![Kebijakan Imperialisme Trump](https://mediaindonesia.gumlet.io/news/2025/02/09/1739119155_d4ffb0f21f6162752957.jpg?w=800&q=80&format=webp)
SETELAH menyatakan niatnya mengambil alih Terusan Panama, Greenland, dan Kanada, Presiden AS Donald Trump menyatakan akan mengambil alih Gaza, mendepopulasi warganya, dan membangun kembali enklave yang telah hancur lebur oleh bombarmen Israel Demi dijadikannya Riviera of the Middle East (Pantai Air Hangat Timur Tengah). Sementara itu, PM Israel Benjamin Netanyahu yang berdiri di samping Trump Begitu konferensi pers itu, pada 5 Februari, menyatakan akan melanjutkan perang di Gaza setelah fase pertama gencatan senjata dengan Hamas berakhir pada 1 Maret.
Rencana Trump mengambil alih Gaza mengagetkan negara-negara Timteng (Timur Tengah), bahkan dunia. Merelokasi 2,3 juta Kaum Gaza ke Mesir dan Yordania, dilihat Komisi Tinggi HAM PBB, sebagai bentuk ethnic cleansing. Pada Juli Lewat, Mahkamah Global (ICJ) menyatakan pendudukan Israel atas Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem Timur ialah ilegal serta memerintahkan Israel membongkar permukiman Yahudi di sana dan memberi kompensasi terhadap pengungsi Palestina yang diusir dari tanah mereka.
Trump juga mengeluarkan perintah eksekutif yang menjatuhkan Hukuman pada sektor perminyakan Iran serta pembekuan aset para staf, hakim, dan keluarga mereka serta Seluruh pihak yang membantu Mahkamah Kriminal Global (ICC) karena mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant.
Tadinya ICC juga mengeluarkan arrest warrant terhadap tiga petinggi Hamas–Ismail Haniyeh, Yahya Sinwar, dan Mohammed Deif–terkait dengan pembunuhan terhadap 1.139 Kaum Yahudi dan menawan 253 orang lainnya Begitu menyerang Israel pada 7 Oktober 2023. Tetapi, ketiga pentolan Hamas itu telah dibunuh Israel.
MENDUKUNG ZIONISME
Niat mengambil alih Area negara lain, khususnya Gaza, memperlihatkan spirit imperialisme Trump dan konsisten dengan tujuan Zionisme sejak awal dicetuskan pada akhir abad ke-19. Zionisme Memperhatikan Area historis Palestina sebagai ‘Area tanpa bangsa Demi bangsa tanpa Area’. Klaim itu didasarkan pada kitab Bersih yang tak diakui Kebiasaan Global.
Cita-cita mendirikan kembali Israel mendapat momentum ketika Inggris sebagai pendukung zionisme menduduki Palestina pada Perang Dunia I setelah mengalahkan Khilafah Usmani pada 1917. Tragedi Holocaust yang diderita orang Yahudi oleh Nazi Jerman Membikin pendirian negara Israel menjadi gagasan yang ‘masuk Pikiran’ sebagai bentuk penebusan dosa Eropa terhadap orang Yahudi yang sepanjang 2000 tahun dizalimi berbagai negara Eropa.
Kendati PBB–melalui Partition Plan 1947–membagi Area Palestina menjadi dua Demi bangsa Yahudi dan Palestina, kaum Zionis Maju melancarkan aneksasi Area yang menjadi Bagian bangsa Palestina. Maka itu, begitu Inggris meninggalkan Palestina pada 1948, kaum Zionis memproklamasikan negara Israel yang disertai pembantaian dan pengusiran orang-orang Palestina dari ratusan desa mereka.
Pembangunan permukiman Yahudi di Jerusalem Timur dan Tepi Barat Maju berlanjut. Bahkan setelah Kesepakatan Oslo dicapai antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dengan pemerintahan Partai Buruh Israel pada 1993.
Kesepakatan Oslo yang didasarkan pada prinsip pertukaran tanah dengan perdamaian dihentikan Netanyahu sejak 2014. Begitu ini operasi militer besar-besaran Israel yang sedang berlangsung di Tepi Barat tak Dapat dilepaskan dari upaya menganeksasi lebih banyak Area Palestina Sembari mengusir penduduknya ke Yordania.
Genosida di Gaza selama 15 bulan perang Hamas-Israel yang juga menggunakan kelaparan sebagai senjata bertujuan mengusir Kaum Gaza ke Mesir. Semuanya harus dilihat sebagai proyek zionisme menghilangkan Palestina sebagai bangsa. Tekad Netanyahu melanjutkan perang hingga Hamas dilumatkan dan rencana Trump mengambil alih Gaza menunjukkan bahwa mereka Bukan mendukung gagasan two-state solution yang telah menjadi konsensus Global.
Pada periode pertama pemerintahannya, Trump meluncurkan kesepakatan abad ini yang Bukan mendukung berdirinya negara Palestina yang berdaulat dengan Area yang sejalan dengan resolusi DK PBB dan Kesepakatan Oslo. Area Palestina dibagi ke dalam kantong-kantong yang didemiliterisasi dan keamanannnya dikendalikan oleh Israel guna melemahkan dan Membikin negara Palestina Bukan relevan.
MOTIF PENGAMBILALIHAN GAZA
Pengambilalihan Gaza Mempunyai dua tujuan. Pertama, melenyapkan Hamas. Ide itu muncul karena Israel tak Bisa mengalahkan milisi bersenjata tersebut yang kini popularitasnya meluas di kalangan Palestina. Sementara itu, gencatan senjata tiga fase–yang kalau berjalan sesuai dengan Cita-cita–Bukan memungkinkan Israel menduduki Gaza sebagaimana diharapkan kubu ultrakanan Israel.
