Kebencian Rasmus Paludan

KEBENCIAN Tak Mempunyai akar dalam demokrasi. Bahkan, kebebasan yang menjadi inti dari demokrasi dilekati oleh tanggung jawab. Kebebasan itu paralel dengan kenyamanan, alih-alih ketakutan.

Tapi, di tangan Rasmus Paludan, kebebasan menghadirkan rasa takut. Ketakutan yang dipicu ulah politikus ‘ekstrem kanan’ Denmark itu serupa teror. Bahkan, teror Demi dirinya sendiri. Ia pun mengakui hadirnya rasa takut itu.

Tindakan Paludan membakar kitab Bersih Al-Qur’an di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm–di Rendah perlindungan polisi dan izin dari otoritas setempat–akhir pekan Lewat, sudah seperti kepongahan atas nama kebebasan. Wajar bila aksi itu memicu gelombang kecaman dan protes dari dunia Arab dan Islam.

Saya sepenuhnya sependapat dengan pernyataan Ketua Dewan Komunitas Yahudi di Stockholm, Lena Posner-Korosi. Kepada Anadolu Agency ia mengatakan bahwa Swedia Mempunyai undang-undang mengenai kebebasan berekspresi dan protes, tetapi aturan tersebut Sebaiknya Tak melewati batas hingga mengarah pada ujaran kebencian.

Cek Artikel:  Puasa dan Belanja

Sembari mengacu pada UU terkait kejahatan dan ujaran berdasarkan kebencian, Posner-Korosi menyebut tindakan itu dengan kalimat ‘mengerikan dan menakutkan’ bahwa aturan tersebut membolehkan orang melakukan tindakan-tindakan yang menyerang Al-Qur’an, Alkitab, dan Taurat.

Meskipun pelaku Mempunyai hak hukum, polisi Sebaiknya Tak mengizinkan orang yang bersangkutan melakukan tindakan tersebut di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm. Tindakan itu pun menyulut ketidaknyamanan, suatu keadaan yang bertolak belakang dari tujuan demokrasi.

“Tindakan itu Terang adalah provokasi. Ia bebas melakukannya di Swedia, tetapi ia Tak Dapat memilih di mana akan dilakukan, itu Sebaiknya Tak diizinkan. Itu adalah kesalahan besar,” terangnya.

Posner-Korosi menegaskan bahwa kejadian tersebut Tak dapat diterima dan juga merupakan ancaman bagi demokrasi. Karena, siapa pun, mestinya merasa Terjamin sebagai minoritas dalam masyarakat demokrasi. Itulah yang ia dan komunitas minoritas Yahudi di Swedia perjuangkan.

Cek Artikel:  Dua Keteladanan

Posner-Korosi Lewat menunjukkan peristiwa di Malmo, Swedia selatan, Begitu seorang Perempuan menjadi sasaran kejahatan kebencian. Sang muslimah itu memakai jilbab dan jilbabnya coba dilepas. Perlakuan serupa juga dialami oleh seorang pria Yahudi yang mengenakan kipah (tutup kepala yang dipakai Lelaki Yahudi).

Pada situasi seperti itu, demokrasi sedang menghadapi dilema. Saya Mau mengutip pernyataan aktivis sosial dan perburuhan Kanada, Diane Kalen Sukra, bahwa demokrasi bukanlah ‘sesuatu yang kita warisi sebagai hak Bersih’.

Demokrasi menuntut keberadaan para Kaum negara yang mau terlibat aktif, Mempunyai informasi yang Bagus, dan bertujuan mencapai kebaikan Berbarengan (common good). Bukan hanya berusaha agar kepentingan kelompoknya sendiri berjaya.

Cek Artikel:  Ketelanjangan Bjorka

Demokrasi akan mengalami distorsi atau penyelewengan Arti yang berdampak Jelek manakala sekadar direduksi sebagai alat. Karena, di dalam demokrasi sejatinya Eksis nilai-nilai dasar, etika, bahkan etiket yang mesti diikuti.

Rasmus Paludan sudah terlampau jauh. Maka, ketika kini merasa takut, Paludan sebetulnya sedang memanen atas benih kebencian yang disemainya. Ia memilih jalan yang menjauh dari kearifan dalam universalitas kebebasan.

Tapi, itu bukan lantas memberi kita, atau siapa pun yang menolak aksi Paludan, ‘cek Hampa’ Demi membalas dengan Metode serupa. Kita kiranya lebih memilih jalan elok nan arif Demi menyikapi provokasi Paludan.

Apalagi, dalam kitab Bersih yang dibakar Paludan itu terdapat ajaran mulia: wajadilhum billati hiya ahsan. Arti bebasnya kira-kira: dan apabila Engkau mendebat (Tak bersetuju), pakailah Metode-Metode yang Bagus, dengan metode elegan nan beradab.

Mungkin Anda Menyukai