Kebijakan Berbasis Profil Risikountuk Melindungi Konsumen

Kebijakan Berbasis Profil Risiko untuk Melindungi Konsumen
(Dokpri)

DALAM upaya mewujudkan cita-cita Indonesia Kepada menjadi negara maju di umur 100 tahun kemerdekaannya pada tahun 2045, pemerintah berkomitmen Kepada melakukan transformasi sosial. Hal ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 bahwa pemerintah akan memanfaatkan bonus demografi yang ditandai dengan Kendali usia produktif, diperkirakan mencapai 68,3% dari total populasi Indonesia.  

Bonus demografi ini diharapkan menjadi pendorong Kepada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bangsa. Oleh karena itu, Grup Sosok yang masuk ke dalam bonus demografi ini harus berkualitas, sehat, cerdas, agar dapat menjadi sumberdaya yang produktif dan berdaya saing Dunia. 

Dilihat dari aspek kesehatan, Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi masyarakat Demi ini. Setidaknya Terdapat dua permasalahan Esensial, Merukapan kecukupan makanan bergizi dan gaya hidup. Kecukupan makanan bergizi meliputi ketersediaan, kuantitas, kualitas, akses, dan distribusi. Sedangkan gaya hidup yang menonjol Demi ini adalah kurangnya aktivitas fisik, pilihan konsumsi makanan dan minuman tinggi Gula Garam Lemak (GGL), serta tingginya prevalensi merokok. 

Maraknya kebiasaan merokok muncul seringkali berakar dari budaya keluarga dan interaksi sosial. Menurut the Tobacco Attlas (2020) Indonesia menempati urutan ketiga jumlah perokoknya setelah Tiongkok  dan India.

Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai hingga 70 juta orang (26% dari total penduduk Indonesia). Dari berbagai riset dan pandangan para Spesialis kesehatan, Akibat merokok bagi kesehatan cukup serius, dan memerlukan biaya yang sangat besar Kepada recoverynya yang harus ditanggung negara. 

Bagi negara, Akibat rokok ini Dapat lebih besar dari sekadar nominal biaya, karena manfaat bonus demografi Dapat terancam. Oleh karena itu, diperlukan intervensi kebijakan yang Akurat dari pemerintah Kepada mendorong perubahan perilaku masyarakat agar hidup lebih sehat, sehingga Dapat lebih poduktif, lebih inovatif dan lebih kreatif Kepada mewujudkan indonesia maju di tahun 2025.

Pada dasarnya, pemerintah telah melakukan berbagai upaya Kepada  pengendalian produk pangan dengan kandungan GGL tinggi dan produk tembakau. Dalam Undang Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) serta peraturan turunannya, Merukapan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 pemerintah berkomitmen Kepada menetapkan batas maksimal kandungan GGL, dan mengatur produk tembakau berbasis profil risiko kesehatan. 

Berdasarkan Nota Keuangan RAPBN 2025 juga dinyatakan bahwa pemerintah akan melakukan ekstensifikasi cukai terhadap Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) di tahun 2025, sebagai bentuk upaya pengurangan Akibat negatif produk MBDK. 

Cek Artikel:  Pemilu TikTok

Berbeda dengan MBDK, pengendalian Akibat atau eksternalitas negatif dari GGL dan MBDK yang terhitung Tetap baru, upaya pengendalian konsumsi rokok telah Pelan dilakukan oleh pemerintah. Melalui UU Cukai No. 39 Tahun 2007, produk tembakau dikenakan cukai dengan tarif yang Lalu mengalami kenaikan. Sayangnya, alih-alih mendorong perokok Kepada mengurangi konsumsi rokok atau berhenti, kebijakan cukai malah mendorong konsumsi masyarakat pada rokok yang lebih murah bahkan rokok tanpa cukai alias rokok ilegal. 

Hal ini disebabkan kenaikan harga rokok yang eksesif Kepada produk Absah, jauh di atas kemampuan daya beli masyarakat. Pemerintahpun telah menetapkan berbagai pengaturan dari tahapan produksi, pemasaran, hingga konsumsi. Begitu pula dengan Embargo pemasaran dekat sekolah, batasan iklan, serta kewajiban komunikasi publik mengenai risiko merokok melalui peringatan kesehatan bergambar belum membuahkan hasil secara efektif. 

Kondisi ini sekaligus menyadarkan kita bahwa problem rokok adalah permasalahan yang kompleks, yang Kagak Dapat diselesaikan hanya berdasarkan satu instrumen, semisal cukai atau harga. Tetapi harus holistik dari aspek budaya, komunikasi, dan tentu kebijakan.