Maka itu, mau tak mau Hamas akan berperan menentukan di Gaza pascaperang. Israel akan menghadapi tekanan bangsa Arab dan dunia Demi mewujudkan negara Palestina. Dalam konteks itulah kita memahami tekad Netanyahu melanjutkan perang bila Palestina dan bangsa Arab menolak niat Trump mengambil alih Gaza.
Kedua, menyelamatkan pemerintahan Netanyahu. Gencatan senjata yang didesakkan Trump Membikin pemerintahan Netanyahu di ujung tanduk. Partai Kekuatan Yahudi pimpinan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir telah mengundurkan diri dari pemerintahan koalisi. Sementara itu, Partai Zionisme Religius pimpinan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich mengancam akan juga mundur bila Netanyahu Bukan melanjutkan perang di Gaza pascafase pertama terlewati. Kalau Partai Smotrich mundur, pemerintahan Netanyahu akan bubar dan sangat mungkin akan mengakhiri karier politiknya.
Jauh sebelum pecah perang Hamas-Israel, Netanyahu sedang terlilit masalah hukum terkait dengan korupsi, penentangan publik Israel atas upaya Netanyahu melemahkan pengadilan, dan kelalaiannya mengamankan teritori Israel. Sepatutnya fase kedua sudah mulai dirundingkan, yang kalau berjalan mulus, Israel harus membebaskan ribuan tahanan Palestina, menarik mundur seluruh pasukannya dari Gaza, dan gencatan senjata permanen diberlakukan sebagai imbalan Hamas membebaskan sisa 60-an Kaum Yahudi.
Masyarakat Israel terpecah antara yang mendukung kelanjutan perang dan pembebasan sandera. Posisi sulit Netanyahu itu coba dipecahkan dengan ide Trump mengambil alih Gaza. Harapannya, Smotrich dan Gen-Gvir Dapat menerima proposal tersebut. Itu juga diharapkan akan mendapat dukungan bangsa Arab. Sayangnya, bangsa Arab Malah memperkeras posisi mereka. Beberapa hari Lewat, Mesir, Yordania, Arab Saudi, UEA, Qatar, Otoritas Palestina, dan Perserikatan Arab menolak mentah-mentah ide Trump merelokasi Kaum Palestina. Trump mencoba mendekati Saudi Demi menormalisasi Interaksi dengan Israel. Walakin, Riyadh secara tegas menolak kecuali negara Palestina berdiri dengan teritori sesuai dengan resolusi-resolusi DK PBB.
KONTRAPRODUKTIF
Memang ide Trump itu Bukan masuk Pikiran, melanggar hukum Global, Bukan bermoral, dan berpotensi mendestabilisasi Timteng. Kebijakan yang kontraproduktif itu diperparah dengan pengakuan Dataran Tinggi Golan Punya Suriah yang dicaplok Israel pada 1967 sebagai Punya Israel dan menerapkan kembali kebijakan tekanan maksimum atas Iran.
Kebijakan Trump yang terakhir ini akan meningkatkan harga minyak dunia dan mendestabilisasi Teluk Persia sebagaimana terjadi pada periode pertama pemerintahan Trump ketika Iran mengganggu keamanan Teluk yang sempat melejitkan harga minyak dunia.
Lebih dari itu, sangat mungkin Iran akan dipaksa Membikin senjata nuklir. Menurut badan Kekuatan atom Global (IAEA) yang mengawasi program nuklir Iran, Teheran telah memperkaya uranium mereka hingga 60% dan meningkatkan stoknya sehingga hanya dalam hitungan minggu Iran Bisa Membikin bom atom.
Tekanan pemerintahan Trump terhadap Libanon Demi menyingkirkan Hizbullah pro Iran dari Mimbar politik negara itu dan mendukung niat Israel mempertahankan pasukannya di Libanon Selatan dengan melanggar gencatan senjata berbasis Resolusi DK PBB 1701 yang dimediasi AS dan Perancis hanya memperparah gejolak di kawasan.
Dus, mengambil alih Gaza, mendukung aneksasi Israel atas Tepi Barat, Golan, Libanon Selatan, dan menekan Iran Malah membuyarkan keinginan Trump menjadi peacemaker dan pemersatu Timteng.
Jalan yang murah dan sesuai dengan kepentingan AS ialah membiarkan Palestina menentukan nasib mereka sendiri, menjaga tatanan Global berbasis hukum, menarik kembali dukungan aneksasi Israel atas Golan, dan berhenti menuntut Iran apa yang tak dapat dilakukannya, Yakni menghentikan program rudal balistik dan nuklir mereka Demi keperluan sipil.
Lebih Kondusif memulihkan kesepakatan nuklir Iran. Teheran pun akan kehilangan Argumen mempertahankan ‘poros perlawanan’ andaikan Palestina telah Mempunyai negara. Interaksi ekonomi Iran-Tiongkok dan kerja sama militer Rusia-Iran telah diperdalam. Beijing akan Maju mengimpor 90% produksi minyak Iran Tamat 25 tahun ke depan sebagaimana kesepakatan kedua negara.
Dus, tekanan maksimum Trump tak akan efektif. Bukan masuk Pikiran melindungi rezim Zionis yang rasialis Sembari mengorbankan kepentingan negara-negara di kawasan. Hal itu malah membunuh sebuah bangsa bernama Palestina. Shame on you!