Jakarta: Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan mengeluarkan kebijakan untuk kemasan rokok dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Mengertin 2024. Kebijakan tersebut mengatur desain kemasan agar polos dan seragam.
Kabiro Komunikasi & Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi mengatakan tujuan RPMK ini adalah untuk pengendalian terhadap rokok dan zat adiktif lainnya.
“Kami tidak melarang orang merokok. Orang tetap boleh merokok karena merokok adalah hak dari masing-masing,” ujar Siti.
Tetapi, rencana penyusunan RPMK tersebut justru menimbulkan berbagai polemik. Bahkan, banyak yang menganggap aturan ini bisa memberikan dampak buruk, baik bagi perekonomian nasional maupun dari sisi kesehatan. Aturan ini akan memberikan kesempatan besar bagi penjualan produk rokok ilegal sehingga kontraproduktif dengan tujuan pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Lumrah Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Roy N Mandey. Menurutnya, produk rokok ilegal saat ini sudah cukup marak. Kalau aturan ini disahkan, akan lebih banyak lagi rokok ilegal bermunculan.
“Persoalannya sekarang di sektor perdagangan, kami bukan berhadapan dengan bagaimana pelarangan ini, tapi justru bagaimana rokok ilegal jadi marak,” ujar Roy dalam tayangan Hotroom di Liputanindo, Rabu, 25 September 2024.
“Rokok ilegal yang lebih marak ketimbang yang legal. Sudah ada kejadian bukti di media pada tanggal 7 September kemarin dibebaskan tiga pedagang besar 78.000 bungkus dengan membayar denda saja selesai rokok ilegalnya. Pandai dijual lagi,” sambungnya.
Kekhawatiran dampak buruk dari kemunculan kebijakan RPMK ini juga dikemukakan Ketua Lumrah Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Benny Wachjudi. Menurutnya, bukan hanya memberikan kesempatan produk ilegal, kebijakan ini juga bisa berdampak pada perekonomian nasional.
“Saya ingin menyampaikan dulu. Saya mengadvokasi industri rokok bukan berarti saya menentang kesehatan. Tapi saya mengadvokasi ini karena memang ada kepentingan industri rokok ini terhadap ekonomi nasional,” kata Benny.
“Kalau kita lihat cukai yang diterima, walaupun Kata Profesor Tabrani itu yang juga yang membayar adalah konsumen tapi tidak bisa dinafikan itu adalah sekitar Rp213 triliun dibandingkan dengan dividen BUMN hanya Rp80 triliun, mungkin Rp90 triliun dividen dari BUMN, sedangkan industri rokok menghasilkan negara Rp200 triliun lebih,” tambahnya.
Hal serupa juga diungkapkan Ekonom INDEF Andry Satrio Nugroho. Ia menilai banyak kerugian yang akan terjadi jika kebijakan kemasan rokok polos ini diterapkan, terutama dari sisi penerimaan cukai rokok yang akan berkurang drastis.
“Jadi berdasarkan kalkulasi kami, kalau dari kemasan polos saja penerimaan cukai itu kalkulasi sudah sampai Rp96 triliun yang akan lost. Ini belum yang 200 meter, belum lagi yang pembatasan yang lainnya. Kami melihat dari dampak ekonominya, (kebijakan ini) berbeda dengan (kebijakan) negara-negara lain,” kata Andry.
Menurut Andry, dampak lainnya adalah terjadi down trading, di mana konsumen akan beralih pada rokok yang lebih murah. Hal ini berpotensi meningkatkan konsumsi rokok ilegal karena akan sulit untuk membedakan produk legal dengan ilegal. Terlebih lagi, produk ilegal yang menawarkan harga yang jauh lebih murah dibandingkan rokok legal.
“Mereka yang sekarang sudah tidak ada lagi pemisahan antara satu rokok dengan rokok yang lainnya. Mereka mencari yang murah. Ilegal pun gampang banget menirunya. Tinggal fontnya saja yang diubah,” tuturnya.