Kaya sebelum Uzur

JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya. Berkualitas masyarakat maupun pemerintah sebagai pengelola institusi negara ini kini sedang gundah menghadapi ancaman risiko mengalami fenomena tua sebelum kaya.

Republik ini terus menua dengan populasi yang juga bakal semakin banyak diisi orang-orang tua (aging population). Menurut sensus penduduk 2023, sebanyak 12% penduduk Indonesia ialah kaum lansia. Proyeksinya, pada 2045 jumlah warga lansia itu bisa mencapai 20%. Definisinya, satu dari lima penduduk Indonesia ialah kaum lansia yang dalam perhitungan sensus dianggap sudah tidak produktif.

Sejumlah pakar bahkan menyebut pada 2038 Indonesia akan mulai menua secara demografi. Apabila sudah telanjur menua, tidak ada negara yang mampu keluar dari middle income trap. Karena itu, kalau Indonesia tidak ingin tua sebelum kaya, satu-satunya jalan ialah harus keluar dari middle income trap sebelum 2038.

Akan tetapi, Indonesia diprediksi sulit keluar dari jebakan itu karena sektor industri manufaktur yang semestinya menjadi penggerak utama mesin pertumbuhan sudah lama dalam kondisi tidak baik-baik saja. Kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menurun. Beberapa kalangan malah mengeklaim sudah masuk ke fase deindustrialisasi.

Cek Artikel:  Setelah Lebaran lalu Apa

Lunglainya manufaktur Indonesia tentu memberatkan upaya mengungkit pertumbuhan ekonomi. Semakin berat mengungkit pertumbuhan, semakin sulit juga kita bisa meloloskan diri dari jebakan pendapatan menengah. Mengapa? Karena negara butuh pertumbuhan tinggi untuk keluar dari kubangan jebakan itu. Jangan mimpi bisa lolos dari jebakan kalau ekonominya masih tumbuh sedang-sedang saja.

Dalam desain awal RPJPN 2025-2045 yang disusun Bappenas, angka pertumbuhan yang dibutuhkan untuk mengeluarkan Indonesia dari middle income trap sebelum 2045 ialah 6%-7%. Itu minimal. Faktanya, sepanjang dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo hingga 2024 ini, pertumbuhan kita paling tinggi tak jauh-jauh dari 5%.

Meskipun terdengar pedas dan pesimistis, barangkali benar yang dikatakan ekonom senior Faisal Basri. Ia menyangsikan Indonesia mampu menjadi negara maju seperti yang diimpi-impikan. Ia tegas menyebut harapan Indonesia menjadi negara maju sudah pupus.

Padahal, menjadi negara maju itu penting dalam konteks bahwa pada saat bersamaan pendapatan per kapita masyarakat juga akan terkerek. Tiba akhir tahun ini, pendapatan per kapita kita paling mentok antara US$5.300 dan US$5.400. Eksispun pada saat Indonesia emas 2045 nanti, pendapatan per kapita ditarget menembus US$30 ribu. Naik enam kali lipat.

Cek Artikel:  Cemburu pada Singapura

Eksis yang menyebut itu target yang sangat ‘radikal’. Tetapi, kalau Indonesia ingin betul-betul siap menghadapi aging population pada 2038 atau 2045, memang angka pendapatan per kapita sebesar itulah yang dibutuhkan. Tak terbayangkan implikasinya jika Indonesia memasuki era aging population dengan pendapatan per kapita kecil. Penduduk tua akan menjadi beban berat, baik bagi negara maupun bagi masyarakat lain yang berada di usia produktif.

Menjadi tua sebelum kaya ialah persoalan serius. Dalam konteks masyarakat, misalnya, kaum tua rata-rata akan berada dalam kondisi pensiun, pendapatan terbatas, kesehatan melemah, dan lain-lain. Di lain sisi, biaya kesehatan makin mahal, biaya pendidikan anak terus naik, dan sebagainya. Pendeknya, beban lebih besar daripada pendapatan.

Begitu juga dalam konteks negara. Menurut ekonom Chatib Basri, negara yang sudah keburu tua (penduduknya diisi banyak golongan lansia) sebelum menjadi negara maju akan menghadapi situasi risiko anggaran pemerintah yang tidak sustainable. Sebagai contoh, pajak yang dibayarkan penduduk tua yang tidak aktif tentu tidak sebesar ketika mereka masih aktif. Sebaliknya, anggaran untuk menutup beban kesehatan mereka meningkat.

Cek Artikel:  Kepekaan Etis Budaya Mundur

Optimisme presiden terpilih Prabowo Subianto yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dalam lima tahun mendatang patut kita apresiasi sebagai penyemangat untuk segera bangkit dan bekerja keras mewujudkan mimpi Indonesia menjadi negara maju (kaya) sebelum jatuh menua.

Tetapi, optimisme tak boleh menafikan realitas. Faktanya, hampir semua negara mengalami tren pertumbuhan yang melambat sampai dengan 2050. Indonesia, kalaupun ingin menjadi antitesis dari tren dunia tersebut, mesti jelas memetakan peluang, tantangan, dan hambatan yang ada. Pemerintah harus pandai mengidentifikasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang dioptimalkan lima tahun ke depan.

Optimisme tak boleh berhenti sebagai janji. Janji mesti sungguh-sungguh dituntaskan dengan strategi serta kebijakan yang jelas dan terukur. Bukan cuma omon-omon. Tanpa kesungguhan itu, siap-siap saja kalau bangsa ini mesti menjalani tua sebelum kaya. Sementara itu, cita-cita menjadi kaya sebelum tua akan terus menjadi sekadar harapan.

Mungkin Anda Menyukai