Kebiasaan Kepada Afirmasi 30 Perempuan dalam Kepemimpinan DPR

Norma untuk Afirmasi 30% Perempuan dalam Kepemimpinan DPR
(MI/Seno)

SEPANJANG tiga periode di DPR, saya Tak mendapat kepercayaan fraksi/partai Kepada menjadi pimpinan di badan atau komisi di DPR. Eksis hambatan struktural dan kultural dari internal DPR dan partai politik yang membatasi Perempuan Kepada dipercaya menjadi pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) DPR. Pencantuman Kebiasaan kuota Perempuan dalam UU MD3 Krusial Kepada menjamin kesetaraan kesempatan bagi politikus Perempuan Kepada Dapat menjadi pimpinan DPR.

Megawati Soekarnoputri dihalangi menjadi presiden dan Puan Maharani dihalangi menjadi ketua DPR Meski PDIP memenangi Pemilu 1999 dan Pemilu Legislatif 2014. Para politikus Pria lintas partai berkonspirasi menghalangi keduanya dan hilanglah hak Kepada menjadi pemimpin. Dalam perjalanannya, para Pria yang merebut hak politik sebagai presiden dan ketua DPR malah Tak bertahan Pelan di dunia politik.

 

DISKRIMINASI DI LEMBAGA DEMOKRASI

Sudah pernah Eksis upaya melindungi hak Perempuan Kepada menjadi pimpinan melalui UU MD3 Tahun 2009 (UU No 27 Tahun 2009). Dalam Pasal 101 ayat (2) disebutkan bahwa pengisian AKD harus ‘memperhatikan keterwakilan Perempuan’. Sayangnya, dalam UU MD3 Tahun 2014 (UU No 17 Tahun 2014), frasa tersebut dihilangkan tanpa Dalih substansial. Karena itu, Kesempatan Perempuan Kepada duduk di kursi pimpinan AKD kini sepenuhnya bergantung pada kebijakan fraksi masing-masing. Partai politik melanggengkan akar masalah, Yakni diskriminasi sistemis.

Ketika gagasan pendirian Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) yang saya perjuangkan berhasil terwujud pada 2009, saya hanya ditugaskan sebagai Member meski yang paling paham tugas dan fungsi BAKN. Partai Tak mengambil jatah pimpinan di BAKN Begitu itu (2009-2014).

Di Begitu kita memperingati 80 tahun Indonesia merdeka, kita dihadapkan pada satu ironi. Indonesia membanggakan diri sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tapi diskriminasi terhadap Perempuan Tetap bercokol di jantung lembaga legislatif: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Cek Artikel:  Menyempitnya Ruang Fiskal APBN Periode Transisi Pemerintahan

Para Perempuan Tak menjabat pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD)–komisi, badan, dan panitia Spesifik–yang Malah menjadi titik strategis pengambilan keputusan di parlemen yang merupakan simbol demokrasi.

Bagi publik, Bilangan keterwakilan Perempuan di DPR periode 2019-2024 sebesar 21% mungkin terlihat sebagai capaian. Tetapi, di balik Bilangan tersebut, distribusi jabatan strategis sangat timpang. Data menunjukkan bahwa proporsi Perempuan di posisi pimpinan AKD DPR berada jauh di Dasar 30%, bahkan di beberapa AKD Kosong sama sekali.

Partai politik Jernih Tetap mempraktikkan pola pikir patriarki dalam pembagian jabatan. Soal distribusi Member fraksi dan penentuan pimpinan AKD bukanlah hasil seleksi terbuka berdasarkan kompetensi, melainkan berdasar pada preferensi yang bias gender.

Dengan pola yang demikian, Perempuan kerap disingkirkan dengan Dalih ‘kalkulasi politik’ atau ‘kesepakatan internal’ yang pada praktiknya hanyalah pembenaran Kepada mempertahankan Kendali Pria.

Situasi itu menunjukkan bahwa tanpa Kebiasaan hukum yang mengikat, upaya meningkatkan keterwakilan Perempuan dalam jabatan strategis akan Maju Mandek. Prinsip meritokrasi kerap dikalahkan oleh loyalitas politik dan Perempuan menjadi korban Penting diskriminasi terselubung itu.

 

Kebiasaan AFIRMASI VS MERITOKRASI

Bilangan 30% bukanlah sekadar Bilangan. Ia lahir dari hasil riset dan advokasi Mendunia yang menyimpulkan bahwa pada titik inilah Bunyi Perempuan dalam lembaga perwakilan mulai Mempunyai bobot signifikan Kepada mempengaruhi agenda dan kebijakan. Di Dasar Bilangan itu, Perempuan cenderung menjadi minoritas simbolis (token representation) yang sulit mengubah arah kebijakan.

Dalam konteks DPR, pimpinan AKD memegang peran vital: menentukan agenda rapat, memutuskan prioritas legislasi, mengendalikan alur pembahasan, hingga memengaruhi alokasi anggaran. Apabila Perempuan absen dari posisi itu, perspektif dan kepentingan Perempuan akan sulit masuk kebijakan strategis meskipun jumlah Member Perempuan di DPR meningkat.

