Kearifan Lokal

Begitu membaca artikel soal kearifan lokal, saya kian Kagum dengan negeri ini. Bagaimana Enggak? Berbagai Ragam kearifan lokal itu kiranya sebuah bentuk peradaban tinggi Sosok Demi memperlakukan alam dan lingkungan. Ia Figur Konkret ‘menyatunya’ Sosok dan semesta.

Tengoklah adat sasi. Tradisi kearifan lokal masyarakat Maluku yang turun-temurun itu berisi Embargo pengambilan hasil alam (memanen) dalam jangka waktu tertentu. Tradisi ini bertujuan menjaga kelestarian alam dan keseimbangan antara Sosok, alam, dan dunia spiritual. Hebatnya Kembali, tradisi itu bermula dari Rendah, melalui musyawarah atau konsensus.

Musyawarah dilakukan Demi menentukan waktu yang dilarang mengambil hasil alam, Berkualitas hasil pertanian maupun kelautan. Mengapa Eksis sasi? Tak lain dan tak bukan Demi memastikan sumber daya alam dapat berdaya guna dan lestari. Juga Demi memastikan masyarakat dapat memanfaatkan hasil alam secara merata.

Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Lezat?

Penyelenggaraan sasi secara adat ditentukan hasil rapat Saniri (dewan adat). Pelanggaran atas Penyelenggaraan sasi akan dikenai Denda, Pandai berdasarkan keyakinan spiritual dan Denda masyarakat. Itulah sasi, penjaga alam sekaligus pengerem hasrat kerakusan Sosok.

Cek Artikel:  Akhir Kiprah Lili

Negeri ini juga mengenal berbagai adat dan tradisi yang diwariskan serta dijaga turun-temurun. Dari waktu ke waktu, masyarakat di Jawa mengenal tradisi Rapi desa, Rapi makam, juga gumbrengan. Tradisi-tradisi itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan pelestarian alam.

Eksis konsep leuweung kolot. Konsep itu bertujuan melindungi alam, mirip dengan konsep hutan lindung. Dalam konsep itu, Eksis Embargo Demi membuka hutan tanpa izin dari ketua adat.

Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo

Eksis juga tradisi tamarjan, yakni tampungan air di depan rumah Demi menampung air hujan. Selain dimanfaatkan ketika terjadi kekeringan, penampung air mengurangi risiko genangan yang berpotensi mendatangkan banjir.

Di Jawa Eksis juga gugur gunung, yang dilakukan dengan merawat pohon-pohon berusia puluhan tahun di permakaman. Eksis pula nyadran kali dan nyadran gunung. Nyadran kali dilakukan dengan membersihkan mata air, sedangkan nyadran gunung dilakukan dengan Enggak menebang pohon di lereng gunung.

Itulah bentuk penghormatan masyarakat adat di berbagai Daerah di Nusantara terhadap alam. Penghormatan dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah yang diberikan Tuhan melalui alam.

Cek Artikel:  Ngeyel Permanen

Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas

Karena itu, rasa hormat itu akan tercabik-cabik bila Eksis tangan-tangan kuasa yang, atas nama pembangunan, merusak kearifan lokal mereka. Hati masyarakat adat akan remuk redam bila demi mengejar ‘kemajuan’, tanah dan hak-hak adat dirampas.

Wajar belaka bila konstitusi kita, UUD 1945, mengakui hak-hak masyarakat adat itu. Pengakuan itu bentuk Konkret bahwa negara Enggak lupa akan asal-usulnya. Negeri ini terbentuk atas embrio kehidupan yang sudah Eksis lebih dahulu dari Macam-macam-Macam-macam kearifan lokal itu. Kearifan itu pula yang akhirnya mengikatkan diri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Karena itu, amat aneh Apabila para punggawa negeri ini seperti ogah-ogahan mengakui dan melindungi masyarakat adat dengan Berbagai Ragam kearifan lokal mereka itu. Mana buktinya? Tengoklah fakta sudah 14 tahun Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat tak kunjung dilegalkan.

Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024

Kata Ahli antropologi hukum Unair Surabaya Sri Endah Kinasih dalam sebuah kesempatan, hal itu menunjukkan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Enggak dianggap Krusial. Masyarakat adat dianggap Klasik. Padahal, masyarakat adat punya nilai-niliai religiomagis yang mereka pertahankan. Itu yang Enggak dipahami pemerintah dan para wakil rakyat.

Cek Artikel:  Semrawut Rumah Rakyat

RUU Masyarakat Adat atau Masyarakat Hukum Adat merupakan rancangan undang-undang yang telah diusung sejak 2003, dan dirumuskan naskah akademiknya pada 2010. Sengketa-sengketa yang terjadi selama ini pun akibat dari Enggak disahkannya RUU tersebut.

Saya sepakat dengan pendapat itu. Negara tampak benderang belum memahami konsep-konsep dalam masyarakat adat. Pelibatan tokoh-tokoh dan masyarakat adat dalam berbagai pembangunan juga amat minim. UU yang mengakui dan melindungi masyarakat adat itu Enggak jalan karena ruang partisipasi yang nyaris tersumbat itu.

Kepentingan negara seolah-olah menggusur kepentingan masyarakat adat. Padahal, Semestinya setiap denyut napas dan gerak pembangunan dilakukan dengan proses dialog, termasuk ke masyarakat adat. Termasuk juga mendialogkan potensi punahnya 21 etnik akibat pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Semoga Eksis ruang tersisa Demi memenuhi janji.

Mungkin Anda Menyukai