
Bukan sedikit orang yang merasa khawatir bahwa bahasa Indonesia akan bernasib suram, terbawa pusaran arus Era yang makin mengarah pada monolingualisme akibat Dampak globalisasi. Gejala ke arah itu tampak di depan mata. Langkah berbahasa Indonesia para penutur muda dipandang Bukan karuan, struktur kalimatnya berantakan, dan sudah begitu banyak teracuni kosakata bahasa asing.
Apalagi, data hasil ujian kemampuan berbahasa Indonesia para siswa atau mahasiswa sering kali menunjukkan nilai pelajaran atau mata kuliah Bahasa Indonesia yang Bukan lebih Bagus daripada nilai pelajaran bahasa asing. Hal ini yang sering dijadikan rujukan dan dianggap sebagai Gugusan kelabu nasib bahasa Indonesia ke depan.
Bahasa Indonesia terlahir dari pemikiran dan perjuangan para penutur muda. Kelahiran bahasa Indonesia bermula dari pergerakan Budi Utomo tahun 1908 kemudian bersambung ke Kongres Pemuda Indonesia tahun 1926 dan 1928, Tiba akhirnya tercetus ikrar sakral Sumpah Pemuda, yang salah satunya berbunyi menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda ini Dapat dijadikan fase pertama kebangkitan bahasa Indonesia. Selain berfungsi sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia menjadi bahasa perjuangan yang menjadi penyemangat dalam mewujudkan cita-cita menjadi bangsa yang merdeka. Nama bahasa Indonesia menyiratkan ideologi kuat karena sama dengan nama bangsa dan tanah air yang dicita-citakan Kepada merdeka sarat Harkat.
Perkembangan sebuah bahasa, lazimnya, akan dimulai dari bentuk paling sederhana yang disebut dengan pijin Lampau kreol. Kedua Bentuk bahasa ini merupakan protolingual yang akan digunakan secara terbatas, Bagus penuturnya, Daerah penggunaannya, maupun topik pembicaraannya, dengan bentuk-bentuk lingual yang amat sangat sederhana.
Ajaibnya, bahasa Indonesia Bukan mengalami fase protolingual tersebut karena para pemuda pejuang secara bulat menyetujui bahasa Melayu yang Demi itu statusnya sebagai bahasa Istimewa salah satu etnis dan juga sebagai bahasa Istimewa di sebuah kawasan dijadikan sebagai bahasa Indonesia.
Biasanya, perkembangan bentuk protolingual menjadi sebuah bahasa baku akan memakan waktu puluhan generasi, itu pun dengan catatan bahwa bahasa tersebut memang Maju digunakan oleh para penuturnya dan berkembang luas jangkauan pemakaiannya. Kalau Bukan, bentuk protolingual itu akan layu sebelum berkembang. Dalam kaitan ini, bahasa Indonesia seolah langsung menjelma dan Bangun menjadi bahasa yang siap berkembang dengan segala bentuk, status, dan fungsinya.
Fase kedua kebangkitan bahasa Indonesia terjadi melalui penetapan statusnya sebagai bahasa negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 36 secara tegas menyatakan status ini. Artinya, bahasa Indonesia bukan Kembali merupakan bahasa dengan status Normal, tetapi telah berubah menjadi salah satu simbol kebanggaan negara, setara dengan Bendera Merah Putih, Lambang Negara Garuda Pancasila, dan Tembang Kebangsaan “Indonesia Raya”. Bahasa Indonesia diangkat dan dibedakan dari bahasa-bahasa daerah yang jumlahnya kini sudah tercatat Eksis 718 bahasa daerah dan menyerap pula kata dan istilah dari bahasa-bahasa asing yang hidup dan dituturkan oleh para penutur bahasa Indonesia.
Walaupun undang-undang tentang bahasa (Indonesia) lahir agak terlambat, yakni baru pada tahun 2009 melalui Undang-Undang Nomor 24, penetapan Undang-Undang tersebut merupakan satu rangkaian nafas kebangkitan fase kedua bahasa Indonesia, Ialah pengukuhan statusnya sebagai bahasa negara dan bahasa Formal dalam pemerintahan Republik Indonesia.