Berkaca dari upaya pemerintah dalam menerapkan peraturan restriktif terhadap rokok, maka muncul pertanyaan: bagaimana strategi yang efektif pengendalian konsumsi produk yang dinilai Mempunyai eksternalitas negatif? Apakah keberlanjutan peraturan-peraturan tersebut dapat mengubah perilaku masyarakat Kepada lebih Mempunyai kualitas hidup yang lebih Bagus, sehingga akan menjadi sumber daya produktif dalam mengantarkan Indonesia maju 2045?

Kebijakan berbasis riset dan perilaku ekonomi masyarakat

Kepada mencapai transformasi sosial di tahun 2045, pemerintah perlu membentuk kebijakan yang inklusif, demi mendorong peningkatan kualitas kesehatan dan kehidupan masyarakatnya. Salah satu upaya Kepada menciptakan kebijakan yang inklusif adalah, dengan menggunakan pendekatan berbasis ilmiah (scientific approach) melalui riset sebagai basis dalam membentuk kebijakan. Sehingga, Seluruh aspek seperti perkembangan Ciptaan terkait produk yang diatur, Elemen psikologis, sosial dan emosional masyarakat dapat di lihat secara lebih obyektif, Kepada menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan. 

Dalam UU Kesehatan, Pemerintah telah membentuk kebijakan berbasis sains dengan merekognisi pengaturan produk tembakau harus berdasarkan profil risiko kesehatan. Hal ini, mengacu pada Ciptaan industri dengan pendekatan pengurangan risiko bahaya tembakau, di antaranya dapat  melalui produk alternatif yang risikonya lebih rendah. Ini Krusial karena hasil studi menunjukkan bahwa upaya berhenti merokok tidaklah mudah, dari 100 perokok hanya 3%-4% saja yang berhasil berhenti. Berdasarkan Fakta ini, pilihannya switch Kalau stop Kagak Dapat. 

Berbagai produk alternatif yang Dapat menjadi pilihan dengan risiko yang lebih rendah, antara lain rokok elektronik. Berdasarkan survei yang dilakukan INDEF (2023), salah satu Argumen Esensial masyarakat menggunakan rokok elektronik adalah karena adanya Ciptaan pengurangan bahaya dalam produk tersebut. Ini Krusial Kepada menjadi dipertimbangan dalam upaya pengendalian konsumsi rokok. Tetapi perlu disadari, bahwa produk alternatif yang berisiko lebih rendah ini Tetap sangat terbatas diketahui oleh masyarakat. Oleh karena itu diperlukan pendekatan komunikasi kebijakan dari pemerintah.

Cek Artikel:  Jakarta Menuju Era Baru

Berdasarkan studi yang kami lakukan pada tahun 2023 dengan melibatkan 920 responden, diketahui bahwa salah satu kendala Esensial dalam kebijakan pengendalian konsumsi rokok di Indonesia adalah narasi yang digunakan Tetap bersifat Biasa, dan Kagak Mempunyai segmentasi ke sasaran konsumen produk tembakau, yang terdiri dari perokok Normal, pengguna rokok elektronik, dan non-perokok dengan latar belakang demografi, psikografi yang Berbagai Ragam. 

Selain Tetap bersifat monoton, komunikasi kebijakan yang dilakukan pemerintah lebih cenderung mengedepankan fearmongering effect melalui peringatan kesehatan yang menampilkan gambar-gambar penyakit mengerikan pada bungkus rokok. 

Bentuk komunikasi kebijakan ini sudah dilakukan sejak tahun 2014, Tetapi Kagak efektif. Sayangnya, pendekatan fearmongering dan bersifat Biasa ini akan dilakukan Kembali oleh pemerintah melalui Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan yang akan memukul rata Seluruh produk rokok Kepada menggunakan kemasan polos, tanpa memikirkan hak masyarakat Kepada mendapatkan informasi terhadap produk yang mereka konsumsi. Kemasan polos juga berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal. 

Oleh karena itu perlu terobosan, Ciptaan dan kreativitas dalam pengambilan kebijakan dengan mempertimbangkan perilaku masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan tersebut, agar lebih efektif dalam implementasinya.

Dilihat dari pendekatan fearmongering ini, terdapat Dugaan bahwa bentuk komunikasi kebijakan yang restriktif akan efektif mengubah perilaku masyarakat secara langsung. Padahal, mengubah perilaku secara tiba tiba (cold turkey) terbukti Mempunyai efektivitas rendah. 