Cek Artikel:  Urgensi Implementasi Prinsip ESG

Penghapusan Kebiasaan 30% dalam pimpinan AKD DPR sejak revisi UU MD3 pasca-2014 telah berdampak Konkret. Pada periode 2014-2019 dan 2019-2024, jumlah Perempuan di kursi pimpinan AKD stagnan atau menurun, sementara isu-isu strategis terkait dengan Perempuan, anak, dan Grup rentan sering tersisih dalam prioritas pembahasan.

Ironisnya, banyak partai politik yang secara retoris mendukung kesetaraan gender, bahkan memasukkannya dalam platform Formal, tetapi dalam praktik pembagian jabatan strategis Malah mengabaikannya. Partai menjadi gerbang pertama diskriminasi dan ketiadaan Kebiasaan hukum Membangun pintu itu semakin sulit ditembus.

Konstitusi mendukung afirmasi (Pasal 28H dan 28I), sedangkan menurut Lima Kedudukan Pemberdayaan Perempuan (Longwe, 1991) pemberdayaan yang paling Krusial kalah penguatan kontrol. Artinya, afirmasi Perempuan dalam pencalegan harus digenapi dengan afirmasi di tingkat kepemimpinan.

Kebiasaan 30% Perempuan di pimpinan AKD harus dikembalikan, bahkan diperkuat. Hal tersebut akan memperbaiki kualitas demokrasi. Keterwakilan Perempuan yang memadai memastikan kebijakan mencerminkan kebutuhan seluruh rakyat, bukan hanya setengahnya.

Akibat yang lebih Krusial, pencantuman Kebiasaan tersebut ialah sebagai koreksi terhadap ketidakadilan struktural yang dihadapi Perempuan di dunia politik. Kebiasaan tersebut akan menjadi alat hukum Kepada melawan praktik diskriminasi terhadap kader Perempuan, Berkualitas di partai maupun lembaga DPR yang didominasi Pria.

Dalam situasi demikian, menjadi aneh Apabila pencantuman Kebiasaan afirmasi tersebut bertentangan dengan prinsip meritokrasi. Playing field antara Pria dan Perempuan di dunia politik Jernih Tak sama sehingga kebijakan afirmasi bagi Perempuan Malah mendapat pembenaran dan menjadi keharusan.

Pencantuman Kebiasaan tersebut juga akan dapat memberikan kepastian dan perbaikan akuntabilitas bagi lembaga DPR. Tanpa Kebiasaan, komitmen kesetaraan gender hanya bergantung pada goodwill partai yang sifatnya fluktuatif dan terbukti Tak Dapat diharapkan hingga 80 tahun Indonesia merdeka.

Cek Artikel:  Demokrasi dan Kebenaran

Di Skandinavia, afirmasi 30% Perempuan dalam politik Tak diperlukan karena parpol-parpol di sana sudah pro kesetaraan gender. Itu jauh berbeda dengan kondisi di Amerika Latin dan negara-negara lainnya yang indeks kesetaraan gendernya Tetap rendah.

Banyak negara yang sukses mendorong keterwakilan Perempuan melalui kombinasi aturan kuota dan mekanisme penegakan. Misalnya, di Rwanda, keberadaan kuota Perempuan di parlemen disertai penempatan di posisi strategis Membangun negara tersebut kini memimpin dunia dengan proporsi Perempuan legislatif di atas 60%. Di Eropa, beberapa negara mewajibkan partai menempatkan Perempuan di posisi eksekutif komisi parlemen.

Indonesia punya preseden positif: Begitu Kebiasaan 30% Tetap berlaku di UU MD3, representasi Perempuan di pimpinan AKD meningkat signifikan. Artinya, kita Tak memulai dari Kosong; kita hanya perlu mengembalikan dan memperkuat kebijakan yang terbukti efektif.

Kita Tak boleh membiarkan diskriminasi gender ini berlanjut dan bahkan memburuk. DPR periode berikutnya harus menjadikan pengembalian Kebiasaan 30% Perempuan di pimpinan AKD sebagai bagian dari revisi UU MD3. Hal itu Dapat dimulai ketika MK memenangkan gugatan Grup sipil Kepada tujuan tersebut.

Partai politik juga harus sadar Kepada menempatkan Perempuan di posisi strategis bukanlah pemberian belas Iba, melainkan pengakuan atas kapasitas dan kontribusi mereka. Demokrasi Indonesia akan semakin Renyah Apabila Separuh dari rakyatnya Maju dihalangi Kepada memegang kendali pada level pengambilan keputusan tertinggi di parlemen.

Mengembalikan Kebiasaan 30% Perempuan di pimpinan AKD DPR ialah langkah konkret Kepada menghentikan diskriminasi struktural yang telah berlangsung terlalu Pelan. Tanpa keberanian politik Kepada menetapkannya kembali, kita hanya akan melanjutkan demokrasi yang pincang–demokrasi yang meminggirkan Separuh dari rakyatnya dari Pentas Penting kekuasaan.

 

Mungkin Anda Menyukai