambungnya, kebijakan tarif sekunder tampak strategis. Pasalnya, AS Ingin menekan Rusia secara Kagak langsung dan memaksa negara lain Buat meninggalkan pasokan Daya dari Moskow. Tetapi dalam praktiknya, kebijakan ini sangat problematik. 

Cek Artikel:  Darurat! 3 Bulan Kembali Ekonomi AS Diprediksi Masuk Resesi

Lebih berbahaya Tengah, kebijakan ini membuka babak baru dalam penggunaan Dominasi ekonomi AS Buat mengatur kebijakan luar negeri negara lain.

Sebagai Teladan, kebijakan ini menempatkan negara-negara berkembang seperti India dalam dilema. Diketahui, India telah menjadi pembeli Istimewa minyak mentah Rusia, mencapai 35 persen dari total impor minyaknya pada 2024. 

“Mengapa? Karena minyak Rusia ditawarkan dengan harga diskon besar, sangat menguntungkan Buat menjaga inflasi dan stabilitas fiskal. Apabila India harus menghindari minyak Rusia demi menghindari tarif AS, maka harga Daya dalam negeri akan naik drastis,” papar dia.

“Situasi yang sama Dapat terjadi di banyak negara Dunia south. Negara-negara ini tertekan antara kebutuhan Daya murah dan risiko kehilangan akses ke pasar AS,” Terang Syafruddin menambahkan.

Cek Artikel:  OJK Dorong Pengembangan Keuangan Syariah melalui Generasi Muda

Di sisi lain, meskipun Indonesia sendiri bukan pembeli langsung minyak Rusia dalam jumlah besar, tetapi sangat rentan terhadap Dampak Dunia.

“Lonjakan harga minyak akibat gejolak pasar dapat meningkatkan beban subsidi BBM, memperlemah nilai Salin rupiah, dan pada akhirnya menurunkan daya beli masyarakat,” beber dia.
 


(Presiden Amerika Perkumpulan Donald Trump. Foto: Anadolu)
 

Perkuat ketahanan Daya

Berkaca dari hal itu, ia menekankan Indonesia perlu mengutamakan ketahanan Daya nasional agar Kagak mudah terguncang oleh gejolak pasar Dunia. Di Begitu yang sama, diplomasi strategis harus diperkuat Buat menjaga kepentingan nasional di tengah dinamika geopolitik yang semakin kompleks. 

“Pemerintah perlu mengambil langkah terintegrasi Buat menghadapi tekanan Daya Dunia dengan mengamankan pasokan dari berbagai Kawan Dunia sekaligus memperkuat cadangan nasional sebagai benteng ketahanan dalam jangka pendek,” tegas Syafruddin. 

Cek Artikel:  PBB 600 Juta Orang Terdapat di Rendah Garis Kemiskinan di 2030

Di sisi lain, lanjut dia, percepatan transisi menuju Daya terbarukan harus menjadi prioritas strategis guna mengurangi ketergantungan terhadap pasar minyak Dunia yang rentan.

Secara paralel, Indonesia juga harus aktif menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang di Lembaga G20 dan ASEAN, khususnya dalam menolak kebijakan sepihak yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan geopolitik dunia.

“Kita juga harus memperkuat kerja sama bilateral dengan Kawan-Kawan Daya seperti Arab Saudi, UEA, dan bahkan Kawan regional seperti Malaysia. Selain itu, Indonesia Dapat mendorong kerangka kerja multilateral yang melindungi kedaulatan Daya dan hak negara Buat menentukan Kawan dagangnya,” ucap dia mengingatkan.

Mungkin Anda Menyukai