Menurut Direktur Nicotine Dependence Center Mayo Klinik, Dr. J. Taylor Hays, M.D, menghentikan rokok secara cold turkey Mempunyai tingkat keberhasilan paling tinggi hanya sebesar 5%. Dari sisi ekonomipun, kita Memperhatikan penerapan cukai Kepada meningkatkan harga rokok malah mendorong pola perilaku yang Kagak sesuai dengan tujuan awal kebijakan cukai diterapkan, Merukapan Kepada menekan jumlah perokok. Tingginya harga rokok Kagak Membangun para perokok berhenti merokok, tetapi Bahkan, mencari alternatif lain yang lebih murah, termasuk rokok ilegal. 

Maka dari itu, Kepada mengubah kebiasaan yang sudah mengakar dalam kebiasaan masyarakat Indonesia, Krusial bagi pemerintah Kepada mengubah pendekatan komunikasi kebijakan, dengan lebih persuasif dan berbasis pada perilaku masyarakat Kepada membangun awareness, agar terdorong Kepada melakukan perubahan perilaku tanpa merasa dipaksa. 

Cek Artikel:  Menguatkan Patriotisme dan Kepedulian Anak Muda terhadap Bangsa

Pentingnya rekognisi profil risiko dalam komunikasi kebijakan

Kagak Dapat dipungkiri, walaupun regulasi di Indonesia sudah mengatur konsumsi produk tembakau dan turunannya, efektifitasnya dalam mengubah perilaku masyarakat Indonesia Tetap harus menempuh jalan yang panjang. Di Demi berkembangnya Ciptaan dan kreativitas Kepada memberikan pilihan alternatif dalam konsumsi masyarakat yang lebih Kondusif, maka pendekatan pemerintahpun perlu disesuaikan. 

Kepada mewujudkan transformasi sosial dan Indonesia emas di tahun 2045, pemerintah perlu menyadari bahwa kebijakan yang dibentuk Demi ini harus merekognisi Ciptaan produk yang diatur, dan berbasis riset terhadap pola perilaku konsumsi rokok sehingga dapat memberikan hasil yang konkrit di ke depannya.  

Terdapat tiga hal yang terkait dengan komunikasi kebijakan seperti berikut ini. Pertama, pemerintah perlu merekognisi dan melaksanakan pendekatan kebijakan berbasis profil risiko kesehatan yang sesuai dengan mandat dari UU Kesehatan. Hal ini berarti, menerapkan kebijakan turunan berbasis profil risiko Bagus secara fiskal maupun non-fiskal, Kepada Ciptaan produk lebih rendah risiko yang terbukti berdasarkan hasil riset dan sains. 

Rekognisi profil risiko ini, juga perlu diterapkan dalam membentuk Panduan komunikasi kebijakannya. Artinya, pemerintah dapat Konsentrasi dengan pendekatan berbeda berdasarkan segmentasi perilaku Grup yang paling berisiko, dari perokok Normal, perokok elektronik, dan non-perokok. Pola komunikasi ini akan lebih persuasif, Kepada menekankan perbedaan risiko produk seperti yang telah dilakukan Filipina dan Inggris.

Kedua, pemerintah perlu membangun kolaborasi hexahelix (pemerintah, pelaku usaha, pasar, media, masyarakat dan akademisi)  Kepada  merancang kebijakan berimbang yang lebih efektif, dengan tetap menekankan pentingnya kebijakan berbasis riset dan sains dalam jangka panjang. 

Ketiga, menetapkan Panduan strategi komunikasi yang efektif berbasis profil risiko, sebagai guidance bagi pemerintah dan stakeholders di sektor kesehatan Kepada menyampaikan pesan persuasif terkait konsumsi tembakau. Hal ini, juga didasari bahwa konsumen rokok di Indonesia terbagi menjadi berbagai latar belakang masyarakat dengan tingkat pendidikan, sosial, dan ekonomi yang berbeda-beda. 

Sehingga, seluruh konsumen perokok dewasa di Indonesia Kagak hanya mendapatkan peringatan tentang bahaya kesehatan dari merokok, Tetapi juga edukasi yang lebih mudah dicerna mengenai risiko konsumsi merokok, pilihan yang Terdapat, dan juga langkah yang Akurat Kepada mengurangi konsumsi dan bahkan berhenti sepenuhnya.

Apabila pemerintah dan stakeholders di sektor kesehatan dapat mengimplementasikan seluruh hal di atas, maka bukan Kagak mungkin perubahan perilaku masyarakat terkait rokok dan produk dengan eksternalitas negatif dapat dikendalikan. Hal ini, tentu dapat meningkatkan Asa dan kualitas hidup masyarakat Indonesia, sebagai langkah awal mencapai transformasi sosial Kepada Indonesia Emas di tahun 2045.

 

Mungkin Anda Menyukai