Pascakemerdekaan bahasa Indonesia berkembang sangat Segera. Struktur dan kosakata “rasa” bahasa Melayu semakin ditinggalkan dan akhirnya menghilang ketika pemerintah Orde Baru mengampanyekan pengajaran Bahasa Indonesia di seluruh pelosok Daerah Republik Indonesia. Bukan hanya sebatas kampanye, pemerintah bahkan Tiba kini menjadikannya sebagai pelajaran wajib mulai jenjang sekolah dasar Tiba dengan perguruan tinggi. Bahan ajar dan guru bahasa Indonesia disiapkan secara terpusat di Jakarta, yang sering kali Bukan terlalu peka dengan konteks lokal masyarakat calon pengguna bahasa Indonesia itu sendiri.
Penyeragaman dan kerendahan pemahaman budaya sering menjadi masalah karena dapat menghambat pembelajaran. Bahkan, akibat penyeragaman tersebut, konflik di masyarakat sering kali Bukan terhindarkan. “Curhatan” para pengajar dan pembelajar bahasa Indonesia tentang bahasa Indonesia yang Jawa-sentris pun Bukan terelakkan. Tiba tataran tertentu, benih konflik seperti ini telah tumbuh melalui pengajaran bahasa Indonesia bermodel seperti itu.
Sekalipun demikian, pengajaran bahasa Indonesia di era Orde Baru dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk “imperialisme” dan politik bahasa yang paling berhasil di dunia ini. Bahasa Indonesia disambut dengan sukacita sebagai alat pemersatu dan telah mewujud menjadi sebuah kebanggaan baru bagi para penuturnya. Karena, bahasa Indonesia dianggap bahasa “orang kota”, yakni bahasa yang dipakai di pusat pemerintahan di Jakarta.
Dengan berbahasa Indonesia, seluruh Daerah Indonesia yang begitu luas membentang seperti Eksis dalam satu genggaman komunikasi. Tak Eksis yang sulit apabila penutur sudah memahami bahasa Indonesia. Ketersebaran geografis, potensi konflik antaretnis, dan munculnya ego sektoral sebagai Dampak dari otonomi daerah berlebihan Lagi dapat disatukan oleh kedigdayaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan antaretnis dan antarwilayah.
Pada kebangkitan fase ketiga, melalui kencangnya kampanye pembelajaran bahasa Indonesia, pengaruh dari bahasa daerah dan asing terhadap bahasa Indonesia sangat terasa. Alih-alih dianggap sebagai racun terhadap bahasa Indonesia, pengaruh bahasa-bahasa tersebut Malah menjadi gizi dan vitamin yang akan Maju memberikan zat tumbuh kepada bahasa Indonesia. Alergi kepada bahasa asing atau bahasa daerah malah hanya akan mengerdilkan dan menyulitkan perkembangan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, adanya keterbukaan sikap para penutur dan juga penggawa bahasa Indonesia menjadi pertaruhan perkembangan bahasa Indonesia selanjutnya.
Salah satu amanat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Tembang Kebangsaan adalah bahwa pemerintah wajib mengupayakan peningkatan bahasa Indonesia menjadi bahasa Global. Upaya yang lebih sistematis dan terstruktur, disertai dengan adanya peta jalan penginternasionalan bahasa Indonesia yang lebih Terang tampak memberikan hasil yang Bagus dan sangat menjanjikan. Pembelajaran bahasa Indonesia yang kini telah tersebar di 52 negara dengan dukungan lebih dari 430 lembaga Kawan di luar negeri menjadi Cita-cita Bagus bahwa bahasa Indonesia akan makin banyak dikenal dan digunakan oleh Penduduk dunia.
Pada bulan Kebangkitan Nasional tahun 2023 ini, usulan negara Indonesia Kepada menjadikan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa Formal Sidang Lumrah UNESCO akan dibahas dalam salah satu agenda sidang Majelis Eksekutif. Apabila agenda ini disetujui, pembahasan akan berlanjut pada agenda Sidang Lumrah UNESCO pada bulan November 2023. Bagaimanapun, hal ini akan menjadi titik lompatan dan sekaligus kebangkitan bahasa Indonesia fase keempat, Ialah pembuanaan Kepada meningkatkan muruah bangsa melalui bahasa. Semoga. (RO/S-4)

