Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Foto: Arsip Kemenko Perekonomian
Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan Begitu ini dunia harus menerima kebijakan biodiesel yang dijalankan pemerintah.
“Kemarin kita menang di WTO Kepada kelapa sawit. Jadi itu satu hal yang membuktikan bahwa dalam kasus kelapa sawit dan biodiesel, diakui Eropa melakukan diskriminasi terhadap Indonesia. Kemenangan ini merupakan bukti bahwa negara Indonesia kita Pandai fight dan kita Pandai menang. Kemarin Tertentu Kepada sawit, kita fight di REDD dan kita menang. Sehingga biodiesel yang sekarang kita ambil sebagai sebuah kebijakan, itu mau nggak mau dunia harus menerima, bahwa Bukan hanya biodiesel berbasis rapeseed, soybean, dan yang lain, tetapi juga yang berbasis daripada CPO,” ungkap Airlangga dikutip dari siaran pers, Minggu, 19 Januari 2025.
Selanjutnya, WTO juga berpendapat bahwa Uni Eropa Bukan melakukan Penilaian yang Benar terhadap data yang digunakan Kepada menetapkan biofuel yang berasal dari alih fungsi lahan kelapa sawit berisiko tinggi (high ILUC-risk), serta terdapat kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta Mekanisme sertifikasi risiko rendah ILUC (low ILUC-risk) dalam Renewable Energy Directive (RED) II.
Kelapa sawit. Foto: Ditjenbun Kementerian Pertanian
Uni Eropa hanya menerapkan Insentif pajak bagi biofuel berbasis minyak rapeseed dan soybean
Pihak Uni Eropa hanya menerapkan Insentif pajak bagi biofuel berbasis minyak rapeseed dan soybean.
Adapun putusan tersebut akan diadopsi dalam waktu 60 hari dan akan mengikat bagi Indonesia dan Uni Eropa. Dengan demikian, Uni Eropa diminta Kepada dapat menyesuaikan kebijakan dalam Delegated Regulation terkait hal-hal yang Bukan sesuai dengan aturan dari WTO.
Lebih lanjut, Airlangga juga menyebutkan bahwa keputusan tersebut tentu akan berdampak pada kebijakan yang diambil Uni Eropa yakni European Union Deforestation Regulation (EUDR), dimana sebelumnya Uni Eropa secara Formal mengadopsi proposal penundaan implementasi EUDR selama 1 tahun hingga 30 Desember 2025 mendatang yang mengindikasi ketidaksiapan Uni Eropa.
Keputusan WTO tersebut tentu tambahan kekuatan bagi Indonesia yang tengah berupaya menentang kebijakan EUDR. Indonesia akan Lalu menentang kebijakan yang bersifat diskriminatif dan Bukan pro rakyat, terlebih mempertimbangkan terdapat lebih dari 41 persen penggarap kebun kelapa sawit di Indonesia merupakan pekebun rakyat.
Selain itu, Airlangga juga menyebutkan bahwa momen ini dapat memberikan kesempatan bagi Indonesia dan Malaysia Kepada kian memperkuat strategi implementasi agar komoditas sawit Bukan mengalami diskriminasi kembali.
“Dengan kemenangan ini, saya berharap bahwa cloud ataupun yang selama ini menghantui perundingan IEU-CEPA ini Pandai hilang dan dan kita Pandai segera selesaikan IEU-CEPA,” tutur Airlangga.